Apa pun hasil pemungutan suara British Exit di parlemen Inggris, kelompok anti-globalisasi terbukti telah menjadi komponen kuat dalam politik domestik negara itu.
Kesibukan terkait Brexit dimulai setelah referendum pada Juni 2016 memberi hasil mayoritas warga Inggris memilih untuk mengakhiri keanggotaan negara itu dari Uni Eropa. Ada 52 persen pemilih setuju Inggris meninggalkan UE. Salah satu negara penting dalam UE ini pun segera masuk dalam pusaran politik dalam rangka mempersiapkan Brexit. Dinamika politik yang tinggi tak hanya terjadi di London, tetapi juga di Brussels. Negosiasi alot berlangsung antara Inggris dan UE.
Kesepakatan mengenai format keluarnya negara itu akhirnya dicapai antara Inggris dan UE. Kesepakatan ini diperlukan agar setelah hengkang, Inggris tetap memiliki kerangka hubungan dengan pihak asing. Dengan cara ini, dunia usaha dinilai tak terlalu bergejolak dengan keluarnya Inggris.
Namun, mengingat di Irlandia Utara tak boleh ada penerapan perbatasan yang tegas dengan Republik Irlandia, kesepakatan Inggris dengan UE mengatur pula kekhasan itu. Kelompok garis keras Brexit, yang pendukung utamanya adalah politisi Konservatif, menolak pengecualian ini karena melihat akan merusak kesatuan wilayah Inggris.
Senin lalu, atau sehari menjelang pemungutan suara, Perdana Menteri Inggris Theresa May berupaya meyakinkan parlemen tentang risiko jika mereka menolak kesepakatan dengan UE pada November 2018 itu. Penolakan terhadap kesepakatan Brexit akan menghadirkan bencana bagi demokrasi. Hasil referendum yang merupakan suara rakyat ternyata dihambat oleh politisi.
Namun, argumen itu tampaknya tidak didengar sebagian besar anggota parlemen. Sejumlah kalangan menilai May akan kalah dalam pemungutan suara. Jika kesepakatan ditolak, ketidakpastian menyelimuti Inggris menjelang batas waktu proses keluarnya Inggris dari UE, 29 Maret. Kekuatan politik di parlemen menyatakan pula hendak menjatuhkan pemerintahan May. Turbulensi politik bukannya mereda, melainkan kian menguat pasca-voting.
Yang menarik, ketegangan Brexit terjadi berbarengan dengan penghentian operasi sebagian instansi pemerintah federal di Amerika Serikat akibat tak tercapainya kesepakatan terhadap anggaran. Shutdown berlangsung setelah terjadi kebuntuan antara Presiden Donald Trump dan Demokrat dalam isu pembangunan tembok di perbatasan AS-Meksiko.
The New York Times menilai ada kesamaan di antara kedua negara. Pemerintahan mereka sedang "lumpuh" dan didera kebuntuan politik gara-gara pertarungan sengit antara elite pro-globalisasi dan pendukung kelompok masyarakat di pedalaman yang tak menikmati buah globalisasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar