Alih-alih ikut mengampanyekan calon presiden dan calon wakil presiden (capres-cawapres) yang didukung, pengurus partai politik (parpol) justru disibukkan bagaimana meningkatkan suara partainya agar bisa melewati nilai ambang batas parlemen.  Nilai ambang batas parlemen (parliamentary threshold) 4 persen tidaklah mudah dicapai oleh parpol yang semakin bertambah dalam Pemilu 2019 ini.

Memang dari hasil sigi beberapa lembaga survei nasional, cukup banyak parpol yang sekarang memiliki kursi di DPR terancam keberadaannya. Tentu agar posisi mereka aman, fokus kampanye pemilu lebih diutamakan pada kampanye legislatif. Hanya dengan memenangi pemilu legislatif, parpol akan tetap menjadi kekuatan infrastruktur dalam sistem politik saat ini.

Kerugian bagi capres

Pilihan ini memang dilematis. Di satu sisi, mereka harus berkomitmen menambah suara capres dan cawapres yang didukung karena sudah terikat dengan kontrak politik. Sementara di sisi lain, pengurus partai juga harus memikirkan bagaimana suara partai dari calon anggota legislatif (caleg) yang diusulkan untuk setiap daerah pemilihan mendapatkan dukungan maksimal pemilih.

Memang ada diskusi serius dalam partai terkait dengan peluang partai mendapatkan keuntungan dari pelaksanaan pemilu serentak melalui efek ekor jas (coattail effect).  Namun, tentu tidak akan semudah itu bagi partai memperoleh efek ekor jas dari kedua pasangan capres-cawapres yang bertanding.  Paling tidak ini dapat dilihat dari perilaku memilih masyarakat yang cenderung memilih berdasarkan personal image ketimbang kapasitas diri dan ideologi calon presiden atau calon anggota legislatif.

Oleh karena koalisi parpol yang ikut dalam mengusung capres-cawapres dari kedua kubu cukup banyak, maka yang akan terjadi adalah kebingungan masyarakat menentukan siapa caleg yang akan dipilihnya nanti. Apakah ketika mereka sudah menentukan pilihannya terhadap capres akan berbanding lurus dengan pilihan anggota legislatif dari partai pengusung presiden yang dipilih?

Jelas tidak. Fakta pemilu selama ini memperlihatkan bahwa pilihan masyarakat terhadap caleg untuk keanggotaan DPR dan DPRD sering berasal dari partai yang berbeda-beda. Masyarakat di daerah pemilihan lebih melihat orang per orang ketimbang partai politik yang mengusungnya.

Selain itu, jika melihat masih kuatnya patronase yang terbangun di antara caleg dengan masyarakat di daerah pinggiran kota dan perdesaan, ini melemahkan pengaruh efek ekor jas yang diharapkan oleh parpol.  Karena itu, euforia yang diharapkan dari efek ekor jas ini tidak akan terjadi pada semua parpol koalisi pendukung capres-cawapres. Malah kekhawatiran sebagian besar partai pengusung yang bergabung dalam koalisi tersebut adalah efek ekor jas ini hanya akan dinikmati oleh caleg partai yang menjadi asal capres dan cawapres tersebut. Melihat fenomena ini, maka caleg partai yang akan diuntungkan adalah PDI-P dan Gerindra.

Membangun koalisi semu

Jika dipahami sejarah munculnya konsep efek ekor jas dalam pemilu di Amerika tentu akan berbeda dengan pemilu di Indonesia. Efek ekor jas akan efektif jika partai yang terlibat dalam pemilu terpolarisasi pada dua kubu dengan dua partai politik yang dominan.

Dalam kondisi ini, kedua partai akan bersaing mendapatkan suara pemilih, baik melalui kampanye untuk capres maupun calegnya. Bahkan, isu-isu kampanye yang dikembangkan akan dapat diselaraskan walaupun kampanyenya dilakukan terpisah. Dengan kondisi seperti itu, maka akan lebih mudah bagi pemilih mengidentifikasi capres dan caleg yang akan dipilih karena mereka berasal dari partai yang sama.

Berbeda dengan di Indonesia, dua kubu capres yang bersaing terdiri atas banyak partai politik yang juga bersaing dalam pemilu legislatif.  Setiap partai tentu sama-sama berharap dari efek kepopuleran presiden dan wakil presiden yang akan dipilih masyarakat. Namun, perlu diingat, masyarakat tentu akan lebih mengingat dari parpol mana presiden dan wakil presiden itu berasal. Belum lagi isu-isu yang disampaikan parpol dalam kampanye legislatif akan berbeda setiap partai.

Ikut mengampanyekan capres yang memang berasal dari kader partai tertentu akan berdampak pada meningkatnya suara partai asal calon presiden tersebut. Oleh karena itu, tidak heran partai politik akan memilih cara-cara pragmatis terkait dengan metode kampanye yang akan dilakukan, termasuk untuk tidak terlalu aktif mengampanyekan capres yang berasal dari kader partai tertentu.

Karena itu, cukup logis ketika Partai Demokrat menegaskan, fokus utamanya adalah menaikkan suara caleg partainya ketimbang memperjuangkan kemenangan capres yang mereka usung secara sungguh- sungguh. Bahkan, secara diam- diam cara seperti ini juga dilakukan oleh  parpol lain yang mendukung setiap koalisi capres dan cawapres tersebut. Caleg partai koalisi lebih sibuk mengampanyekan diri masing-masing tanpa membawa-bawa capres yang didukung. Kecuali caleg yang berasal dari PDI-P dan Gerindra yang cukup antusias mengampanyekan capres mereka.

Satu yang jelas, pemilu serentak yang dilaksanakan semakin mempertegas perbedaan kepentingan partai politik demi kekuasaan masing-masing.  Walaupun dalam jangka pendek mereka diikat oleh kepentingan yang sama, yaitu memenangkan capres-cawapres yang didukung, kepentingan untuk memenangkan suara partai jauh lebih utama ketimbang memperjuangkan kepentingan koalisi. Karena itu, tidak heran sesungguhnya yang terbangun hanyalah koalisi semu partai- partai pendukung capres dan cawapres yang bertanding.