KOMPAS/HERU SRI KUMORO (KUM) 18-04-2013

J Kristiadi

Pemberitaan media arus utama dan media sosial dua sampai tiga minggu terakhir hampir didominasi oleh isu-isu korupsi, antara lain membanjirnya politisi dan pejabat publik yang tertangkap tangan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi, dan gencarnya pemberitaan prostitusi daring. Sayangnya, pemberitaan sudah melampaui batas sehingga mereka yang seharusnya korban sudah diadili oleh media.

Kelindan tiga fenomena tersebut sudah menjadi isu ribuan tahun yang selalu dicoba untuk dijinakkan agar tidak merusak tatanan kekuasaan. Misalnya, sejarah pergumulan antara politisi dan prostitusi sudah terjadi paling tidak sejak zaman Romawi kuno hingga saat ini, terutama usaha politisi mengatur regulasi tentang profesi yang dianggap paling tua di dunia (Thomas AJ McGinn, Prostitution, Sexuality, and The Law in Acient Roman, Oxford University Press, 1998). Tampaknya manajemen pengelolaan kekuasaan negara sangat rumit, terutama upaya menaklukkan gelora gairah kuasa dan kenikmatan ragawi.

Oleh sebab itu, sangat tepat tajuk debat pertama calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) adalah penegakan hukum, korupsi, dan hak-hak asasi manusia (HAM) serta terorisme. Masyarakat sudah lama merindukan diskursus dalam kompetisi politik yang sehat; serta mewacanakan secara serius isu-isu yang menjadi keprihatinan publik.

Debat perdana pun diharapkan menjadi pemicu dan prakondisi agar sisa waktu kampanye tiga bulan rakyat tidak hanya dijejali retorika, eksploitasi kebencian primordial, sensasi, kecemasan, serta mencerca secara membabi buta lawan politiknya. Publik sangat berharap debat gala primer dapat menjadi oase dalam pertarungan politik yang kering kerontang ide-ide segar; serta kemampuan dan kreativitas para kandidat melakukan terobosan menangani isu-isu yang berkaitan dengan kepentingan rakyat.

Namun, harus diakui debat publik merupakan palagan untuk merebut pemilih, maka para petarung akan mempergunakan tidak hanya data, tetapi juga akan memilih kata-kata yang bertenaga untuk merayu publik. Bahkan demagogi dapat menjadi salah satu jurus menaklukkan lawan politiknya. Oleh sebab itu, dimensi lain yang harus diperhatikan adalah karakter dan kepribadian capres dan cawapres.

Menjelang Pilpres 2014, Laboratorium Psikologi Politik UI, Ikatan Psikologi Sosial, Ikatan Psikologi Klinis, dan Fakultas Psikologi Unpad melakukan kajian tentang Kepribadian Capres dan Cawapres 2014. Responden survei adalah psikolog yang memiliki pengetahuan dan pengalaman melakukan penilaian kepribadian. Sumber penilaian adalah tingkah laku publik yang konsisten: pidato, rekaman wawancara, catatan biografi, dan peristiwa penting dalam hidup.

Petikannya, antara lain dalam dimensi perilaku, aspek kepribadian dengan skala 0-10, tentang motivasi berkuasa: Joko Widodo 6,36, Prabowo Subianto 8,64; aspek ide cemerlang melakukan solusi masalah bangsa, Jokowi 7,73, Prabowo 6,66; kejelian dan kreativitas menyelesaikan masalah pelik bangsa, Jokowi 7,61, Prabowo 6,20. Dari aspek agreeableness (kesesuaian, kesopanan, kerendah-hatian, dengan skala 0-20), Jokowi 8,36 dan Prabowo 5,23; skala pertimbangan memutuskan 0-10 (rendah-tinggi), Jokowi 7,05 dan Prabowo 5,81; ketelitian dan kejelian menghadapi persoalan, Jokowi 7,38 dan Prabowo 5,95.

Sementara itu, dimensi stabilitas emosional, ketenangan dalam menghadapi persoalan berat, skala 0-10, Jokowi 7,67 dan Prabowo 5,16. Dimensi prediksi kondisi psikologis ke depan, antara lain kemampuan bekerja dalam tekanan karena persoalan berat dan kompleks, dengan skala 0-10 (bisa dan tidak bisa): Jokowi 7,56 dan Prabowo 6,08; kemungkinan melakukan skandal politik, skala 0-10, (tidak mungkin dan mungkin): Jokowi 4,46 dan Prabowo 6,74; kasus melindungi pendukung atau mendukung pemberantasan korupsi, Jokowi dukung pemberantasan korupsi (76 persen) dan Prabowo (42 persen); membela atau tidak membela kepentingan minoritas, Jokowi 78 persen dan Prabowo 37 persen; ketidakmampuan menyesuaikan diri keadaan tidak wajar (maladaptive), antara lain memperlihatkan ketakutan, kecurigaan, gangguan menilai realitas, dan sejenisnya, skala 0-7, dari tidak mungkin sampai mungkin: Jokowi 4,19 dan Prabowo 6,51; kemungkinan kandidat mengalami burnout (kelelahan fisik, emosional, dan mental ketika sudah terpilih), dengan skala 0-7 (tidak mungkin-mungkin): Jokowi 4,64 dan Prabowo 6,15.

Namun, harus dicatat kajian tersebut dilakukan pertengahan tahun 2014, maka wajar dapat saja terjadi perubahan. Mengingat usia yang sudah mapan, kemungkinan terjadi perubahan tidak substansial. Kajian semacam ini sangat diperlukan mengingat debat bukan lampu aladin yang dapat menyihir ilusi menjadi prestasi. Terlebih negara yang kusut masai sangat memerlukan kepribadian dan karakter autentik para calon pemimpin.