Aksi ancaman terjadi lagi pada pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi, Rabu (9/1/2019).

Benda yang diduga bom molotov telah dilempar ke kediaman Ketua KPK Agus Rahardjo dan tersangkut di pagar rumahnya di Perumahan Graha Indah, Jatiasih, Bekasi.  Pada saat bersamaan, rumah Wakil Ketua KPK Laode M Syarif di Jalan Kalibata Selatan No 42, Jakarta Selatan, menjadi sasaran teror bom molotov sehingga lantai dua rumahnya terbakar sebagian. Mendapatkan laporan itu, Presiden Joko Widodo menginstruksikan kepolisian mencari pelaku teror.

Peristiwa itu terjadi tepat sehari setelah Polri menerbitkan satuan tugas gabungan (Satgas/3/I/HUK.6.6/2019) dalam rangka pengusutan kasus Novel Baswedan. Belum hilang dari ingatan kita, dua tahun lalu, pada Selasa (11/4/2017)  subuh, penyidik KPK Novel Baswedan disiram air keras sehingga mata kirinya rusak. Hingga hari ini, ketika pemerintah belum juga mengumumkan pelaku dan dalang kejahatan tersebut, bagaimana pengaruhnya terhadap sikap mental masyarakat terhadap kejahatan korupsi? Dalam rangka mewujudkan perlindungan terhadap seluruh tumpah darah Indonesia, apa saja yang paling mendesak dilakukan pemerintah sekarang ini?

Intimidasi jiwa sosial 

Dari hari ke hari, ancaman terhadap aktivitas KPK nyatanya tidak surut. Berdasarkan catatan,  penyidik Afief Yulian Miftach  pernah diintimidasi saat menangani masalah besar di kepolisian. Demikian pula saat Bambang Widjojanto menjadi wakil ketua KPK, banyak penyidik mendapatkan ancaman.

Suka atau tidak, tekad pemerintah tidak berbanding lurus terhadap hasil yang diperolehnya. Sebagai bukti, kasus penyiraman air keras dan minimnya hasil penyelidikan pemerintah tidak saja membawa dampak terhadap jiwa aparat yang bekerja di bawah naungan KPK, tetapi berpengaruh terhadap sikap mental kita hari ini.  Sebab, fakta itu seperti mempertanyakan kembali tekad sekaligus kewajiban pemerintah "melindungi bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia".

Rumusan yang diperoleh, kita sedang menghadapi jiwa masyarakat yang terusik dengan berbagai ancaman pada aparat negara. Logika yang muncul, mereka yang dekat dengan kekuasaan saja bisa diancam dan diserang, apalagi saya sebagai warga biasa saja.

Logika inilah yang perlu diputus. Di luar sana, para pelaku sedang mengelola ketakutan melalui serangan dan ancaman. Ancaman merupakan tindakan agar subyek takut sehingga tidak melakukan sesuatu yang dimaksud oleh pelaku. Media pengantar ancaman bisa memanfaatkan apa saja agar terbebas dari jeratan hukum.

Ketakutan di dalam diri manusia dapat dipahami sebagai rasa ngeri terhadap dua rasa sakit, yakni sakit fisik dan psikis. Strategi melampaui ketakutan pernah dilakukan oleh Friedrich Nietzsche ketika nilai-nilai sosial terbelenggu oleh "kebajikan" yang meninabobokan masyarakat. Karena itu, dia mengatasinya dengan menawarkan nilai-nilai manusia unggul yang melampaui rasa takut fisik dan psikis. Hal itu juga dilakukan secara menyimpang oleh Adolf Hitler. Dia  menyembunyikan ketakutan-ketakutan akan kehilangan negaranya dengan cara menciptakan ideologi Pan-Jermanisme melalui perluasan wilayah, antisemitisme, dan peningkatan kekuasaan.

Pengelolaan rasa takut 

Itulah kenapa kita perlu memahami rasa sakit dan pengelolaan rasa takut secara tepat. Tingkatan rasa sakit dimulai dari rasa sakit fisik yang bersifat sementara hingga rasa sakit psikis yang tidak akan hilang selama-lamanya. Contoh, rasa sakit paling ringan adalah digigit semut karena rasa sakit fisik yang sebentar lagi hilang. Contoh lain, penyiksaan adalah rasa sakit paling berat karena ketidakberdayaan mengatasi penderitaan fisik dan mental.

Ketakutan mengacu pada kondisi yang akan selalu dijauhi oleh setiap orang. Rasa takut membuat orang tidak lagi melakukan hal-hal yang selama ini dikerjakan. Mereka akan menjauh dan berdiam diri di tempat yang aman.

Terusiknya jiwa sosial ini menuntut pemerintah untuk mencermati serius. Dalam konteks mewujudkan perlindungan terhadap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, ada tiga hal yang perlu dilakukan oleh pemerintah.

Pertama, pemahaman yang menyeluruh tentang pentingnya mandat para penyelenggara negara mewujudkan rasa aman dan terlindungi bagi seluruh warga negara. Sepanjang masih ada ancaman, pemerintah masih perlu menyelesaikan secara sungguh-sungguh di atas segala program apa pun yang sedang dijalankan. Sebab, teror tersebut tidak hanya berimbas pada subyek yang diancam, tetapi terhadap sikap masyarakat secara umum. Ketika ancaman itu tidak bisa diselesaikan, jelas akan berdampak terhadap semangat juang warga bangsa memberantas korupsi.

Kedua, pemerintah perlu merawat aset bangsa dalam bentuk semangat antikorupsi di tubuh KPK. Perlu program mendesak untuk melakukan perlindungan terhadap spirit di sana. Perlindungan secara fisik memang  dibutuhkan. Hanya saja, hal yang paling dibutuhkan adalah perlindungan terhadap kekuatan, semangat, dan nilai-nilai spiritual pemberantasan korupsi. Itulah kenapa mempersenjatai aparat KPK bukanlah usulan yang mendasar karena persenjataan yang paling kuat adalah mewujudkan nilai-nilai spiritual antikorupsi.

Ketiga, pemerintah perlu memperkuat nilai-nilai keberanian sebagai watak unggul bangsa. Perlawanan terhadap para penjahat kerah putih tidak saja memburu dan menangkap, tetapi memperkuat nilai-nilai filosofis bangsa.

Tantangan kita masa kini adalah perubahan sikap mental sosial. Selama ini sikap mental sosial dikenali melalui nilai-nilai, kebiasaan, tradisi, hingga tata norma yang berlaku. Kenyataannya mental sosial masa kini mengaburkan tata nilai ideal menjadi tata nilai material dan komersial. Artinya, ketakutan masa kini adalah takut miskin, takut kehilangan kekuasaan, takut kelaparan.

Ketakutan masa kini menyuburkan sikap mental koruptif.  Penguatan spiritualitas antikorupsi melampaui rasa takut akan menghasilkan semangat yang luar biasa sehingga koruptor tidak lagi memiliki "daya hidup" di tengah masyarakat. Hari ini kita butuh merekayasa nilai-nilai kebangsaan dan bahu-membahu membangun nilai antikorupsi tanpa kenal rasa takut.