Cari Blog Ini

Bidvertiser

Kamis, 17 Januari 2019

KOLOM POLITIK: Debat Politik: Juara Vs Penantang (M SUBHAN SD)

HANDINING
M Subhan SD, wartawan senior Kompas

Kalau melihat pola selama ini yang selalu "panas", debat pasangan calon presiden dan wakil presiden pada Kamis, 17 Januari 2019, malam bisa diprediksi mungkin akan terbawa hawa panasnya. Hampir tidak mungkin api yang menyala-nyala selama ini tiba-tiba padam.

Bahkan, yang terjadi justru api makin tersulut membesar sehingga panasnya semakin menyengat membuat tubuh melepuh. Apalagi, arena Pilpres 2019 ini adalah pertandingan ulangan (rematch) antara Joko Widodo dan Prabowo Subianto.

Walaupun cawapresnya berbeda dengan Pilpres 2014, faktor Jokowi dan Prabowo justru yang menjadi pertandingan utama (main-event). Biasanya jika dua seteru bertemu ulang, gaungnya akan lebih menggelegar melampaui arena pertandingan.

Sebab, dulu pada 2014 posisi mereka sama. Mereka sama-sama bertarung memperebutkan trofi presiden yang ditinggalkan Susilo Bambang Yudhoyono setelah dua periode berkuasa. Konstitusi negara kita hanya membolehkan presiden berkuasa utuk dua periode. Setelah reformasi, presiden tidak boleh lagi berkuasa selamanya. Tidak boleh lagi seperti pengalaman Soekarno yang pernah dijuluki "presiden seumur hidup" atau Soeharto yang justru berkuasa sangat lama dan terpaksa ditumbangkan oleh rakyat yang dimotori mahasiswa.

KOMPAS/WISNU WIDIANTORO
Dari kiri, cawapres nomor urut 01, KH Ma'ruf Amin; capres nomor urut 01, Joko Widodo; capres nomor urut 02, Prabowo Subianto; cawapres nomor urut 02, Sandiaga Uno; sebelum dimulainya Deklarasi Kampanye Damai Pemilu Serentak 2019 di Lapangan Monumen Nasional, Jakarta, Minggu (23/9/2018).

Nah, sekarang posisi Jokowi dan Prabowo tidak sama. Jokowi adalah petahana, sedangkan Prabowo adalah penantang. Pada Pilpres 2014, Jokowi menang mengalahkan Prabowo dan memimpin negeri ini selama lima tahun (2014-2019). Pertemuan kedua ini akan menjadi titik puncak ingar bingar politik selama ini.

Adu otot atau adu pemikiran

Dalam pertandingan olahraga sering kali kita melihat seorang penantang tampak lebih agresif karena tahu arena adalah milik sang juara. Karena itu, ia harus membangun suasana agar ia diperhitungkan, yang bisa membuat sang juara tidak meremehkannya. Jika tidak atau diam-diam atau biasa-biasa saja, dia akan tenggelam dalam bayang-bayang sang juara dan kemungkinan akan menjadi bulan-bulanan.

Barangkali publik masih ingat pertandingan heboh Ultimate Fighting Championship (UFC) antara Conor McGregor dan Khabib Nurmagomedov di  T-Mobile, Las Vegas, Amerika Serikat, pada 7 Oktober 2018. Meski McGregor sangat populer, termasuk berani menantang juara tinju Floyd Mayweather Jr setahun sebelumnya, tetapi ia akan menantang Khabib, sang pemegang juara dunia kelas ringan UFC.

Dalam banyak tayangan televisi, provokasi McGregor (dan kubunya) luar biasa sampai-sampai pada akhir laga, Khabib tak bisa menyimpan kesabaran lagi sehingga menyerang kru McGregor. Kemenangan yang melanggengkan sabuk juara Khabib itu pun sampai-sampai tercoreng.

Itulah laga adu jotos, yang tentu saja beda dengan arena politik. Namun, kalau di politik juga lebih banyak mempertontonkan adu otot dan bukan adu pemikiran, bukan tak mungkin nasibnya bisa sama. Apabila mencermati proses politik sekarang ini yang terbelah, rivalitas dua pasangan calon tersebut itu sudah sedemikian keras dan akut. Maka, sebetulnya debat capres sudah berlangsung dalam lima tahun ini.

KOMPAS/RADITYA HELABUMI
Pasukan Pengamanan Presiden (Paspampres) memantau lokasi debat perdana capres-cawapres oleh KPU di Hotel Bidakara, Jakarta, Rabu (16/1/2019). Debat capres-cawapres akan berlangsung pada Kamis (17/1/2019).

Hal itu bisa dimonitor melalui perilaku dan perdebatan politik yang selalu mengerucut pada dua kubu. Satu kubu Jokowi dan satu lagi kubu Prabowo. Tak mengherankan peristiwa politik kontemporer tak jauh-jauh dari dua kutub tersebut. Kalau tidak berpihak ke Jokowi, ya pasti berada di kubu Prabowo. Politik kita menjelma seperti dunia selebritas. Muncul idola dan fans berat.

Jokowi punya fans sendiri dan Prabowo juga punya fans sendiri. Sama-sama fanatik membela idola masing-masing. Ada pendukung (lovers) dan pembenci (haters) Jokowi. Juga ada lovers danhaters Prabowo. Masing-masing saling mengejek.

Ada pendukung (lovers) dan pembenci (haters) Jokowi. Juga ada lovers danhaters Prabowo.

Pendukung Jokowi disebut "cebongers", mengarah pada kecebong, wujud pra-katak yang dinilai berotak kecil. Sebaliknya pendukung Prabowo disebut "kampreters", mengacu pada kampret, makhluk yang bergantung terbalik yang menandakan otak terbalik-balik.

Duh, di politik penghinaan begitu telanjang dan masif. Padahal, di negeri Pancasila ini pastinya disadari bahwa memperolok-olok adalah perbuatan tidak terpuji dan perbuatan terlarang pula oleh agama.

Sayang, politik direduksi untuk membela dua kubu saja. Politik bukan untuk menyemai dan menyebarkan nilai-nilai dan perbuatan terbaik demi kemaslahatan publik (bangsa) dan kejayaan negara.

Barangkali inilah fase kemunduran berpolitik karena akal sehat tidak lagi dijadikan dasar pikiran dan perilaku mulia tidak tersemai sehingga politik menjadi gurun yang gersang. Perdebatan politik bukan sebuah wacana menggairahkan dan menghidupkan bangunan politik yang dapat memberikan kegembiraan bersama, melainkan justru menjadi ruang kusut tempat adu kekuatan tanpa etika.

Politik menjatuhkan

Dalam realitas politik yang demikian, politik cuma dipandang hitam-putih dan  kalah-menang. Padahal, politik adalah kehidupan dinamis dengan tarikan-uluran, kontestasi dengan pilihan konflik atau kerja sama. Politik bukan wujud yang kaku, melainkan lentur dan fleksibel. Makanya, ada adagium paling tenar di politik bahwa "tidak ada kawan dan lawan sejati, yang ada kepentingan sejati". Bukti paling sederhana misalnya koalisi.

 

Di pentas nasional, beberapa partai politik terlihat ngotot menghadapi lawan parpol lainnya yang di daerah justru mereka membangun koalisi bersama mendukung kandidat tertentu. Dalam arena politik yang terbangun hitam-putih dan pola fans dan idola, yang mengkhawatirkan adalah apa yang dialami oleh masyarakat pendukung di bawah. Sering kali cuma memahami sesuatu sedikit tetapi justru fanatisme yang berlebihan, terlebih lagi dikombinasikan dengan politik identitas. Dan, itu bisa tidak terkontrol dan bisa bisa bergerak liar.

Maka, politik kita adalah sebetulnya politik saling menjatuhkan, bukan politik yang menawarkan kebaikan dan keunggulan. Politik adalah pukulan telak yang diarahkan ke lawan. Simak saja setiap perdebatan selalu berbentuk serangan terhadap kubu lain, yang juga refleks melakukan tangkisan. Bayangkan, suatu proses politik lebih dominan sebagai serangan terhadap kubu lawan.

Sekarang ini kebohongan dijadikan peluru untuk membunuh lawan politik.

Lewat medium internet (media sosial), cara-cara abrasif digelontorkan bertubi-tubi. Sekarang ini kebohongan dijadikan peluru untuk membunuh lawan politik. Tidak kurang-kurangnya imbauan agar politik kebohongan dibuang ke keranjang sampah, tetapi rupanya ada semacam trance politik ketika orang terlena dalam jebakan politik kebohongan.

KOMPAS/ALIF ICHWAN
Polisi menggiring BBP, tersangka penyebar hoaks tujuh kontainer asal China berisi surat suara dicoblos, dalam jumpa pers Divisi Humas Kepolisian Negara RI di Jakarta, Rabu (9/1/2019). Berita bohong atau hoaks marak menyebar jelang Pilpres 2019.

Ambil contoh dua kasus hoaks paling fenomenal yakni skenario kebohongan "penganiayaan Ratna Sarumpaet" dan "tujuh kontainer surat suara yang telah dicoblos". Begitu juga contoh-contoh pidato yang mencoba mendelegitimasi pemerintahan sekarang yang notabene dipimpin Presiden Jokowi. Pidato kebangsaan Prabowo bertajuk "Indonesia Menang" pada Senin (14/1/2019) malam, meski ada sepenggal kalimat apresiasi Jokowi, tetapi selebihnya adalah "menguliti" pemerintahan sekarang. Namun, kubu Jokowi juga cepat menangkis bahwa apa yang disampaikan dalam pidato itu sudah dikerjakan Jokowi.

Nah, besok kita saksikan bersama, apakah debat perdana capres lebih banyak memberikan tawaran program untuk membawa kebaikan bagi bangsa dan negara ini sehingga rakyat paham kehebatan apa yang dimiliki setiap calon atau lebih dominan manuver untuk menjatuhkan lawan politik. Untuk merebut hati rakyat itu, mulailah dengan niat dan cara-cara yang baik.

Dengan cara-cara bermartabat, maka bangsa dan negeri ini juga menjadi bangsa yang mempunyai harga diri yang dihormati oleh bangsa sendiri dan bangsa-bangsa lain di dunia. (Bintaro, 16 Januari 2019)

Kompas, 17 Januari 2019

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger