Pemilu seharusnya membawa kita pada satu kondisi yang mencerdaskan dan mencerahkan masyarakat atas isu-isu substansial dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Sayangnya, menjelang Pemilu 2019 ini kita tidak—atau setidak-tidaknya belum—mendapatkan sajian (kondisi) dimaksud. Kontestan lebih (suka) sibuk pada isu-isu pinggiran daripada isu utama, lebih suka gimmick daripada substansi.
Kepolitikan dipenuhi saling serang dan kecam lawan politik. Namun, sayang seribu sayang lebih banyak berkutat soal hoaks, ujaran kebencian, jauh dari isu utama bernegara. Penulis memberi garis bawah dalam artikel ini tentang pentingnya "mengarusutamakan" penataan sistem ketatanegaraan—dan menagih komitmen calon pemimpin.
Desain dan kerangka penataan sistem ketatanegaraan yang masih menyisakan problem serius terutama di ranah sistem parlemen/perwakilan. Pengaturan UUD 1945 terkait sistem parlemen menyisakan ambiguitas apakah kita menganut dua kamar (bikameral) atau tiga kamar (trikameral)— dengan kedudukan MPR sebagai lembaga negara yang berdiri sendiri.
Hubungan di antara kamar perwakilan juga masih menyisakan problematik, terutama terkait lemahnya kedudukan dan kewenangan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) vis-à-vis kedudukan dan kewenangan DPR. Padahal, filosofi pembentukan DPD seharusnya bisa jadi kamar kedua parlemen yang dapat melakukan double check terhadap fungsi-fungsi keparlemenan.
Kenyataannya, sebagian substansi konstitusi menjadi penopang utama terwujudnya legislative heavy (baca: DPR heavy).
Ide dasar sistem perwakilan
Ide dasar sistem perwakilan Indonesia sejatinya menganut bikameralisme. Hal ini bisa dirunut, misalnya, dari pemikiran Muhammad Yamin dalam Sidang BPUPKI yang menyatakan, "Permusyawaratan rakyat adalah wujud tertinggi kedaulatan rakyat, dan kedaulatan rakyat syaratnya adalah wakil langsung rakyat dan daerah." Pemikiran Yamin itu menggambarkan ruh konstitusi kita sangat sesuai dengan kondisi kebangsaan Indonesia dan kaidah-kaidah kehidupan masyarakat negara modern.
Bangunan lembaga pemegang kedaulatan rakyat merupakan perpaduan antara wakil rakyat dan wakil daerah. Di samping itu, jika kita kaji secara teoretis, komponen pembentukan negara yang utama itu ada tiga: rakyat, wilayah, dan pemerintah. Rakyat yang berkehendak mendirikan negara pasti menempati wilayah tertentu sebagai basis pendirian negara.
Cikal bakal Indonesia merdeka juga tak lepas dari keinginan bersatu dari beberapa wilayah. Pada 1928, ketika Sumpah Pemuda dideklarasikan, para pemuda mewakili identitas wilayah masing-masing sehingga kita mengenal ada Jong Java, Jong Ambon, Jong Selebes, Jong Batak, Jong Soematranen, dan lain-lain. Pun, ketika Indonesia diproklamasikan pada 17 Agustus 1945, para pendiri bangsa dari sejumlah wilayah bersatu tanpa mempersoalkan sedikit atau banyak jumlah penduduk di tiap-tiap wilayah. Dus, secara filosofis dan teoretis Indonesia didirikan atas kesatuan wilayah dan rakyat sehingga menjadi niscaya kebijakan negara harus dapat merepresentasikan keduanya agar terjadi keseimbangan dan keadilan bagi rakyat di semua wilayah.
Namun, dalam perjalanan sejarah, ternyata upaya mewujudkan keseimbangan dan keadilan antarwilayah itu tidak berjalan sebagaimana harapan. Baik di era Orde Lama maupun era Orde Baru, meski terdapat representasi wilayah (utusan daerah) dalam MPR, perannya hampir tidak ada atau terbatas karena dominasi eksekutif (presiden), sementara legislatif hanya diwakili partai-partai politik atas nama rakyat yang terlalu besar. Akibatnya terjadi disparitas pembangunan antardaerah yang berpenduduk lebih padat dengan daerah berpenduduk lebih kecil, walaupun menyumbangkan wilayah yang relatif lebih luas, termasuk sumber daya alamnya.
Dari pengalaman dua era tersebut kita mendapati kenyataan: praktik sistem ketatanegaraan sangat rentan diterjemahkan sebagai "apa maunya penguasa". Ketika memasuki era Reformasi, kita menyadari sumber masalahnya berasal dari "struktur" dan sistem keterwakilan yang tak mencerminkan representasi yang berimbang atas keberadaan rakyat dan wilayah. Karena itu, perlu desain ulang lembaga perwakilan yang "mewakili langsung rakyat" dan "mewakili langsung wilayah" agar terjadi keseimbangan dan keadilan antarwilayah.
Hanya saja, memasuki era Reformasi, berdasarkan hasil perubahan UUD 1945, ide dasar sistem perwakilan di atas tidak diterjemahkan dengan tepat. Nyatanya, sejak awal memang terjadi benturan antara konsepsi akademis (teknokratis) dan politis dalam proses perubahan UUD 1945.
Saat itu, misalnya, berdasarkan Keputusan Presiden No 198/1998 dibentuk Tim Reformasi Menuju Masyarakat Madani yang bertugas menyusun konsepsi awal perubahan UUD 1945, dengan penulis menjadi salah satu anggotanya. Rekomendasi tim tersebut menyatakan jelas bahwa bangunan lembaga pemegang kedaulatan rakyat merupakan perpaduan antara wakil rakyat dan wakil daerah.
Tim memberikan pandangan terhadap eksistensi "utusan golongan" dan "utusan daerah" pada keanggotaan MPR, dan merekomendasikan "utusan golongan" dimasukkan sebagai perwakilan partai politik untuk mengisi lembaga DPR dan "utusan daerah" dimaknai sebagai perwakilan daerah, yang menjadi cikal bakal lembaga DPD. Dengan begitu, format lembaga perwakilan Indonesia menganut bikameralisme di mana DPR merupakan wakil rakyat dan DPD wakil daerah.
Kaitannya dengan representasi regional tersebut, kehadiran DPD memenuhi keinginan semua pihak, termasuk pemerintah pusat dan daerah, untuk memperbaiki hubungan kerja dan penyaluran kepentingan di antara kedua level pemerintahan tersebut. Dalam hal ini, DPD juga diharapkan hadir sebagai lembaga yang mampu membantu untuk mengatasi kesenjangan antara pusat dan daerah, sesuai semangat otonomi daerah yang menjamin keadilan, demokrasi, dan jaminan keutuhan integritas wilayah negara.
Lebih dari itu, DPD diharapkan menjadi lembaga negara yang memperjuangkan kepentingan aspirasi masyarakat dan daerah dalam kebijakan nasional. Dengan demikian, gagasan dasar pembentukan DPD adalah keinginan untuk lebih mengakomodasi aspirasi daerah sekaligus memberi peran lebih besar pada daerah dalam proses pengambilan keputusan politik, terutama dalam hal-hal yang berkaitan langsung dengan daerah tanpa mempersoalkan preferensi politik (partai).
Perjuangan kembali ke ide dasar
Agenda penyempurnaan sistem perwakilan untuk mengembalikan pada ide dasarnya sejatinya bukan sesuatu yang baru. Sejak awal kelahirannya—menyadari keterbatasannya secara konstitusional—DPD secara kelembagaan telah menempuh berbagai jalur yang dimungkinkan dan konstitusional untuk mengembalikan peran sesuai khitah dan ide dasar pembentukannya dalam sistem perwakilan Indonesia. Hal itu dilakukan dengan mengoptimalkan peran, meningkatkan koordinasi antarlembaga negara, uji materi UU terhadap UUD, hingga pengusulan konsep/naskah amendemen UUD 1945 di MPR RI.
Secara konstitusional kewenangan (baca: fungsi) DPD diatur pada Pasal 22D, 23E, 23F UUD 1945. DPD punya fungsi legislasi, penganggaran, dan pengawasan. Ketiganya dilaksanakan dalam kerangka representasi daerah. Namun, pengaturan fungsi tersebut sangat terbatas dan terkesan kuat lebih merupakan "sub-ordinasi" dari DPR.
Dalam fungsi legislasi DPD justru tidak memiliki kewenangan utama dalam proses ini, yaitu "ikut memutuskan". Dalam fungsi anggaran dan pengawasan lebih parah lagi, DPD hanya dapat memberikan pertimbangan atas RUU APBN kepada DPR serta menyampaikan hasil pengawasan kepada DPR, untuk selanjutnya tindak lanjutnya terserah DPR.
Atas kondisi itu, DPD melakukan upaya uji materi UU terhadap UUD 1945. Hasilnya adalah putusan MK No 92/PUU-X/2012 yang diperkuat putusan MK No 79/PUU-XII/2014, yang intinya menegaskan bahwa DPD memiliki kewenangan yang sama dengan Presiden dan DPR untuk mengajukan dan membahas RUU (sesuai kewenangan DPD), tetapi "tidak dalam hal pengambilan keputusan".
Walaupun tidak dalam kerangka formal amendemen, putusan MK tersebut tentu membawa dinamika baru kedudukan DPD dalam sistem ketatanegaraan di Indonesia. Hanya saja, implementasi dari putusan MK tersebut tidak semudah membalik telapak tangan akibat keengganan DPR dan juga pemerintah untuk memaksimalkan kewenangan DPD.
Pada tahap berikutnya, dukungan peningkatan peran DPD semakin menguat dengan lahirnya Keputusan MPR RI No 4/MPR/2014 tentang Rekomendasi MPR RI Masa Jabatan 2009-2014. MPR merekomendasikan bahwa perlu ditata kembali sistem ketatanegaraan di Indonesia, termasuk poin rekomendasinya adalah penguatan kedudukan dan peran DPD.
Akan tetapi, rekomendasi tersebut nyatanya bertepuk sebelah tangan. Hampir lima tahun berlalu dan sistem ketatanegaraan—khususnya lembaga perwakilan terkait kedudukan dan peran DPD—tetap mengalami ketimpangan dan anomali. Amendemen UUD 1945 yang direkomendasikan belum menjadi agenda utama negara lima tahun ini.
Meskipun demikian, DPD terus berupaya mengoptimalkan perannya. Dalam fungsi anggaran dan pengawasan DPD membangun komunikasi dengan pemerintah sehingga DPD dapat melakukan rapat kerja langsung dengan pemerintah untuk memberikan masukan dan pertimbangan RUU APBN. Demikian halnya dengan fungsi pengawasan, DPD dapat langsung mengawasi pelaksanaan UU, program, dan kinerja pemerintah melalui rapat kerja dengan kementerian/lembaga.
Belakangan, DPD justru diberi "kewenangan" baru melalui UU tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD untuk mengawasi pelaksanaan perda-perda di daerah. Ini justru menambah ambiguitas kedudukan dan peran DPD dan menjauhi semangat dan ide dasar pembentukan DPD dalam sistem perwakilan Indonesia.
Kita berharap mendapat pandangan konseptual dari calon pemimpin negeri ini terkait arah penataan sistem ketatanegaraan—khususnya menyangkut sistem perwakilan—ke depan agar lebih efektif dan produktif bagi kepentingan rakyat dan pembangunan. Di sana ada tanggung jawab presiden sebagai kepala negara untuk ikut mendorong penyempurnaan sistem bernegara, terutama melalui agenda amendemen UUD 1945.
Agenda amendemen UUD 1945 dilakukan dan diletakkan dalam kerangka perbaikan yang berkesinambungan untuk meningkatkan kualitas kehidupan berbangsa dan bernegara. Perubahan dilakukan guna memperjelas sistem perwakilan serta meningkatkan kualitas kebijakan dari segi derajat keterwakilan dalam setiap pembentukan peraturan perundang-undangan.
Gagasan pokoknya: memperjelas bikameralisme dan pola hubungan antarkamar parlemen Indonesia, khususnya memperjelas kedudukan dan kewenangan DPR dan DPD, sehingga terwujud sistem check and balances secara utuh. Hal ini untuk mencegah kecenderungan sistem mengarah pada presidensialisme rasa parlementer dengan posisi dominan pada keterwakilan politik (DPR heavy).
Pada saat yang sama hal ini bertujuan untuk menguatkan implementasi sistem otonomi daerah, di mana seluruh daerah merasakan keadilan kebijakan negara—baik daerah yang padat maupun minim penduduk, daerah yang kaya maupun miskin sumber daya alam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar