KOMPAS/WAWAN H PRABOWO

Aktivis yang tergabung dalam Komite Rakyat Pemberantas Korupsi menggelar unjuk rasa di depan Istana Merdeka Jakarta, Selasa (8/1/2019). Mereka menyerukan untuk menghapus pasal karet dalam UU ITE atau merevisinya agar tidak digunakan sebagai senjata para koruptor untuk menyerang balik aktivis antikorupsi.

Berdemokrasi merupakan pilihan politik dalam berbangsa dan bernegara untuk menghadirkan pemimpin dari rakyat sebagaimana definisi demokrasi itu sendiri, pemerintahan dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat. Supaya lahir pemerintahan yang demokratis, Robert W Dahl menyebut delapan unsur sebagai prasyarat negara demokratis.

Delapan unsur itu: adanya kebebasan membentuk dan bergabung dalam organisasi, adanya kebebasan berekspresi, adanya hak dipilih dan memilih, terbukanya ruang yang relatif sama untuk menduduki jabatan-jabatan publik, diberi ruang bagi pemimpin politik untuk berkompetisi dalam mendapatkan dukungan atau dengan memberikan dukungan, tersedianya alternatif sumber-sumber informasi, terselenggaranya pemilu yang bebas dan adil, pelembagaan pembuatan kebijakan pemerintah yang merujuk atau tergantung suara rakyat lewat pemungutan suara ataupun cara-cara lain sejenis.

Membaca dinamika berdemokrasi Indonesia setelah lengsernya Soeharto (1998) dengan teori Dahl di atas, tampaknya Indonesia sudah memenuhi kedelapan unsur. Meskipun akhir-akhir ini ada wacana yang dilemparkan ke publik bahwa demokrasi kita mengalami kemunduran, hemat penulis wacana itu perlu dipertanyakan.

Sebab, rakyat kita tak dibatasi ruangnya untuk berekspresi, juga tak ada larangan berkumpul atau bergabung dalam organisasi (Hizbut Tahrir Indonesia tentu pengecualian). Selain itu, siapa pun boleh mencalonkan diri untuk menduduki jabatan-jabatan publik bahkan orang tidak paham politik sekalipun.

Rakyat juga masih kaya alternatif sumber informasi. Media cetak ada Kompas, Republika, Suara Merdeka, Seputar Indonesia, Jawa Pos, dan lain-lain. Media elektronik ada Metro TV, TV One, MNCTV, Kompas TV, Net TV, Trans TV, Trans7, dan lain-lain. Semua menyuguhkan berita beragam dengan framing berbeda ke seluruh rakyat Indonesia. Unsur-unsur lain juga masih terpenuhi dalam iklim berdemokrasi.

Keadaban

Lalu, apa yang salah dengan demokrasi kita? Terpenuhinya kedelapan unsur dari Dahl bukan berarti pekerjaan kita dalam membangun tatanan politik demokratis sudah selesai.

Hal penting untuk kita renungkan bersama adalah bagaimana berdemokrasi, bagaimana kita mengekspresikan kebebasan itu, seperti apa kita menyuarakan suara ketidakpuasan atau kritikan itu ke publik?

Semoga belum hilang dari api ingatan kita bahwa pada era kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) ada demonstrasi yang dilakukan sekelompok mahasiswa dengan membawa kerbau, lalu ada foto SBY di pantat kerbau tersebut.

Seolah kebebasan berekspresinya hendak mengatakan bahwa SBY adalah "kerbau". Pertanyaan menggelitiknya adalah apakah ini cara yang beradab dalam mengekspresikan kebebasan dan kritik?

Beberapa bulan lalu muncul kegaduhan di ruang publik ketika aktivis perempuan dan senior bernama Ratna Sarumpaet melakukan kebohongan kepada publik dengan mengaku dianiaya di Bandung oleh pelaku yang tak bertanggung jawab dan kejam. Kebohongan Ratna pun dipolitisasi untuk menyerang pihak-pihak tertentu dalam menghadapi Pilpres 2019.

Setelah dilakukan penyelidikan dan tak ada bukti kuat penganiayaan, Ratna kemudian menangis tersedu-sedu mengaku bersalah karena telah melakukan kebohongan kepada publik. Rupanya ia baru saja melakukan operasi plastik, bukan dianiaya.

Bagi penulis, yang menarik bukan pada siapa yang diuntungkan dan siapa yang dirugikan secara politik dalam kasus kebohongan Ratna. Hal penting untuk kita soroti adalah bagaimana Ratna menggunakan haknya dalam berdemokrasi, yaitu kebebasan berekspresi.

Bebas berekspresi iya, tetapi apakah beradab jika dikemas dalam bentuk kebohongan? Ini hanyalah dua contoh kasus yang bisa menjadi renungan kita bersama bagaimana kita berdemokrasi. Belum lagi maraknya berita-berita hoaks dalam jagat politik kita.

Tentu masih banyak contoh kasus lainnya yang tidak terkuak ke publik. Yang jelas bukan demokrasi kita yang berjalan mundur, keadaban di ruang-ruang publik yang kurang.

Kita bebas dan penting untuk mengkritik, tetapi kritik dengan cara yang santun dan manusiawi jauh lebih penting. Bukankah sila kedua dari Pancasila adalah "Kemanusiaan yang adil dan beradab?" Apakah ini menjadi pedoman kita berdemokrasi?