Tak ada yang tidak berakhir menjadi bahan tertawaan sekarang ini. Urusan prostitusi, debat calon presiden, politik kemanusiaan, dan entah apa lagi nanti, datang pergi menjadi topik jangka pendek dari ingatan manusia yang juga kian pendek.

Kita menuju berakhirnya era sesuatu yang berat, diganti oleh sesuatu yang ringan. Lightness teknologi informasi yang sasarannya inti neuron telah membawa manusia menjadi entitas ringan, melayang-layang dalam dunia di mana sesuatu yang nyata dan tidak nyata tiada beda.

Mungkin tak terbayangkan oleh Ibu Buku, teks pada lembarannya pun digantikan pixel, menjadikan wujud dirinya entah tipis entah gendut kurang diperlukan lagi. Peranti digital yang genit, memperbarui penampilan setiap musim, lebih menggoda. Dengan monopoli toko buku, pajak yang tak kenal ampun, turunnya minat baca dan lain-lain, Ibu Buku kian merana. Siapa peduli ketika tentara menusukkan pedang Damocles kepadanya dengan razia di toko-toko dan kios-kios. Penguasa bungkam, sama sekali tidak mengucapkan duka cita.

Buku saya sebut Ibu karena bukulah yang melahirkan peradaban, mengantarkan manusia pada tingkat evolusi neuron sampai pada tahap seperti sekarang. Bermula dari bahasa, ditemukannya bahasa ratusan ribu tahun lampau membuat manusia lepas landas meninggalkan spesies lain, menjadi makhluk berkesadaran (consciousness). Hanya manusia mampu berkontemplasi, tidak makhluk-makhluk lain.

Dari proses panjang bagaimana manusia berusaha menatahkan memorinya, yang paling revolusioner ialah ketika Johannes Gutenberg di Jerman menemukan mesin cetak pada tahun 1440-an. Titik balik peradaban terjadi: begitu Bibel dicetak dan bisa diakses banyak orang, otoritas surga tak lagi dikuasai segelintir orang. Situasinya lebih kurang seperti sekarang: ketika informasi bisa diakses semua orang, runtuh menara gading ilmu pengetahuan. Otoritas pakar tinggal kenangan.

Manusia, khususnya otak, masuk dalam problematik baru. Otak tak lagi otonom. Dia dikuasai industrialisasi otak melalui teknologi berupa memori/kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI).

Produk otak hasil industrialisasi memori ini mewujud pada berbagai gejala, antara lain pikiran seragam, hanya mengenal suka sekali atau benci sekali. Dua-duanya sama-sama buta. Produk informasi berlimpah-limpah, pembaca tak kalah banyaknya, tapi topik tidak sekaya zaman media cetak di mana pembaca pasti tak semasif pembaca media sosial sekarang.

Kalau dulu terdapat topik luar negeri, ekonomi, olahraga, wanita, kebudayaan, dan lain-lain, kini cukup satu topik, yakni trending topicTrending topic atau topik paling diminati adalah sesuatu yang emosional, sensasional, faktual, ataupun bohong tak penting-penting amat.

Begitulah kenyataannya, dalam gerbong kecerdasan buatan yang tertinggal tidak masuk gerbong adalah etika dan moralitas. Namanya juga kecerdasan buatan, namanya juga dunia citra, tidak ada yang bisa dipercaya. Saya tidak peduli orang mau cukur di bawah pohon bambu atau gunting kuku di salon Si Mbak di Kebayoran Baru. Khusus untuk dunia politik, satire paling baik adalah munculnya pasangan jadi-jadian Nurhadi-Aldo disingkat Dildo dari Koalisi Tronjal Tronjol.

Seperti telah dispekulasikan banyak orang, satire tadi menggambarkan ketidak-percayaan publik terhadap praktik politik sekarang. Humor konon merupakan kompensasi dari ketidak-berdayaan. Menertawakan diri sendiri dianggap sikap yang sehat, lebih sehat dibandingkan melakukan teror—meski ini pun tidak jelek-jelek amat. Presiden baru saja meneladankan empati terhadapnya demi kemanusiaan.

Kembali semua menjadi bahan tertawaan. Humanisme adalah puncak pencapaian peradaban yang dilahirkan Ibu Buku. Ha-ha, siapa percaya pada bualan tentang humanisme ketika buku-buku dirazia? Mbelgedes, nenek tertawa sampai menjadi rocker.