Kelemahan visi itu terlihat dari banyaknya persoalan, mulai dari pembinaan usia muda sampai olahraga profesional. Hanya bisa dihitung dengan jari, cabang olahraga yang memiliki agenda rutin dan terus menghasilkan atlet pelapis yang cukup tangguh. Bahkan, pada cabang olahraga paling populer pun, seperti sepak bola, hampir tak ada pola pembinaan.

KOMPAS/ALIF ICHWAN

Gelar Barbuk dan Penetapan Tersangka – Wakil Ketua KPK Saut Situmorang (kanan) usai memberikan keterangan pers, selanjutnya menyaksikan gelar barang bukti hasil operasi tangkap tangan (OTT) terkait dengan penyaluran bantuan dari pemerintah melalui Kementerian Pemuda dan Olahraga kepada Komite Olahraga Nasional indonesia (KONI) Tahun Anggaran 2018 di gedung KPK, Jakarta, Rabu (19/12/18). KPK menangkap beberapa tersangka dan uang tunai Rp 7 miliar.

Pada Selasa (18/12/2018) malam, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan lima orang sebagai tersangka setelah memeriksa 12 orang atas dugaan korupsi dana bantuan Kemenpora untuk Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI). Mereka antara lain Deputi IV Bidang Peningkatan Prestasi Olahraga Kemenpora Mulyana, Sekretaris Jenderal KONI EF Hamidy, Bendahara Umum KONI Jhonny E Awuy, Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) Kemenpora Adhi Purnomo, dan anggota staf Kemenpora, Eko Triyanto.

Tersangka EF Hamidy, misalnya, pernah disebut-sebut mengembalikan uang kepada mantan auditor utama Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Ali Sadli, senilai 80.000 dollar AS pada tahun 2017. Pengembalian itu diduga terkait dengan opini laporan keuangan Kementerian Pemuda dan Olahraga Bidang KONI.

Memang, laporan keuangan Kemenpora pada tahun 2015 dan 2016 mendapat predikat "disclaimer" dari BPK. Penilaian pengelolaan keuangan Kemenpora sedikit membaik pada 2017 saat mendapat predikat "wajar dengan pengecualian".

Wakil Presiden Jusuf Kalla optimistis bahwa dugaan korupsi yang melibatkan pejabat Kemenpora tidak akan memengaruhi upaya peningkatan prestasi atlet Indonesia. Sebab, sistem pembangunan olahraga prestasi selama ini diyakini tetap berjalan dengan baik.

Optimisme itu bisa dilihat dengan upaya pemerintah untuk tetap mendukung pembinaan olahraga. Namun, kenyataan di lapangan masih jauh dari ideal. Untuk membuat laporan keuangan yang dipakai cabang selama Asian Games saja, misalnya, tidak mudah. Belum lagi bicara pelaksanaan pelatnas menghadapi SEA Games 2019.

Persoalan tata kelola keuangan di lingkungan olahraga harus mendapat perhatian jika tidak ingin melihat prestasi olahraga kita tetap stagnan. Padahal, tidak sedikit dana yang dikucurkan pemerintah lewat APBN ataupun BUMN dan swasta untuk melihat prestasi kita cemerlang.

Sebagian besar pengurus olahraga masih amatiran. Mereka tak hanya sulit (tidak bisa) mengelola keuangan, membuat sistem pembinaan berjenjang pun jarang yang bisa. Pelatih profesional pun masih minim sehingga jarang atlet kita yang terpapar dan menerapkan sport science.