Hujan deras mengguyur Jakarta Selatan. Saya tak tahu apakah dalam waktu yang sama, bagian Jakarta lainnya juga diguyur hujan. Saya dan sekelompok orang berteduh di sebuah area kecil di suatu mal.

Di ruang kecil itu, ada tanda yang menyatakan dilarang merokok, tetapi di ruangan itu semua orang asyik merokok. Mungkin menghangatkan badan dari cuaca dingin.

Pendidikan dan nurani

Setelah hujan mereda, saya pulang ke rumah. Di jalan menuju rumah, saya mulai berpikir bagaimana seseorang dapat melanggar aturan? Kalau dilihat dari cara berpikir, saya yakin seratus persen mereka yang merokok di ruang kecil itu mengerti apa yang dimaksud dengan larangan itu.

Saya yakin mereka bukan orang yang tak mengerti simbol larangan itu. Kalaupun mereka tak menikmati pendidikan yang tinggi, bahkan katakanlah mereka buta huruf, larangan merokok itu ditampilkan dalam bentuk simbol batang rokok dengan coretan merah yang cukup besar untuk dilihat kasatmata.

Tetapi, mengapa mereka tetap melakukan itu? Ini menjadi pencetus saya berpikir dalam perjalanan menuju tempat tinggal. Apakah otak tak cukup digunakan untuk berpikir agar tidak melanggar? Apakah pelanggaran yang dilakukan dengan sadar itu dicetuskan oleh rendah atau tingginya pendidikan dan cara mendidik yang diberikan orangtua atau cara para guru di sekolah mendidik?

Ataukah otak, tingkat pendidikan, serta cara mendidik tak cukup untuk mengingatkan seseorang untuk tidak melanggar aturan? Atau pada akhirnya, otak dan pendidikan tak cukup kuat untuk menjamin seseorang tak akan melanggar? Bahwa otak encer dan pendidikan tinggi tak berbanding lurus dengan kemampuan seseorang untuk tidak melanggar aturan.

Jadi, apa yang kira-kira mampu membuat mereka tak melanggar? Kemudian saya berpikir dengan otak terbatas dan jongkok ini. Apakah hati nurani bisa memberi kontribusi agar manusia tak melanggar? Kalau sesuatu yang eksak sudah tak bisa memberi jalan keluar, apakah mungkin yang tak eksak bisa membantu?

Bukankah pada dasarnya manusia itu terdiri dari otak dan hati nuraninya? Ataukah pelanggaran dilakukan karena hati nuraninya pun sudah tak mampu memberi kontribusi untuk tidak melanggar. Jadi, kalau saya ini melanggar apa pun bentuknya, apakah itu menunjukkan bahwa otak dan nurani serta pendidikan saya selama ini sama sekali sudah tak ada gunanya?

Melihat, tetapi buta

Apakah itu yang dimaksud bahwa saya ini manusia buta yang melihat atau manusia yang mampu melihat dalam kebutaan? Apakah buta yang sesungguhnya bukanlah mata yang buta, tetapi hati nuraninya yang buta?

Karena buta, maka hati nurani tak bisa lagi melihat. Maka ketika seseorang melakukan perselingkuhan, korupsi, pembunuhan, menipu, memperkosa, menyerobot, memarkir mobil seenaknya, menyogok, apakah itu semua adalah aktivitas yang sewajarnya dilakukan oleh orang buta nurani?

Pada malam berhujan ketika saya berteduh di ruang kecil di mal itu, saya tak melakukan wawancara, apakah mereka merasa bersalah atau tidak melakukan aktivitas merokok di depan sebuah tanda yang jelas-jelas berarti dilarang merokok.

Saya juga tak menanyakan mengapa mereka tak peduli dengan larangan itu atau apakah mereka merasa bersalah atau sama sekali tak bersalah melakukan pelanggaran.

Saya tak bisa membayangkan bahwa seseorang itu otak, pendidikan, dan nuraninya sudah tak peka lagi, apakah itu masih bisa disebut manusiawi.

Ataukah sesungguhnya yang disebut dengan manusiawi itu, yaaa… gagalnya otak untuk berpikir bahwa itu sebuah pelanggaran, gagalnya pendidikan dan cara mendidik untuk membuat seseorang mengerti tentang arti pelanggaran, dan gagalnya hati nurani untuk peka bahwa sebuah pelanggaran sedang dilakukan. Begitukah?

Apakah istilah orang yang tidak peduli dan istilah yang penting saya senang adalah bukti nyata bahwa otak, pendidikan, dan hati nurani seseorang itu tak berfungsi sebagaimana mestinya?

Dalam perjalanan pulang malam itu tak saya jumpai jawabannya, bahkan hingga taksi yang membawa saya telah berhenti tepat di lobi apartemen.

Seperti saya tuliskan di atas, malam itu saya tak melakukan wawancara kepada mereka yang melakukan pelanggaran. Maka, hari Minggu ini saya bermaksud bertanya kepada bapak, ibu, saudara-saudari sekalian. Apakah ketika Anda melanggar sesuatu, Anda merasa tak bersalah, padahal Anda tahu pasti bahwa Anda sedang melanggar?