Dalam sebuah laporan berjudul "Infrastructure Sector Assessment Program", tahun 2018, Bank Dunia menyatakan bahwa partisipasi investor asing lewat pasar modal untuk proyek infrastruktur Indonesia masih minim. Saat ini, aliran modal investor asing masih terpusat pada surat utang (obligasi) pemerintah dan ekuitas.

Kepemilikan investor asing atas obligasi pemerintah mewakili hampir 40 persen dari total obligasi pemerintah yang beredar pada 2015. Jumlah ini tumbuh dua kali lipat sejak 2010. Adapun partisipasi investor asing di pasar ekuitas yang tercatat sebesar 43,2 persen pada 2015 tumbuh dari 31,7 persen pada 2010.

Sementara minat investor asing untuk investasi portofolio infrastruktur lewat pasar modal di Indonesia masih rendah. Menurut Bank Dunia, setidaknya ada dua alasan yang menyebabkan investor asing enggan masuk pada portofolio investasi infrastruktur lewat pasar modal.

Pertama, pasar yang tersegmentasi untuk investor asing dan domestik. Kedua, lemahnya sistem mitigasi risiko produk investasi atau mekanisme untuk mengurai risiko.

Investor asing cenderung berpartisipasi aktif pada obligasi perusahaan yang diterbitkan dalam mata uang asing, terutama dollar AS. Alasan mereka memilih investasi pada dana di pasar internasional lantaran kurangnya mekanisme yang efisien untuk mengatur dananya di Indonesia.

Sulitnya mitigasi risiko pada instrumen lokal menyebabkan investor asing lebih memilih menanamkan modalnya lewat pasar internasional. Bagi investor, mereka harus memiliki langkah mitigasi yang efisien jika terjadi risiko pada instrumen investasi tersebut.

Mengapa Indonesia sangat berkepentingan dengan investor asing untuk membangun infrastruktur? Apakah Indonesia tidak sanggup membangun dengan investasi domestik? Faktanya, peran investor domestik, terutama institusi, masih kecil dibandingkan dengan negara-negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura, di sisi lain Indonesia memerlukan dana dari invstor domestik, tulis Bank Dunia.

Pada 2016, total aset perusahaan institusi domestik di Indonesia 1,8 persen dari produk domestik bruto (PDB), sedangkan aset institusi Singapura telah mencapai 79,4 persen dari PDB.

Jika dirinci, pada Juni 2017 jumlah aset dana pensiun sebesar Rp 254 triliun, reksa dana Rp 339 triliun, perusahaan asuransi jiwa dan umum Rp 522 triliun, jaminan sosial dan BPJS sebesar Rp 290 triliun, serta dana pensiun pemerintah sebesar Rp 199 triliun.

Konsep Inisiatif Sabuk dan Jalan

Sebagaimana diketahui, Inisiatif Sabuk dan Jalan (Belt and Road Initiative/BRI) merupakan program infrastruktur besar-besaran yang bertujuan untuk mempromosikan perdagangan global dan pertumbuhan ekonomi.

BRI merupakan program kebijakan luar negeri Presiden Xi Jinping untuk memperkuat hubungan China dengan Asia Tenggara, Eropa, dan Afrika, melalui jaringan jalan, pelabuhan, kereta api, pembangkit listrik, dan proyek infrastruktur lainnya.

Namun, ada juga yang mencurigai program tersebut sebenarnya dimaksudkan untuk memperluas pengaruh politik dan kehadiran militer negara China.

Terlepas dari kritikan itu,  program BRI inisiatif China dalam pelaksanaannya tidak diserahkan kepada investor asing. China menerbitkan "Daftar Negatif" tahunan yang menguraikan industri di mana investasi asing dilarang atau dibatasi.

China memang membatasi investasi asing ke negara itu, seperti halnya Trump melindungi basis pemilih, yakni industri pertanian. Namun, bisnis asing yang berbasis di China dapat berpartisipasi dalam BRI.

Alasannya adalah untuk mengeksplorasi insentif pajak yang tersedia, terutama dalam rangka mengembangkan China barat, mencakup beberapa daerah dan kota pedalaman terpadat di China, dan semua provinsi perbatasan barat China, termasuk Guizhou, Guangxi, dan Yunnan di selatan (berbatasan atau dekat dengan Vietnam, Laos, dan Kamboja), Sichuan, Gansu, Ningxia, dan Xinjiang, (yang semuanya berisi populasi Muslim yang cukup besar), Mongolia Dalam (berbatasan dengan Rusia dan Mongolia), Tibet, (berbatasan dengan Nepal dan India), dan Chongqing, kota terbesar China.

China telah menandatangani banyak Double Tax Agreements (DTA). Hal ini dimaksudkan untuk memastikan bahwa bisnis tidak dikenai pajak untuk layanan atau pendapatan yang sama di dua negara, dan juga sering memberikan pengurangan atau pengecualian pajak di area tertentu.

Ini dapat mencakup pengurangan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) untuk barang-barang tertentu yang diperdagangkan antara kedua negara, bea cukai dan pembebasan tarif, pengurangan pajak keuntungan di area tertentu, dan pengurangan tarif pajak penghasilan individu.

Meski Indonesia berbeda paham soal pelibatan asing dalam pembangunan infrastruktur, setidaknya ada beberapa hal yang bisa dicontoh. Pemerintah dapat mendorong asing yang melakukan investasi langsung dan pemerintahan asal investasi untuk di wilayah-wilayah yang telah tersedia berbagai fasilitas perpajakan untuk ikut berpartisipasi dalam membeli saham-saham infrastruktur.

Tentu, sebagai pemanisnya, pemerintah juga harus menyediakan berbagai fasilitas perpajakan atas kepemilikan saham, selain berbagai fasilitas perpajakan yang sudah ada di wilayah tujuan investasi.

Dengan konsep ini, diharapkan bukan saja pemberian insentif menjadi tepat sasaran, tetapi juga dapat mengurangi gap kebutuhan pendanaan untuk infrastruktur dan menjadikan pembangunan infrastruktur menjadi semakin efektif.