KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO (RON)

Sawitri Supardi Sadarjoen

 

Sikap ndablek (bahasa Jawa) artinya 'sikap membatu dan sikap diam seribu basa', 'tidak peduli dan tidak menunjukkan kepekaan perasan terhadap isu penting yang disampaikan oleh pasangan'.

Berkonflik dalam kehidupan keluarga adalah suatu yang tidak dapat dihindarkan. Namun, jika pertengkaran berlanjut dengan diikuti kritik merendahkan pasangan pada umumnya membuat pasangannya menutup mulut dan telinga serta berbuat sekehendak hatinya.

Tentu saja konflik yang bernilai positif juga sering terjadi, yaitu konflik yang menggiring pasangan untuk mengetahui dan memahami apa yang diinginkan pasangannya. Sementara konflik yang fatal terjadi sebagai akibat jika antar-pasangan perkawinan berlanjut berkonflik tanpa upaya mencari solusi yang tuntas. Maka dapat dipahami jika perkawinan itu berakhir dengan perceraian.

Kasus

L (32 tahun, perempuan) dan N (37 tahun, laki-laki) datang kepada saya kira-kira delapan bulan sebelum mereka akan memutuskan untuk bercerai. N datang dan menyatakan bahwa L secara menetap dan sering melontarkan kritikan-kritikan, seperti contoh berikut ini. "Jangan menambah air terlalu banyak saat memasak makaroni" dan "Jangan pakai pisau itu kalau memotong sayuran". Itu semua yang membuat N merasa tidak memiliki kebebasan dalam melakukan apa pun di rumahnya sendiri.

Sebenarnya saya sebagai konselor perkawinan telah memberi tahu kedua pasangan ini untuk menyusun kalimat yang pas dalam memberikan larangan ataupun menyampaikan apa yang diinginkan pasangannya.

Dari uraian di atas, saya mencatat, saat L mengemukakan isu penting, L menumpahkan kekesalannya tanpa tedeng aling-aling, artinya tidak membatasi penyertaan emosi negatifnya, sehingga ungkapan keluhan L terhadap perilaku N sebagai berikut.

"Saya kesal kepadamu karena kamu telah berjanji akan mengontak saya jika akan terlambat pulang oleh berbagai urusan, kamu ingkari janjimu sendiri". "Ketahuilah bahwa dalam satu minggu ini kamu mengabaikan janjimu sebanyak dua kali".

Cara itu terasa lebih bijak dibandingkan dengan teguran L seperti berikut ini. "Kamu tidak pernah memikirkan orang lain, kamu hanya mementingkan dirimu sendiri". "Saya tidak bisa mempertimbangkan janji-janjimu lagi".

Jenis kritik semacam ini menyertakan serangan terhadap kepribadian pasangan dan bersifat tidak konstruktif karena lebih tertuju pada perilaku-perilaku spesifik dari pasangan yang gagal dalam menjalin relasi dengan istri/suami.

Dengan latihan-latihan taktik komunikasi seperti contoh di atas, akhirnya L bisa memperbaiki iklim relasinya dengan N. Perbaikan cara komunikasi di antara dua pasangan dengan mempertimbangkan perasaan masing-masing pasangan menjadi sesuatu yang harus dilakukan demi berlanjutnya ikatan perkawinan sampai "kaken-ninen" (artinya sampai akhir hayat kedua pasangan).

Sebab, setiap individu memiliki persepsi yang berbeda satu sama lain. Hal yang menurut kita mudah menjadi sangat sukar bagi orang lain, bahkan yang kita anggap sukar ternyata sangat mudah bagi orang lain pula. Terdapat beberapa jenis negativitas yang terjadi antar-pasangan melalui konflik yang terjadi saat aspek emosi negatif dari kedua belah pihak ikut berperan sebagai berikut.

1. Perilaku kritik-mengkritik

Kritik-mengkritik adalah serangan personal yang menyertakan beberapa perkataan negatif tentang karakter dan kepribadian pasangan kita. Misalnya, "Mengapa kamu selalu lebih mementingkan teman-teman dan mengiyakan saja ajakan temanmu untuk pergi makan malam, sementara saya menjadi urutan terakhir dari perhatianmu. Sebenarnya kita, kan, sudah sepakat untuk pergi nonton film petang ini".

Cara menegur pasangan seperti ini sangat berbeda dengan cara konstruktif yang ditujukan pada aksi spesifik atau perilaku yang gagal dilakukan oleh pasangan kita. Seperti, "Kamu sebaiknya kontak saya dulu sebelum memutuskan ajakan makan malam dengan temanmu. Saya ingin sekali menghabiskan malam minggu hanya denganmu".

2. Sikap yang bertujuan menghina pasangan

Sikap yang bermakna menghina bisa saja dengan menyebut nama lengkap (padahal pada keseharian kedua pasangan memanggil dengan kata "Yang" kependekan dari kata "Sayang", atau misalnya mengungkap humor-humor yang mengandung kebencian, sarkastis, yang bermaksud merendahkan harga diri pasangan, seperti: Istrinya mengeluh tentang keterlambatan suami untuk pergi makan malam berdua, lalu sang suami menjawab keluhan istri dengan mengatakan: "Jadi apa yang akan kamu lakukan, mengajukan saya ke pengadilan?"

3. Sikap defensif

Cara mengutarakan pendapat yang bermakna defensif adalah sebagai berikut. "Persoalannya bukan pada saya, tetapi hal itu adalah akibat perbuatan kamu!" Saat itu kita gagal untuk mendengar aktif, mempertimbangkan kontribusi kita dalam masalah yang kita hadapi, dan gagal dalam meminta maaf, dan bahkan gagal mengubah perilaku kita.

4. Membatukan diri

Sikap membatu kita terjadi jika salah satu pasangan kita melepaskan diri dari pasangan dan mencoba melepaskan diri dari relasi yang tercipta. Kita pergi dan duduk terdiam seperti halnya dinding batu yang tidak bernyawa, atau meninggalkan ruangan, atau tetap berkomunikasi dengan cara menjawab tanpa memperhatikan apa yang dibicarakan dan didiskusikan pasangan kita.

Kita tidak menginginkan apa yang dikatakan pasangan memengaruhi diri kita. Sikap membatu itu merupakan pernyataan ketika kita memproteksi diri melawan perasaan negatif yang membanjiri diri kita. Biasanya kaum pria sering menunjukkan sikap membatu ini.

Pasangan perkawinan modern pada awal perkawinan terlihat tanpa masalah dan segala sesuatunya berjalan dengan lancar, sampai pada waktunya lahir seorang bayi.

Kelahiran bayi pertama membuat pasangan tanpa disadari seolah kembali pada tatanan tradisional baik bagi istri yang berperan sebagai ibu maupun suami yang berperan sebagai ayah.

Apabila pasangan kita mengeluh, kita berargumentasi, menyerang balik mengangkat kesalahan-kesalahannya dan meningkatkan moral yang kita anut sebagai dasar argumentasi yang kita sampaikan.

Kenyataan yang kita simak bersama adalah sebagai berikut. Sebanyak 80 persen dari urusan anak dan urusan rumah tangga menjadi tanggung jawab istri dan hanya 20 persen dari urusan domestik menjadi tugas suami.

Sementara itu, saat menunggu kelahiran anak kedua, suami harus bekerja lebih keras karena kebutuhan finansial keluarga semakin besar. Istri menjadi semakin terbelenggu dengan urusan anak-anak dan rumah tangga serta sedikit sekali ibu yang masih dapat memiliki kebebasan untuk berkarya di ranah formal.

Sementara asisten rumah tangga yang memenuhi standar kelayakan kemampuan urusan anak dan rumah tangga pun sulit diperoleh.

Lelah karena urusan domestik dan merawat anak membuat istri merasa lelah fisik dan mental yang membuatnya tidak lagi punya minat yang cukup pada masalah seksual, yang cepat atau lambat bisa menjadi isu penting bagi keserasian kehidupan perkawinan kelak pada kemudian hari.

Salah satu cara untuk bertahan dalam perkawinan adalah jalinan komunikasi yang tidak menyertakan kritik berlanjut yang, antara lain, membuat pasangannya merasa terhina, terendahkan, dan terpuruk oleh kesibukan domestik dan anak-anak.