INDRO UNTUK KOMPAS

Trias Kuncahyono, wartawan Kompas 1988-2018

Ingat kisah Pinokio, boneka kayu ciptaan Kakek Geppeto?

Demikianlah kisahnya. Syahdan menurut cerita, Kakek Geppeto yang hidup sendiri merasa sangat kesepian. Lalu, ia membuat boneka kayu. Ia berdoa dalam hatinya semoga boneka kayu buatannya bisa hidup dan menjadi anak kecil.

Dan, alangkah terkejutnya Kakek Geppeto, doanya terkabul. Boneka kayu buatannya hidup! Bisa berjalan. Bisa berbicara. Dengan kegembiraan yang meluap-luap dalam hatinya, Kakek Geppeto memberi nama boneka kayu yang hidup itu Pinokio.

Harapan dan impian tidak berhenti sampai di sini. Ia ingin sekali Pinokio menjadi anak pintar. Karena itu, Pinokio yang memanggil Kakek Geppeto sebagai ayah didaftarkan masuk sekolah. Kakek Geppeto menjual pakaiannya dan dengan uang itu, ia membelikan Pinokio sebuah buku. "Belajarlah baik-baik dengan buku ini," nasihat Kakek Geppeto.

"Terima kasih, Pak. Aku akan pergi ke sekolah dan belajar giat biar menjadi anak pintar," kata Pinokio.

Dan, suatu hari Pinokio berangkat ke sekolah. Tetapi, ia tidak berjalan menuju sekolah setelah mendengar suara tambur bertalu-talu. Ketika Pinokio mendekat, ternyata suara tambur itu dari sebuah tenda sandiwara boneka. Tergoda ingin melihat sandiwara, Pinokio menjual bukunya dan membeli karcis masuk.

Ia melanggar janjinya kepada Geppeto. Singkat cerita, akibat perbuatannya itu, setiap kali berbohong, hidung Pinokio bertambah panjang.

Ia melanggar janjinya kepada Geppeto. Singkat cerita, akibat perbuatannya itu, setiap kali berbohong, hidung Pinokio bertambah panjang. Karena berkali-kali berbohong, hidung Pinokio terus bertambah panjang sampai-sampai badannya tak mampu berdiri tegak akibat hidungnya yang panjang. Sebaliknya, kalau ia berkata jujur, panjang hidung Pinokia berkurang. Ia pun gembira karenanya.

Di akhir cerita, menurut Carlo Collodi, penulis kisah Pinokio (1818) asal Italia ini, Pinokio mengalami musibah sehingga tenggelam di lautan. Meski akhirnya diselamatkan oleh Kakek Geppeto yang merasa sedih kehilangan kabar dari Pinokio. Berhari-hari pergi tanpa jejak, hingga memutuskan mencari Pinokio di mana pun ia berada. Karena kegigihan Kakek Geppeto, dan Pinokio yang menyadari tentang makna kejujuran serta betapa tak enaknya ketika berbohong, telah menjadi satu titik balik perjalanan. Pinokio yang semula berwujud boneka kayu berubah menjadi seorang anak laki-laki betulan.

Namun, para peneliti di Spanyol dari University of Granada mengungkapkan kisah sebaliknya sebagai akibat dari kebohongan. Menurut menurut mereka, ketika berbohong, hidung bukan memanjang, melainkan menyusut sedikit alias memendek. Apa pun, akibat dari kebohongan itu ada!

Politik kebohongan

Seorang penyair dan pengarang dongeng dari Yunani, Claudius Aesopus (620-564 SM), pernah mengatakan, "Seorang pembohong tidak akan dipercaya bahkan ketika ia berbicara tentang kebenaran." Di zaman yang lain, Robert Green Ingersoll, pengacara dan politikus dari AS (1833-1899), mengatakan hal yang hampir sama dengan rumusan yang lain, "Sebuah kebohongan tidak akan cocok dengan apa pun, kecuali dengan kebohongan lainnya."

KOMPAS/ALIF ICHWAN

Petugas mengawal tersangka penyebar berita hoaks tujuh kontainer surat suara tercoblos di Divisi Humas Polri, Jakarta, Rabu (9/1/2019). Berita bohong banyak tersebar jelang Pilpres 2019.

Friedrich Nietzsche (1844-1900), ilmuwan dan filsuf asal Jerman yang hidup sezaman dengan Robert Green Ingersoll, juga berbicara soal kebohongan. "Saya tidak sedih kalau Anda telah membohongi saya, tetapi saya justru sedih karena sejak saat itu saya tidak bisa percaya lagi kepada Anda."

Namun, petinggi Partai Nazi yang juga tangan kanan Adolf Hitler, Paul Joseph Goebbels (1897-1945), tidak peduli dengan omongan Nietzche itu walau sama-sama orang Jerman. Goebbels bahkan mengatakan, "Kebohongan yang diucapkan terus-menerus niscaya akan dipercaya sebagai sebuah kebenaran."

Hasilnya? Kebohongan kepada publik sekarang ini meluas. Kebenaran pun menjadi barang mewah. Menurut J Sudarminta SJ, rohaniwan dan doktor lulusan Fordham University, AS, kalau kebohongan kepada publik diterus-teruskan, akan membuat bangsa ini hidup dalam kepura-puraan. Bangsa ini berkembang menjadi bangsa yang tidak pernah dewasa karena terbiasa bohong. Bahkan, untuk persoalan-persoalan yang seharusnya dikatakan apa adanya.

Kini, bahkan, kebohongan politik yang berbaur dengan politik kebohongan tampak kian mewarnai lanskap politik Indonesia menjelang pemilihan presiden 17 April 2019.

Kebohongan meluas karena pengaruh pasar yang didominasi nafsu memperoleh keuntungan dengan cepat. Segala cara dihalalkan, termasuk lewat kebohongan. Kini, bahkan, kebohongan politik yang berbaur dengan politik kebohongan tampak kian mewarnai lanskap politik Indonesia menjelang Pemilihan Presiden 17 April 2019.

Menurut Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, Azyumardi Azra (Kompas, Sabtu, 12 Mei 2007), political lies dan lies politics itu justru melanda banyak kalangan elite politik yang mengimbas pada lingkungan pemilih akar rumput. Kasus kebohongan publik yang menjadi kebohongan politik terlihat jelas dalam kasus Ratna Sarumpaet (RS) yang menghebohkan masyarakat. Yang baru adalah kasus penyebaran berita tujuh truk kontainer yang berisi surat suara yang sudah dicoblos.

Kebohongan politik ini segera menjadi sarat dan tumpang tindih dengan politik kebohongan. Yang dimaksud dengan politik kebohongan, mudahnya, adalah politik tanpa bukti, tanpa verifikasi kebenaran atau ketidakbenaran informasi, fakta, dan data terkait. Tanpa proses ini, politik menjadi sarat kebohongan dan manipulatif—mengarah untuk menyerang lawan politik.

Berangkat dari kondisi seperti itu, sebenarnya berpolitik secara santun adalah sebuah keniscayaan, apalagi saat ini. Berpolitik secara santun mudah diucapkan sulit diwujudkan. Oleh karena, berpolitik secara santun mendasarkan diri pada keutamaan moral, beretika dalam tindak dan tanduk, kebijakan dalam bertutur kata, menanamkan obyektivitas, rendah hati, dan open mind. Semua itu dimaksudkan untuk menuju terciptanya, meminjam istilah yang dikemukakan filsuf Yunani, Plato, perfect sosiety, masyarakat yang sempurna. Itu artinya, orientasi utama politik adalah pada kemaslahatan rakyat dan kemajuan negara.

FAJAR RAMADHAN

Sejumlah siswa berswafoto dengan atribut antihoaks.

Tidak akan yang ada membantah bahwa berpolitik secara santun adalah sebuah keniscayaan. Mengapa berpolitik secara santun menjadi keniscayaan. Sebab, sejatinya berpolitik adalah panggilan untuk melayani sesama. Melayani sesama dalam berbagai aspek kehidupan adalah suatu hal yang tidak mudah dilakukan. Hanya mereka, politisi, yang memiliki integritas diri, komitmen yang kuat, dan moralitas yang baik yang mampu melaksanakan panggilan politik itu.

Kebohongan, pemutarbalikan fakta, berita-berita hoaks, dan semacamnya menimbulkan dampak buruk di masyarakat, misalnya memunculkan sifat saling membenci, tidak percaya, dan kesombongan. Bahkan, mengutip Paus Fransiskus, berita hoaks itu "membunuh" karena lidah bisa membunuh seperti pisau.

Hoaks adalah terorisme karena dengan lidah, mereka menjatuhkan bom lalu pergi tanpa bertanggung jawab. Bahkan, bom yang pelaku penyebar hoaks jatuhkan bisa menghancurkan reputasi seseorang di mana-mana. "Berita palsu mengindikasikan sikap intoleran dan hipersensitif, hanya menyebarkan kebencian dan arogansi. Itu adalah akibat sebuah kebohongan."

Dalam konteks seperti itulah, politik yang bermartabat sangatlah penting. Tentang politik yang bermartabat ini, Niccolo Machiavelli, tokoh yang buah-buah pikirannya sering disalahtafsirkan, pernah mengatakan, "Membunuh sesama warga, mengkhianati kawan, curang, keji, tak peduli agama, tidak dapat disebut kegagahan. Cara-cara macam ini dapat memenangkan kekuasaan, tetapi bukan kemuliaan."