HANDINING

M Subhan SD, wartawan senior Kompas

Aroma "baru" tahun 2019 cuma terasa sehari. Mungkin hanya sewaktu pergantian tahun dari 2018 ke 2019 saja ketika orang berdoa dan menyalakan kembang api. Tatkala mengakhiri tahun 2018 dan menyongsong Tahun Baru 2019; saat semangat, harapan, dan optimisme menjadi titik pijakan baru.

Kita sepakat meninggalkan 2018 dengan mengubur residu dan polutan yang merusak kehidupan politik. Karena, tahun 2019 adalah harapan baru tatkala tonggak bersejarah akan terukir kembali ketika rakyat menyalurkan aspirasinya di Pilpres 2019 untuk mencari pemimpin negeri ini untuk periode 2019-2024.

Tetapi, baru menginjak di hari kedua tahun 2019, politik sudah kembali ke perilaku lama. Politik penuh prasangka, memviralkan kabar yang tak jelas juntrungannya (hoaks), tudingan insinuatif sudah mengguncang di hari kedua tahun 2019.

Seiring tenggelamnya matahari harapan 2019 pada 1 Januari, ruang politik kembali berpolusi.

Seiring tenggelamnya matahari harapan 2019 pada 1 Januari, ruang politik kembali berpolusi. Seakan-akan tak ingin didahului pihak lain, ada pihak-pihak yang buru-buru menebar berita hoaks sehingga menjadi bumbu yang tidak sedap untuk mengawali tahun 2019.

Ada suara rekaman yang tak jelas menginfokan "Ini sekarang ada 7 kontainer di Tanjung Priok, sekarang lagi geger. Marinir sudah turun, dibuka satu (kontainer). Isinya kartu suara yang dicoblos nomor 01. Dicoblos Jokowi. Itu kemungkinan dari China itu". Beberapa hari kemudian, tiga orang ditangkap, yaitu HY, LS, dan J, terkait kasus penyebaran hoaks tersebut. Polisi terus berupaya menangkap orang yang berperan sebagai kreator dan buzzer-nya.

Malam-malam pada hari kedua tahun 2019 itu pun geger. Lalu setidaknya ada dua kicauan di Twitter yang merespons rumor itu yang kemudian terus menggulirkan kehebohan. Pertama, kicauan @AndiArief: "Mohon dicek kabarnya ada 7 kontainer surat suara yang sudah dicoblos di Tanjung Priok. Supaya tidak fitnah harap dicek kebenarannya karena ini kabar sudah beredar". Cuitan Wakil Sekjen Partai Demokrat itu pun viral, tetapi kemudian dihapus. Namun, screenshot cuitan itu sudah tersebar ke mana-mana, tak bisa dihentikan.

KOMPAS/BAHANA PATRIA GUPTA

Relawan Masyarakat Antifitnah Indonesia melakukan kampanye antihoaks saat berlangsungcar free day di Jalan Darmo, Surabaya, Jawa Timur, Minggu (14/1/2018). Kegiatan dilakukan untuk mengajak masyarakat agar cerdas menyikapi beredarnya berita di medsos.

Kedua, cuitan akun @ustadtengkuzul: "7 kontainer surat suara pemilu yang didatangkan dari Cina sudah tercoblos untuk pasangan nomor 01? ('mengutip stasiun televisi'). Tampaknya Pemilu sudah dirancang untuk curang…? Kalau ngebet banget apa tidak sebaiknya buat surat permohonan agar capres yang lain mengundurkan diri saja? Siapa tahu mau". Cuitan ini juga telah dihapus.

Ruang politik menjadi gempar pada hari kedua tahun 2019. Padahal baru saja orang berharap tahun politik 2019 akan tenang dan kondusif mendekati hari menentukan pilpres pada 17 April 2019. Maklumlah, sepanjang 2018–dan tentu saja tahun-tahun sebelumnya–politik terlalu panas didominasi dengan pembicaraan dan tingkah polah saling hantam, prasangka, tudingan, fitnah.

Pendek kata politik jauh dari perdebatan isu-isu bermutu, substantif, dan problematik yang justru dapat menghidupkan bangunan politik. Politik hari ini mirip pepohonan di tengah gurun yang kering, gersang, meranggas, ringkih, dan lebih menghadirkan aroma kesuraman. Politik bukan lagi sebagai ladang subur tempat persemaian bibit unggul yang nantinya menjadi pohon rindang yang meneduhkan. Politik rasanya sulit mengalirkan air kehidupan. Politik adalah ladang kering kerontang.

Media sosial dan demokrasi

Pada era digital, politik memang semakin beraneka warna ketika media sosial menjadi medium tempat menyampaikan atau menyalurkan aspirasi politik. Media sosial memainkan peran penting dalam politik, terutama sejak keruntuhan para tiran di Timur Tengah.

Sejak akhir 2010, media sosial menjadi alat penggerak unjuk rasa masif di kawasan Timur Tengah yang kemudian dikenal sebagai Arab Spring (Musim Semi Arab). Demonstrasi dan pemberontakan sipil menemukan model baru ketika media sosial, seperti Facebook, Twitter, Youtube, dan Skype, digunakan untuk berkomunikasi, mengorganisasi, dan memobilisasi rakyat.

LIONEL BONAVENTURE AND NICOLAS ASFOURI / AFP

Beragam media sosial, seperti Twitter dan Facebook, memainkan peran penting dalam perpolitikan.

Pada akhirnya revolusi di Timur Tengah itu menggulingkan rezim-rezim kuat seperti Zine El Abidine Ben Ali (Tunisia), Hosni Mubarak (Mesir), Moammar Khadafi (Libya), Ali Abdullah Saleh di (Yaman), dan menimbulkan gelombang protes dan kerusuhan di berbagai negara antara lain Bahrain, Suriah, Oman, Irak, Jordania, Sahara Barat, Mauritania, dan Maroko. Media sosial menjadi alat efektif dalam proses demokratisasi politik.

Di negara-negara yang memiliki sistem otoriter dan tertutup, media sosial berfungsi sebagai alat yang positif untuk membongkar keterbukaan dan kebebasan. Media sosial menjadi sarana penyaluran dan distribusi sekaligus amplifikasi semangat demokrasi.

Namun, di sisi lain, di negara-negara di mana demokrasi tumbuh subur, media sosial juga lebih dominan berfungsi sebaliknya. Media sosial menjadi alat yang merusak tatanan demokratis. Kebebasan dan keseteraan demokrasi yang menghargai hak-hak individu justru diterabas begitu saja.

Media sosial menjadi tempat sampah mereka yang menumpahkan kebohongan, kebencian, fitnah, adu domba.

Media sosial menjadi tempat sampah mereka yang menumpahkan kebohongan, kebencian, fitnah, adu domba. Tudingan sepihak dan penghakiman terhadap suatu masalah atau orang begitu mudah diviralkan di media sosial. Padahal demokrasi mengajarkan perdebatan publik secara setara, dinamis, dan konstruktif. Tetapi, ini sebaliknya, media sosial justru digunakan untuk menghancurkan.

Ini soal rebutan kekuasaan

Begitulah, situasi media sosial sekarang telah terjebak dalam gelombang arus besar motif kebohongan dan kebencian. Di politik lebih jelas lagi. Sebab, politik adalah arena rebutan kekuasaan, ketika tidak sampai pada fase tujuan kemaslahatan publik.

KOMPAS/WISNU WIDIANTORO

Dari kiri, cawapres nomor urut 01, KH Ma'ruf Amin; capres nomor urut 01, Joko Widodo; capres nomor urut 02, Prabowo Subianto; cawapres nomor urut 02, Sandiaga Uno; sebelum dimulainya Deklarasi Kampanye Damai Pemilu Serentak 2019 di Lapangan Monumen NAsional, Jakarta, Minggu (23/9/2018). Banyak hoaks menyebar melalui medsos menjelang Pilpres 2019.

Itulah yang disebut Peter Merkl, ilmuwan politik kelahiran Jerman, bahwa politik itu cuma tampak sebagai perebutan kekuasaan, kedudukan, dan kekayaan untuk kepentingan sendiri (a selfish grab for power, glory, and riches). Atau dalam bahasa pakar politik Harold Lasswell bahwa politik itu tentang siapa mendapat apa, kapan, dan bagaimana (Politics: Who gets Whats, When, How).

Jadi, cuitan di media sosial tak sulit untuk melihat konstruksi motif politiknya. Ini soal rebutan kekuasaan di Pilpres 2019. Padahal Pilpres itu semestinya momentum, bukan tujuan.

Memang ada dalih bahwa cuitan soal "tujuh kontainer surat suara yang telah dicoblos" adalah "pertanyaan", upaya "mencegah", atau "menyelamatkan" Pilpres 2019. Boleh-boleh saja punya alasan seperti itu. Tetapi argumentasi itu lemah.

Sebab, media sosial yang sudah dipenuhi dengan polusi isu dan komentar bukanlah tempat yang tepat untuk melayangkan "pertanyaan" atau "pernyataan" itu. Ada saluran yang tepat untuk bertanya soal kebenaran isu tersebut. Pertanyaan atau pernyataan di media sosial justru membuat kegaduhan.

Bagi politikus, tidak sulit untuk bertanya menggunakan saluran yang benar misalnya melalui partainya yang diteruskan ke KPU sebagai penanggung jawab soal surat suara. Bagi tokoh masyarakat juga demikian. Biarkan semua insitusi bekerja secara profesional. Jika ditemukan ada indikasi menyimpang, di situlah tugas publik untuk mengontrol. Bukan merecoki ketika institusi-institusi tersebut masih bekerja dalam koridornya.

Gunakan sebaik-baiknya, bukan untuk melukai

Rasanya sudah lama dan muak kita dengan perilaku politik post-truth di mana kebenaran ditelantarkan, dan justru sebaliknya mendewakan "kabar burung". Mungkin kebenaran bisa "di-skip" begitu saja ketika tak sesuai dengan pilihan politik. Barangkali jari terlalu dekat dengan gawai. Rasional dikalahkan oleh emosional. Betapa media sosial menjadi "pisau bermata dua" di politik.

KOMPAS/WAWAN H PRABOWO

Para pemuda yang tergabung dalam Gerakan Pemuda Islam Indonesia menggelar aksi deklarasi Pilkada 2018 dan Pemilu 2019 Damai di Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta, (25/3/2018).

Berulang kali dikampanyekan bahwa think before sharing atau klarifikasi (tabayyun) dulu, tetapi tetap saja tak mempan. Sayang, tahun sudah baru tetapi perilaku tak berubah juga. Anak muda generasi milenial–yang konon wataknya lebih melekat dengan era digital sekarang–Martin Garrix, seorang DJ dan musisi asal Belanda, justru lebih bijak menganjurkan hal positif dalam bermedia sosial.

"Menggunakan media sosial untuk melukai dan menghancurkan itu tidak berperasaan, diperankan oleh pengecut yang bersembunyi di balik komputer," kata anak muda kelahiran tahun 1996 itu.

Menggunakan media sosial untuk melukai dan menghancurkan itu tidak berperasaan, diperankan oleh pengecut yang bersembunyi di balik komputer.

Ya, dengan media sosial, tentunya kita tak ingin memperkeruh situasi politik yang terus-menerus butek. Perilaku bermedia sosial yang merusak politik, merenggangkan kohesi sosial, hingga membelah integrasi nasional, adalah cara-cara yang tidak bermartabat dan bertanggung jawab. Apabila kita menyadari kekuatan media sosial dapat meneguhkan demokrasi, tetapi sekaligus juga menyadari daya destruktifnya, tentunya kesadaran dan komitmen sebagai warga negara terhadap bangsa dan negara teramat penting.