ANTARA FOTO/ADITYA PRADANA PUTRA

Sejumlah warga memilah limbah plastik dari tumpukan sampah di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Jatibarang, Semarang, Jawa Tengah, Kamis (10/1/2019). Menteri Sosial Agus Gumiwang Kartasasmita optimis angka kemiskinan di Indonesia dapat turun dibawah 9,5 persen pada tahun 2019 melalui upaya sejumlah program pengentasan kemiskinan dari Kemensos seperti penyaluran bantuan program keluarga harapan (PKH), Bantuan Pangan Nontunai (BPNT) dan Bantuan Sosial Pangan.

 

Proporsi penduduk miskin terus turun dari jumlah orang ataupun persentase terhadap total populasi. Capaian ini perlu diikuti perbaikan kualitas agar berkelanjutan.

Badan Pusat Statistik pekan lalu mengumumkan, angka kemiskinan turun dari 10,12 persen pada September 2017 menjadi 9,66 persen pada September 2018, atau turun setara dengan 910.000 orang.

Penurunan itu juga diikuti mengecilnya tingkat kesenjangan kemakmuran yang ditandai oleh rasio gini turun dari 0,392 menjadi 0,384. Tingkat keparahan dan kedalaman kemiskinan juga membaik.

Perbaikan juga terjadi dengan naiknya garis kemiskinan, yaitu besar pengeluaran dari Rp 387.160 per kapita per bulan menjadi Rp 410.670.

Perbaikan tersebut memperlihatkan, upaya pemerintah meningkatkan kesejahteraan orang miskin berhasil. Berbagai program bantuan sosial, seperti Program Keluarga Harapan, bantuan pangan nontunai, pendidikan dasar dan menengah gratis, jaminan kesehatan, subsidi kredit untuk UMKM, dan pengendalian inflasi, tampak mencapai sasaran.

Meski capaian nasional menggembirakan, tetap terdapat sejumlah kondisi yang memerlukan perhatian agar penurunan jumlah orang miskin dapat diikuti dengan membaiknya kualitas hidup masyarakat. Data BPS menunjukkan, kesejahteraan desa masih tertinggal dari kota.

Hal ini terkait sumber pendapatan desa yang umumnya bergantung pada komoditas pangan selain dipengaruhi infrastruktur fisik, sosial, dan ekonomi desa yang belum sebaik perkotaan.

Karena itu, menjaga harga hasil pertanian tetap menguntungkan, memperbaiki jalan desa, menyediakan listrik dan air bersih, memastikan akses pada pendidikan dan layanan kesehatan, serta inklusi keuangan menjadi keharusan.

Jumlah penduduk miskin di Jawa lebih besar daripada di luar Jawa. Selain karena separuh lebih penduduk ada di Jawa, sumber daya alam Jawa kian langka dan pendidikan separuh tenaga kerja adalah SMP ke bawah.

Jika kita ingin tidak boleh ada satu pun tertinggal, penciptaan lapangan kerja harus dapat menampung mereka seraya mempromosikan lahirnya jiwa dan praktik wirausaha.

Tantangan lain, pengeluaran terbesar, 73,54 persen, masih digunakan untuk pangan dengan pengeluaran untuk beras 19,54 persen di perkotaan dan 25,51 persen di perdesaan, naik dibandingkan dengan September 2017.

Kondisi ini memperlihatkan masih ada penduduk yang belum memiliki cukup sumber daya untuk memenuhi kebutuhan dasar lain.

Upaya mendiversifikasi ekonomi desa perlu dipertajam dengan terus mendampingi desa memanfaatkan dana desa sebaik mungkin, sesuai kebutuhan dan potensi lingkungan desa.