Cari Blog Ini

Bidvertiser

Senin, 21 Januari 2019

UDAR RASA: Langkah Saru Negeri Jiran (JEAN COUTEAU)

KOMPAS/ IWAN SETIYAWAN
Menara Kembar Petronas di pusat Kota Kualalumpur merupakan ikon pariwisata Malaysia yang ramai dikunjungi seperti pada Kamis (5/9/2013).

"Mungkin Anda tidak tahu, Pak Jean," kata teman saya sambil mencicipi kuliner India yang baru disajikan kepada kami dengan segala pelayanan bergaya kolonial, "Sejatinya sampai kira-kira tahun 1930, orang seperti saya, yang Melayu ini, dilarang masuk di club ini karena colored (berwarna). Untunglah," dia mengimbuhi dengan gaya humor khasnya, "bukanlah kami saja dilarang masuk di sini; juga 'anjing dan orang Irlandia'; sebuah papan dipajang di pintu masuk khusus untuk itu. Kasihan orang Irlandia! Kami masih bisa berlindung di kampung, tetapi mereka tidak. Tidak ada tempat buat mereka sekadar minum bir Guinness produk negeri sendiri," sembari tertawa.

Kami berada di Royal Selangor Club, bekas club kolonial Inggris, terletak tepat di pusat kota Kuala Lumpur. Orang yang berceloteh ini adalah seorang anggota elite etnik Melayu. Dia menunjuk sederet gedung dengan beranda cantik tepat berada di seberang lapangan golf yang membentang di depan restoran itu.

Menarik: gaya gedung itu bukanlah Inggris, melainkan Mogol-India. Dia menjelaskan: "Orang Inggris congkak. Bukan arsitektur Inggris yang mereka terapkan di tanah jajahannya di Timur, melainkan arsitektur Islam India, yang mereka pinjam dari Ahmadabad.

KOMPAS/ISMAIL ZAKARIA
Uji fitur kamera ultra-wide Galaxy A9 di Kuala Lumpur, Malaysia, Jumat (12/10/2018).

Menguasai dunia, mereka merasa dirinya pantas mengambil alih peradaban masa lalu yang lain. Lihat di mana mereka berada saat ini, dengan Brexit! Look at them," cemooh dia dalam bahasa Inggris, "he-he-he."

Malaysia memang amat berbeda dengan Indonesia. Hingga kedua negara kerap saling salah mengerti. Mulai dari kemerdekaan. Indonesia memerangi dan menundukkan Belanda— sebaliknya para pejuang Melayu merangkul penjajah. Tepatnya, mereka membiarkan Inggris menumpas pemberontak komunis sebelum menerima kemerdekaan darinya (1957). Di situlah sumber pertikaian dengan Soekarno. Tetapi adakah pilihan lain? Bukankah lebih berbahaya jika Malaysia benar-benar menjadi komunis.

Problem Malaysia memang berbeda dengan Indonesia. Namun penting disadari bahwa sebagian besar dari pemberontak komunis adalah orang etnis China yang kala itu merupakan minoritas sangat besar (40 persen dibandingkan 21 persen sekarang ini).

Bahkan di antara penduduk China ini ada sejumlah orang yang kini merasa leluhurnya mendiami terra nullius (wilayah kosong): "Ketika leluhur saya datang untuk bekerja di pertambangan timah, tanah ini kosong," kata salah seorang kepada saya. "Orang-orang India kemudian datang untuk bekerja di perkebunan. Sementara orang Islam (sic) datang dari Sumatera." Wah! Apakah Semenanjung Malaya betul-betul kosong?

Catatan ini menunjukkan betapa warisan kolonial dan kondisi psiko-sosial pra-kemerdekaan tetap mewarnai mentalitas orang Malaysia. Sulit bagi mereka melampaui sekat-sekat etnis dalam kehidupan sosial; bahkan ketersekatan telah diformalkan dalam sistem hukum negara: kelompok etnis hidup berdampingan secara terpisah, masing-masing dengan sistem pendidikan dan keagamaan tersendiri, plus dengan permukiman yang cenderung homogen.

Gaya British masih hadir dalam perilaku kaum terdidik, hingga tidak sedikit orang Malaysia tak menguasai bahasa Melayu. Islam mendasari semua sebagai agama resmi negara, tetapi sekaligus mengkristalisasi ketersekatan-ketersekatan sosial. Alhasil ini membuat ruang kebersamaan antar-etnis terbatas, kecuali di kalangan elite tertentu.

Lalu, apa kemudian menjadi perekat kebangsaan? Pembangunan! Tanda nyata terlihat di mana-mana: dalam kehadiran gedung pencakar langit yang menghiasi cakrawala Kuala Lumpur dan Putra Jaya; dalam infrastruktur modern seluruh negeri; dalam kecanggihan teknologi industri ekspor. Betul-betul mengagumkan, membanggakan bagi masyarakat Malaysia.

KOMPAS/ YULVIANUS HARJONO
Pemandangan lansekap di Putrajaya dari puncak Bukit Putrajaya International Convention (PICC), Juni 2010. Dari sini, danau membelah kawasan-kawasan perkotaan yang sebelumnya memang telah didesain secara matang.

Namun, apakah semua ini cukup? Seberapa kuat perekat dalam landasan jalinan ekonomi semata? Itulah pertanyaan mendasar, oleh karena keberhasilan diraih melalui koalisi partai yang sejak kemerdekaan merekayasa pendistribusian kekayaan nasional dengan bias pro-Melayu.

Sistem ini baru melampaui krisis politik besar ketika Najib Razak jatuh, lalu menjelma kembali dalam wujud baru dengan terpilihnya kembali si gaek Mahathir. Namun apa yang bakal terjadi jika laju pembangunan turun secara drastis: bagaimana lalu menisbikan semangat identitas yang diterakan sedemikian kuat di dalam benak orang Malaysia? Itulah pertanyaan pokok tentang masa depan Malaysia.

Maka mungkinkah Malaysia belajar dari Indonesia, di mana tiap-tiap agama dan identitas lain "terpaksa" menerima keabsahan prinsip kesetaraan bagi saingannya. Ya, itulah kesaktian Pancasila.

Kompas, 20 Januari 2019

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger