Boleh saja membayangkan KPK sebagai organisme. Gareth Morgan, ahli perilaku organisasi dan hubungan industrial,  dalam Images of Organization (1986) menamsilkan organisasi itu sebagai mesin, organisme, otak, budaya, sistem politik, penjara psikis, arus perubahan berkesinambungan, dan instrumen dominasi. Sebagai organisme, organisasi itu berhabitat, terbuka, dan bergaul dengan spesies lain, dan tak kalah penting punya siklus hidup: lahir, tumbuh kembang, lalu mati.

Dalam lingkungan ekologisnya lazim ada parasit, pemangsa, atau predator. Karena itu, eksistensinya dipengaruhi faktor eksternal. Komisaris Jenderal Susno Duadji (SD) yang pertama mengandaikan  KPK sebagai organisme, dengan menyebutnya sebagai cicak.

Padat konflik

Berbeda dengan state auxilliary institutions (SAI) yang lain, seperti Komisi Pemilihan Umum, Komisi Informasi, Komisi Pemantau Persaingan Usaha, Komisi Penyiaran, dan Ombudsman, KPK paling sering terancam dan bersengketa dengan spesies lain.

Di antaranya dengan parlemen, dan yang paling sering dan berat dengan Kepolisian. Mereka melawan ketika KPK berusaha mengungkap skandal korupsi yang terjadi dalam tubuh kedua spesies organisasi itu. Parlemen melawan dengan kewenangan legislasinya. Pernah tercatat DPR tidak hanya ingin melemahkan, tetapi juga ingin membubarkannya. Kepolisian melawannya dengan adu kewenangan. Selain punya bedil, Kepolisian juga punya kewenangan menyidik. Dengan kewenangan itu, Kepolisian bisa memidanakan juga. Perlawanan seperti itu tidak ditemukan ketika KPK mengungkap skandal korupsi di Kejaksaan atau Kehakiman. Dengan mudah, KPK mencokok jaksa, hakim, bahkan ketua Mahkamah Konstitusi.

SUPRIYANTO

Bila KPK Trauma, macan ompong, kpk, tak bertaji, tak garang

Sejarah mencatat, sengketa KPK dengan Kepolisian, yang dikenal sebagai "Cicak versus Buaya", sampai berjilid-jilid. Jilid I terkait dengan kasus dugaan korupsi Komisaris Jenderal SD. Episode sengketa ini diwarnai adegan  kriminalisasi  komisioner KPK   , Chandra M Hamzah dan Bibit Samad Riyanto. Jilid II terkait kasus dugaan korupsi Inspektur Jenderal Djoko Susilo (DS). Kasus DS sudah berketetapan hukum. DS terbukti bersalah mengorupsi dana proyek pengadaan simulator ujian surat izin mengemudi. DS juga terbukti melakukan tindakan pencucian uang. Dalam skandal DS ini  giliran Novel Baswedan (NB), salah satu penyidik terbaik KPK, dikriminalisasi.

Jilid III terkait kasus dugaan korupsi Komisaris Jenderal Budi Gunawan. Dalam konflik ini dua komisioner KPK, Bambang Widjojanto dan Abraham Samad, yang dikriminalisasi.

Rupanya rangkaian sengketa itu menjadi pengalaman traumatis sehingga kini KPK enggan mengungkap dugaan kasus korupsi yang melibatkan petinggi Kepolisian. Gejalanya bisa dilihat dari, pertama, KPK enggan melihat kasus teror yang dialami NB  sebagai obstruction of justice atau merintangi penyidikan. Padahal , ada saran dan desakan supaya KPK menggunakan kewenangannya untuk mengusut kasus penyerangan NB sebagai upaya merintangi penyidikan.

Pada suatu subuh, di sekitar rumahnya, NB yang sukses menyidik kasus korupsi DS disiram cairan berbahaya. Mata kirinya kini buta. Sudah lebih dari setahun kasusnya terkatung-katung. Merespons desakan publik dan memenuhi rekomendasi Komnas HAM, akhirnya Kapolri membentuk tim gabungan untuk mengungkap kasus ini.

Kedua, KPK juga enggan menindaklanjuti dan mengungkap laporan Indonesialeaks yang menengarai adanya perusakan barang bukti yang dilakukan penyidiknya yang berasal dari Kepolisian. Barang bukti itu informasi aliran uang dari seorang pengusaha kepada para pejabat, termasuk elite Kepolisian. Problemnya mungkin bukan semata penghilangan barang bukti, melainkan adanya potensi loyalitas ganda. Penyidik mungkin akan galau dan takut  kalau harus menyidik kasus korupsi yang terjadi dalam tubuh induk organisasinya. Problem loyalitas ganda ini mungkin persisten dalam tubuh KPK. Setengah dari sekitar 1990 penyidik  KPK berasal dari Kepolisian. Boleh jadi risiko  bocornya rencana operasi tangkap tangan   berakar pada problem yang sama.

Dua gejala itu refleksi sempurna dari perubahan politik/strategi pemberantasan korupsi yang dikembangkan KPK dalam tiga tahun terakhir. Dengan strategi ini, KPK menarik diri dari  pengungkapan skandal  korupsi yang  risiko konfliknya tinggi. Sebenarnya hanya ada dua spesies organisasi yang potensi konfliknya tinggi kalau dugaan skandal  korupsinya diungkap, yaitu Kepolisian dan Kementerian Pertahanan/TNI.

Janji capres perkuat KPK

Trauma itu mengganggu  karena bisa mendistorsi fungsi, peran, kinerja, dan prestasi organisasi. Dengan pengalaman traumatis seperti itu, KPK tidak akan optimal memberantas korupsi, khususnya korupsi  peradilan yang melibatkan elite Kepolisian. Supaya gangguan itu minimal, pengalaman traumatis itu perlu diatasi. Siapa bisa mencegah dan memulihkan trauma  KPK?

KPK sudah jadi milik publik. Juga jadi ikon gerakan pemberantasan korupsi di Tanah Air. Siapa yang berinisiatif dan berusaha melemahkan atau membubarkan KPK  akan berhadapan dengan publik. Publik dengan sengit akan melawan setiap upaya pelemahan atau pembubaran KPK. Oleh karena  itu, bagaimana politisi memandang dan memperlakukan KPK menjadi batu ujian penting apakah ia akan diterima dan didukung atau ditolak publik.

Ini disadari betul oleh  calon presiden, terutama pasangan nomor 01, sehingga  dalam visi dan misi dan juga dalam debat capres perdana, menyebut ingin memperkuat KPK dalam mencegah dan memberantas korupsi. Pasangan calon nomor 01 juga memahami penting dan instrumentalnya peranan presiden dalam mengatasi rangkaian sengketa "Cicak versus Buaya". Sengketa "Cicak versus Buaya" Jilid I, II, dan III bisa diselesaikan dengan baik karena peran Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Presiden Jokowi. Kendati pendekatan dan keputusan yang diambil keduanya berbeda, intervensi itu sukses memulihkan fungsi, peran, kinerja, prestasi, dan marwah kedua lembaga yang bersengketa.

Bagaimana niat dan gagasan memperkuat KPK yang  masih umum itu diterjemahkan ke dalam  langkah-langkah konkret. Setidaknya ada tiga langkah yang perlu dilakukan. Pertama, dalam konteks kekinian—karena capres nomor urut 01 adalah petahana— Presiden perlu memastikan Kapolri menuntaskan pengungkapan  kasus penyerangan NB. Penyelesaian kasus ini akan mengurangi trauma.

Kedua, memperkuat sinergi, kerja sama, dan harmoni antarinstitusi penegak hukum. Bagian penting dari upaya ini adalah memastikan  institusi penegak hukum tidak disalahgunakan untuk melindungi perilaku koruptif aparatnya. Apalagi demi kepentingan pribadi institusi penegak hukum dipakai untuk mengintimidasi institusi penegak hukum lain. Patut diduga sengketa "Cicak versus Buaya" terjadi karena praktik demikian.

Ketiga, memperkuat kemampuan dan daya jangkau KPK dengan menggandakan jumlah penyidik yang berasal dari KPK sendiri. Ini akan membantu mengurangi problem loyalitas ganda. Konsekuensinya, anggaran KPK juga harus ditingkatkan. Ketiga langkah ini akan memperkuat efektivitas KPK dalam memberantas korupsi.