Tanggal 26 September 1960 menjadi sejarah baru pertarungan pemilihan presiden di Amerika Serikat. Untuk pertama kali, stasiun- stasiun televisi di negeri Paman Sam menyiarkan debat calon presiden.
Tercatat 70 juta penonton memelototi layar televisi menyaksikan John Kennedy sebagai capres dari Partai Demokrat melawan Richard Nixon yang diusung Partai Republik. Jutaan pemilih mengikuti debat melalui radio. Kennedy tampil energik, segar, dan menarik. Ia juga memukau pemirsa dengan gaya komunikasi yang menawan dan artikulatif. Sebaliknya, Nixon yang lebih senior tampak lebih pucat. Ia mengenakan jas warna kelabu. Pilihan warna jas ini tidak pas karena tenggelam oleh latar belakang studio apabila ditonton di televisi hitam putih.
Setelah debat, pemirsa televisi menahbiskan Kennedy sebagai pemenang karena penampilannya secara visual lebih menarik. Sebaliknya, pendengar radio—yang tak melihat langsung Kennedy dan Nixon—justru menilai Nixon sebagai pemenang. Sebagai petahana, Nixon lebih menguasai materi ketimbang Kennedy. Debat melalui televisi itulah yang menjadi salah satu kunci kesuksesan Kennedy melenggang ke Gedung Putih.
Kuatnya pengaruh debat yang ditayangkan televisi itu yang menginspirasi Michael Bauman (2007) menelurkan teori tele-politics, yakni menguatnya peran media, terutama televisi, dalam mem-persuasi pemilih. Debat yang ditayangkan luas oleh televisi akan menguntungkan dua pihak sekaligus: para capres dan tim suksesnya tak perlu menyapa pemilih satu per satu dan pemilih juga tak perlu repot menghadiri acara-acara kampanye.
Bagaimana dengan debat pasangan calon presiden-wakil presiden di Indonesia? Bagaimana pula efek elektoralnya mengingat debat itu juga ditayangkan di stasiun-stasiun televisi?
Pentingkah debat bagi pemilih
Debat perdana capres-cawapres yang diprakarsai Komisi Pemilihan Umum akan diselenggarakan pada 17 Januari 2019. Pengalaman menunjukkan bahwa debat penting dalam menentukan preferensi pemilih. Survei nasional Indikator Politik Indonesia, 18-26 Juni 2014, beberapa minggu sebelum Pemilu Presiden (Pilpres) 2014, menemukan 79,2 persen pemilih menilai debat sangat atau cukup penting bagi mereka.
Bahkan, signifikansi debat lebih tinggi lagi di kalangan responden yang memiliki telepon/ponsel (92,4 persen menilai debat sangat krusial dalam menentukan pilihan). Dilihat dari demografi, pemilih laki-laki, muda, berpendidikan menengah atas, dan tinggal di perkotaan cenderung menganggap lebih penting ketimbang segmen pemilih lain.
Memang tak semua pemilih punya waktu menonton acara debat yang ditayangkan televisi. Namun, secara umum bisa dikatakan tak ada acara kampanye yang paling banyak diikuti pemilih kecuali debat. Pada debat perdana, 9 Juni 2014, survei nasional Indikator pada akhir Juni 2014 menemukan 34 persen pemilih menonton acara tersebut. Proporsi warga yang menonton debat kedua yang diselenggarakan pada 15 Juni 2014 meningkat menjadi 56 persen.
Dilihat dari profil penonton, lagi-lagi pemilih muda, laki-laki, berpendidikan menengah atas, dan tinggal di perkotaan cenderung lebih tertarik menonton acara debat yang ditayangkan televisi. Dalam acara-acara debat calon kepala daerah, kita menemukan pola yang sama. Proporsi warga yang menonton debat
calon kepala daerah DKI Jakarta jauh lebih banyak ketimbang persentase pemilih di provinsi lain yang tingkat pendidikan dan informasinya lebih rendah.
Dampak elektoral
Semakin besar pemirsa debat, semakin besar pula kemungkinan debat memiliki efek elektoral. Debat bisa saja memengaruhi pemilih yang tidak menonton debat secara langsung di televisi. Melalui teknik penguasaan opini tertentu, para spin doctor, konsultan atau para pendengung (buzzer) di media sosial bisa mengesankan atau mem-frame seolah-olah capres yang didukungnyalah yang menang dalam debat.
Data survei Indikator menunjukkan salah satu kunci kemenangan Joko Widodo pada 2014 adalah performa debat Jokowi yang dinilai lebih baik ketimbang Prabowo Subianto. Saat itu banyak kalangan menduga Jokowi—yang dinilai kurang artikulatif—akan "ditelan" hidup-hidup oleh Prabowo dalam debat. Yang terjadi justru sebaliknya. Jokowi tampil melampaui ekspektasi publik, sementara Prabowo justru membuat beberapa blunder, terutama pada debat kedua. Prabowo terjebak pada jargon-jargon besar tanpa mengelaborasi program-program yang ditawarkannya.
Menurut survei Indikator akhir Juni 2014, responden yang mendaulat Jokowi unggul dalam debat pertama 9 Juni 2014 sebanyak 47,6 persen. Sementara responden yang menilai Prabowo unggul hanya 44,5 persen. Dalam debat kedua pada 15 Juni 2014, pemilih yang mendapuk Jokowi sebagai pemenang debat meningkat menjadi 48,6 persen. Sebaliknya responden yang menilai Prabowo unggul dalam debat kedua hanya 41,6 persen. Jokowi unggul pada semua kategori debat, mulai dari substansi persoalan, cara menyampaikan pendapat, hingga program yang ditawarkan.
Pada debat pertama, efek elektoral belum diperoleh Jokowi. Tak ada perbedaan signifikan antara elektabilitas Jokowi di kelompok pemilih yang menonton debat dengan yang tidak menonton debat. Efek debat baru terlihat pada debat kedua. Elektabilitas Jokowi di kelompok yang menonton debat mencapai 49,6 persen, sedangkan pemilih yang menonton debat dan memilih Prabowo hanya 45,5 persen. Elektabilitas Prabowo bahkan sedikit lebih tinggi di kelompok yang tidak menonton debat.
Performa debat inilah yang menjadi titik balik kenaikan kembali elektabilitas Jokowi. Sebelum debat dilakukan, tren elektabilitas Jokowi menurun, bahkan hampir disalip Prabowo. Penampilan gemilang Jokowi pada debat 2014 menjadi kunci kemenangan Jokowi dalam Pilpres 2014. Banyak kalangan sebelumnya menduga kemenangan Jokowi lebih karena dipicu oleh kesuksesan konser
"Salam Dua Jari" dan pernyataan
Fahri Hamzah yang menyebut ide Jokowi soal "Hari Santri" sebagai sinting. Namun, secara nasional, publik yang aware atas dua peristiwa ini jauh lebih sedikit dibandingkan dengan debat capres.
Pengaruh debat juga terlihat pada pilkada. Efek debat pasangan calon gubernur-wakil gubernur menjadi salah satu penentu kemenangan Anies Baswedan-Sandiaga Uno pada Pilkada DKI Jakarta lalu. Sebelum debat perdana dimulai, Agus Harimurti Yudhoyono-Sylviana Murni menempati peringkat pertama papan elektabilitas. Namun, seiring dengan performa buruk pasangan ini dalam rangkaian debat prapilkada, pemilih yang sejak awal tak memilih petahana kemudian mengalihkan dukungan ke Anies-Sandi. Efek debat juga menjadi kunci sukses pasangan Khofifah-Emil Dardak di Jawa Timur. Namun, di Sumatera Utara, efek debat tidak terlalu menjelaskan kemenangan Edy Rahmayadi-Musa Rajeckshah. Meski tampil ala kadarnya dalam debat, Edy-Musa tetap unggul di bilik suara.
Debat dan "swing voters"
Efek debat sangat menentukan hasil akhir pilpres pada 2019 ini. Pengaruh debat lebih terlihat terutama di kalangan pemilih mengambang (swing voters). Pemilih mengambang terbagi menjadi dua. Pertama, pemilih yang sudah punya
preferensi elektoral kepada pasangan calon tertentu, tetapi masih bisa pindah ke "lain hati". Dalam survei Indikator pada akhir Desember 2018, sebanyak 16,2 persen dari 90 persen pemilih yang punya pilihan mengaku "sangat
atau cukup besar kemungkinan berubah pilihan". Proporsi pemilih yang "iman" pilihannya rendah ini menurun
dibandingkan survei pada September 2018.
Karakteristik swing voters yang kedua adalah pemilih yang belum menentukan pilihan, yakni sekitar 9,2 persen pada Desember 2018. Total gabungan kedua jenis pemilih mengambang ini mencapai 25 persen. Pada Desember 2018, elektabilitas Jokowi-Ma'ruf 54,9 persen, sementara Prabowo-Sandi 34,8 persen. Dengan demikian, proporsi 25 persen ini lebih besar dari selisih di antara kedua pasangan calon yang hanya di kisaran 20 persen. Ini berarti pemilih mengambang yang kembali akan menentukan siapa pemenang pilpres. Dan, preferensi mereka sangat dipengaruhi oleh penilaian mereka terhadap debat capres.
Semakin ketat pertarungan antarkedua pasangan, semakin besar efek debat dalam mengubah permainan. Dalam kompetisi elektoral yang sengit, sekecil apa pun pengaruh debat akan berdampak pada hasil akhir. Hal ini terjadi pada Pilpres 2014. Jelang pilpres April 2019, meski belum bisa disebut aman, selisih 20 persen membuat Prabowo tak punya banyak pilihan. Prabowo harus tampil luar biasa dalam debat sehingga pemilih tak ragu-ragu mendaulatnya sebagai pemenang debat. Jika Prabowo tampil medioker, pemilih sulit menentukan siapa yang unggul dalam debat, dan karena itu selisih elektabilitasnya dengan Jokowi tak akan berubah banyak.
Jangan lupa, pemilih loyal umumnya kurang terpengaruh oleh debat. Pemilih loyal cenderung memilih dan memilah fakta dan data yang sesuai pilihan mereka atau dikenal sebagai card stacking. Mereka cenderung menampilkan sisi-sisi positif capres yang didukung serta menekankan aspek-aspek negatif lawan. Sebaik apa pun performa debat seorang calon tak akan berpengaruh banyak pada pemilih yang sudah punya preferensi kuat ke salah satu calon.
Intinya, para kandidat presiden serta wakil presiden dan tim sukses harus menyadari arti penting debat. Pertarungan pilpres yang tinggal menghitung pekan jelas membatasi para capres untuk bisa menyapa ratusan juta pemilih secara langsung. Debat yang ditayangkan luas oleh televisi akan menjadi instrumen penting untuk menyampaikan visi-misi dan program kerja kedua pasangan kandidat kepada publik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar