Sebuah kepemimpinan politik yang tepat dalam sebuah zaman yang tengah bergerak mensyaratkan tiga kriteria.

Pertama, kemampuan pemimpin untuk melukiskan harapan, memperlihatkan bintang penjuru (leitstar) bagi masa depan yang berdasarkan kenyataan (bukan kebohongan) kepada rakyatnya. Kedua, kemampuan pemimpin untuk membangkitkan kepercayaan diri kepada rakyatnya. Ketiga, kemampuan pemimpin untuk membangun solidaritas dan persatuan melampaui pembelahan sosial yang menghancurkan.

Demikianlah Presiden Sukarno menguraikan kriteria- kriteria kepemimpinan yang besar untuk Indonesia dalam salah satu kuliah tentang Pancasila di Istana Merdeka pada 16 Juni 1958.

Pidato Bung Karno lebih dari 60 tahun silam itu agaknya masih relevan bagi kita. Kebutuhan atas kepemimpinan yang mampu menunjukkan arah, membangkitkan rasa percaya diri dan kemampuan menyatukan di tengah partikularitas yang merusak saat ini menjadi penting.

Kebutuhan hadirnya kepemimpinan seperti itu semakin terasa terutama pada hari-hari belakangan ini, menjelang Pilpres 2019, di tengah merajalelanya strategi politik yang memainkan ketakutan sebagai cara untuk mengonsolidasikan dukungan. Juga, kemarahan politik yang hampir-hampir tidak menyisakan ruang untuk saling memahami, dan kedangkalan kampanye tim-tim sukses kandidat presiden yang hampir-hampir tidak menghadirkan konsepsi-konsepsi bernegara bagi masa depan kita.

Apa yang tengah terjadi di Indonesia saat ini bukanlah sebuah perkecualian. Sosiolog prolifik asal Inggris, Frank Furedi, dalam sebuah wawancara pada tahun 2018 tentang menyebarnya politik populisme global, menjelaskan bahwa di tengah menyeruaknya kegeraman massa, berbagai kekuatan politik memainkan kartu ketakutan untuk saling menyerang lawan politiknya.

Setiap kekuatan politik memperlihatkan keutamaan dirinya dengan cara saling menempelkan stigma ancaman terhadap rival politiknya dengan menyebarkan wabah ketakutan kepada konstituen politik. Permainan kartu politik ketakutan dan ancaman hadir di tengah impotensi masing-masing pihak untuk melukiskan asa atau harapan dalam terang kemajuan (progress) dan sapuan warna cerah kemanusiaan (humanism).

Kegeraman dan ketakutan

Apa yang tengah berlangsung dalam keadaan politik global juga tengah kita alami saat ini. Polarisasi dan pembelahan politik yang tengah berlangsung dalam kontestasi politik menjelang Pilpres 2019 tidak dibangun berdasarkan agenda-agenda utama politik seperti demokrasi, hak-hak asasi manusia, dan rumusan ideologi programatik menuju keadilan sosial.

Polarisasi politik terbangun berdasarkan "keakuan" masing-masing pihak. Satu pihak merasa memegang klaim sebagai satu-satunya pihak yang absah mendefinisikan kebangsaan melalui jargon "Aku Pancasila", sementara di pihak satunya lagi menyatakan diri merekalah sebagai pemilik absah otoritas keumatan dengan menyatakan yang lain sebagai "Musuh Umat".

Di tengah benturan kegeraman antarpihak, pada lapisan terdalam mentalitas masyarakat kita tengah berjangkit problem neurosis politik. Sebuah mentalitas di mana pihak-pihak yang tengah bertikai saling dilanda kecemasan dan ketakutan yang tidak sehat atas masa depan negeri ini.

Bagi pihak yang menempatkan diri sebagai pemegang absah klaim kebangsaan, hadir dan menguatnya posisi dari rival politiknya dipandang sebagai potensi eksklusi terhadap diri mereka untuk berpartisipasi membentuk negerinya. Sementara bagi kekuatan sosial yang merasa memegang klaim keumatan, kemenangan pihak yang lain dianggap sebagai sinyal sekaligus langkah awal bagi marjinalisasi umat untuk berkontribusi bagi masa depan Indonesia.

Dalam beberapa hal, ketakutan yang diidap masing-masing pihak cukup beralasan, meskipun tidak sedramatis seperti yang digambarkan oleh masing-masing pihak yang tengah bertarung.

Satu hal yang dilupakan oleh agensi-agensi politik utama—dan tentunya para pemimpin negeri ini—adalah bahwa kegelapan tidak dapat diakhiri dengan menyebarkannya ke mana-mana. Kegelapan hanya bisa diakhiri dengan menghadirkan terang, menyalakan obor, dan menunjukkan terang bintang penjuru (leitstar) di langit Indonesia.

Arah kepemimpinan Indonesia masa depan sudah seharusnya segera ditempatkan untuk membangkitkan kepercayaan diri dari rakyat untuk meraih masa depannya. Sebuah jalan yang hanya bisa diraih dengan menempatkan kembali cita-cita demokrasi yang meninggikan demos—kepercayaan rakyat—sebagai platform politik dan ideologi serta turunan programatiknya dalam menyongsong Indonesia ke depan oleh berbagai kekuatan politik yang tengah berkontestasi.

Sayangnya, saat ini, di tengah kebutuhan akan tampilnya kepemimpinan autentik yang mampu membangkitkan kepercayaan rakyat (demos) bagi masa depan dirinya justru kehilangan satu prasyarat yang substansial. Prasyarat tersebut adalah sepinya isu-isu yang terkait agenda penting demokrasi, seperti kebebasan sipil, penguatan hak-hak warga, problem oligarki, corak demokrasi sosial-ekonomi, dan pemulihan hak-hak kemanusiaan sebagai kata-kata kunci dalam program kampanye.

Saat ini kita tengah berhadapan dengan kebutuhan akan lahirnya gagasan-gagasan besar, sementara yang ada di sekitar kita justru adalah pemain-pemain politik kecil, politisi kelas medioker!

Problem intelektual

Tentu ini bukan saja persoalan yang semata-mata bisa dialamatkan pada figur-figur personal pemimpin belaka. Iklim intelektual yang tengah menggejala saat ini memberi andil bagi tidak lahirnya gagasan-gagasan brilian dan autentik di negeri ini.

Dan, yang hadir di hadapan kita adalah lapisan-lapisan intelektual yang mengambil posisi partisan di masing-masing kekuatan politik yang tengah bertikai. Benar bahwa partisanship—keberpihakan—bukanlah sesuatu yang haram bagi kalangan intelektual. Namun, kehadiran mereka di masing-masing kubu saat ini tidak lebih dari sekadar menjadi aparat pengetahuan yang mereproduksi budaya kegeraman dan kemarahan yang ada.

Saat ini kita kehilangan lapisan intelektual yang masih bersetia dalam tugas ideasionalnya yang mampu menunjukkan peta sosial. Peta sosial yang berfungsi sebagai arah navigasi yang dibutuhkan oleh setiap pemimpin untuk melukiskan harapan bagi kepercayaan diri dari rakyat untuk membangun negerinya.

Sebuah panggilan Tanah Air sedang berkumandang saat ini untuk kaum yang sadar dan merasa ada yang harus dibenahi dalam mendung politik Indonesia. Sebuah panggilan untuk menyelesaikan warisan kelam masa yang telah lampau, menyudahi demonstrasi politik ketakutan dan kemarahan yang ditujukan tak lebih untuk melayani kelompok oligarki, serta menyatukan segenap energi kerakyatan bagi pemenuhan cita-cita Indonesia yang demokratik, manusiawi, dan berkeadilan sosial.