Gerimis turun di pagi hari. Tempat ngopi di peristirahatan kendaraan Sentul di antara Bogor-Jakarta itu menjadi sendu dengan lagu-lagu Natal yang mengalun pelan. Waktu itu masih pengujung bulan Oktober.

Dari tahun ke tahun, Natal cenderung datang lebih cepat. Itu semua gara-gara konsumerisme yang mengomodifikasi segala hal, termasuk agama. Natal, Tahun Baru, sebagaimana hari besar lain, akan selalu digenjot ajakan berbelanja dengan berbagai strategi termasuk diskon dan belanja sampai larut malam.

Berkisar 20-30 tahun lalu, kritik semacam itu biasa dilontarkan terutama oleh para eksponen cultural studies. Menggabungkan berbagai disiplin seperti semiotika, strukturalisme, Marxisme, dan lain-lain cultural studies sangat galak terhadap konsumerisme. Di balik tabir gemerlap barang-barang konsumsi mereka menyingkap soal perbedaan kelas, kapitalisme global, gurita korporasi—serupa bagaimana kalangan fundamentalis agama menyalahkan para pendosa.

Saya meninggalkan Jakarta menuju Bangkok. Beberapa tahun terakhir Bangkok menjadi kota turis terdepan di Asia Tenggara dengan hotel, mal, sampai kaki lima yang menggairahkan. Yang mengalun pelan di Sentul, melesat menjadi ajang pesta dan karnaval di Bangkok.

Siam Paragon, Siam Discovery, Emporium, Central Embassy, bersaing menghadirkan hiasan Natal spektakuler. Bulan November lalu dibuka mal paling besar di Bangkok, Iconsiam. Dua lantai paling bawah ia gunakan untuk mentransformasikan pasar tradisional Thailand dalam lingkungan ultra mutakhir.

Selain mal-mal utama, warung kopi dan restoran kecil di gang-gang tak mau kalah. Dengan kertas minyak seadanya, kedai kopi kecil di Sukumvit Soi 65 menulis Merry Christmas di dinding. Beberapa blok dari situ, sebuah restoran didandani feminin, bertabur cahaya, menghadirkan lengkungan-lengkungan bergaya Art Nouveau. Pemilik restoran mengaku pemuja kecantikan Audrey Hepburn. Seluruh kota menjadi rapsodi dengan lagu-lagu Natal.

Ke mana perginya kritik semacam dilontarkan cultural studies puluhan tahun lalu?

Kini, konsentrasi modal, keterkaitan satu sama lain dalam jaringan teknologi informasi yang disebut web, telah menjadi kenyataan baru manusia. Inti neuron manusia langsung terhubung dengan pusat-pusat teknologi informasi yang mengganti kecerdasan natural dengan kecerdasan buatan. Monopoli korporasi bukan hanya modal, tetapi kesadaran. Tidak mudah teori dependensi, strukturalisme, Marxisme, dan konco-konconya menjelaskan gejala tersebut.

Perkembangan teknologi yang menguasai manusia dengan kecerdasan atau memori buatan ini tidak pilih kasih. Semua terberdayakan olehnya, membuat orang dungu kelihatan pintar, orang bejat kelihatan alim, pada saat bersamaan para pakar dan otoritas-otoritas lama tersingkir. Yang terakhir itu merupakan gejala berakhirnya era kepakaran—the end of expertise.

Seperti biasanya, yang paling tanggap memanfaatkan kemudahan dan ketidakterbatasan teknologi adalah industri gaya hidup. Bagi Bangkok, kota dari negara yang mayoritas penduduknya pemeluk Buddha, kemeriahan perayaan Natal dan Tahun Baru tentulah tak ada urusan dengan kepercayaan mereka. Hal yang sama terjadi di Jepang, Korea, Singapura, dan lain-lain.

"Belasan tahun tinggal di Bangkok, belum pernah ada orang menanyakan apa agama saya," kata seorang teman Indonesia yang bekerja pada kantor lembaga dunia di Bangkok. Juga tak ada yang ambil peduli dengan preferensi seksual dia, di mana dalam hal itu ia menyebut diri "minoritas". Teman-teman Indonesia yang lain yang lama tinggal di Bangkok memberi pengakuan serupa.

Tidak diperlukan toleransi. Sebab, perbedaan tidak dipersoalkan. Emansipasi humanitas tecermin melalui dunia konsumsi yang menarik, tak berdosa, tanpa prasangka. Bukan melalui agama, yang di beberapa tempat berwajah sangar.