Setelah melalui negosiasi yang alot, Pemerintah Indonesia dan Swiss akhirnya menandatangani Perjanjian Bantuan Hukum Timbal Balik atau Mutual Legal Assistance (MLA) di Bern, Swiss, pada 4 Februari lalu.

Perjanjian ini diharapkan dapat mempersempit ruang gerak bagi pelaku kejahatan untuk bersembunyi atau menyembunyikan uang hasil kejahatannya di Swiss.

Swiss selama ini dikenal sebagai pusat keuangan di Eropa yang memiliki keamanan dan aturan kerahasiaan perbankan yang ketat. Swiss bersama dengan Singapura, Australia, Amerika Serikat, dan Kepulauan Cayman sering disebut sebagai surga bagi pelaku kejahatan untuk menyimpan hartanya agar terhindar dari jeratan hukum.

MLA Indonesia-Swiss ini terdiri atas 39 pasal yang mengatur antara lain bantuan tukar- menukar informasi, mencari keberadaan seseorang dan asetnya, penahanan, pelacakan, pembekuan, penyitaan, hingga perampasan aset hasil kejahatan. Kesepakatan ini juga menjangkau kejahatan masa lalu yang dilakukan sebelum perjanjian dinyatakan berlaku.

Hingga saat ini belum ada data akurat tentang berapa banyak uang atau aset milik warga Indonesia yang berasal dari hasil kejahatan ataupun korupsi yang tersimpan di Swiss. Meski demikian, kisah perburuan aset yang diduga berasal dari korupsi di Swiss setidaknya sudah dimulai sejak 1999.

Saat itu Jaksa Agung Andi Ghalib bersama Menteri Kehakiman Muladi pernah ditugaskan ke Swiss untuk menyelidiki dugaan transfer uang sebesar 9 miliar dollar AS milik mantan Presiden Soeharto. Namun, hasil penyelidikan menyebutkan tidak ditemukan simpanan uang milik Soeharto di Bank Swiss.

Pada tahun 2005 kejaksaan pernah meminta Swiss membekukan rekening milik mantan Direktur Utama Bank Mandiri ECW Neloe senilai 5,3 juta dollar AS yang disimpan di Deutsche Bank Swiss.

Terakhir kejaksaan pada tahun 2015 juga mengajukan gugatan perdata di Swiss untuk mengembalikan aset milik terpidana korupsi Bank Century, Hesham AL Warraq, sebesar 155 juta dollar AS di Dresdner Bank Swiss. Sayangnya, upaya kejaksaan ini belum berhasil karena adanya perbedaan sistem hukum di antara kedua negara.

Bukan hanya Indonesia, sejumlah negara seperti Filipina dan Nigeria juga memburu harta milik koruptor hingga ke Swiss. Dengan bantuan Pemerintah Swiss, pada tahun 2015 Filipina akhirnya dapat merebut kembali 29 juta dollar AS milik mendiang Presiden Ferdinand Marcos yang disembunyikan pada sejumlah rekening rahasia di Swiss.

Pemerintah Swiss pada tahun 2017 juga pernah mengembalikan uang senilai 321 juta dollar AS milik mantan Presiden Sani Abacha ke Nigeria. Abacha yang pernah memerintah Nigeria dari 1993 hingga 1998 diperkirakan memiliki sekitar 700 juta dollar AS dari hasil korupsi yang tersimpan di Bank Swiss.

Langkah penting
Penandatanganan MLA Indonesia dengan Swiss layak mendapat apresiasi karena dapat mempermudah pengejaran uang hasil korupsi dan juga kejahatan lain yang dilarikan ke luar negeri, khususnya Swiss.

Meski demikian, MLA yang sudah ditandatangani tidak serta-merta dapat membawa semua aset hasil kejahatan yang tersimpan di Swiss langsung kembali ke Tanah Air. Terdapat sejumlah langkah penting yang harus segera dilakukan agar MLA tersebut dapat dilaksanakan.

Pertama, MLA Indonesia-Swiss perlu mendapat persetujuan atau diratifikasi DPR melalui undang-undang. Tanpa persetujuan parlemen kedua negara, perjanjian yang telah ditandatangani tidak akan efektif, bahkan tidak berlaku.

Hal ini terjadi pada perjanjian ekstradisi antara Indonesia dan Singapura yang telah ditandatangani sejak 2007, tetapi tidak dapat diberlakukan karena belum diratifikasi oleh kedua negara.

Kedua, pemerintah perlu membentuk satuan tugas atau tim terpadu untuk mengejar aset hasil kejahatan yang dilarikan ke luar negeri. Satuan tugas yang dibentuk sebaiknya menjalin kerja sama dengan lembaga lain, seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang selama ini dinilai berhasil melakukan penelusuran aset milik koruptor baik di dalam maupun di luar negeri.

Keberadaan satuan tugas ini dapat saja mengadopsi atau menyempurnakan Tim Terpadu Pemburu Koruptor yang pernah dibentuk pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada tahun 2004. Tim ini beranggotakan sejumlah instansi terkait, seperti Departemen Hukum dan HAM, Polri, Kejaksaan Agung, Departemen Luar Negeri, dan Pusat Pelaporan Analisis dan Transaksi Keuangan (PPATK).

Tugas tim terpadu adalah memburu para koruptor di luar negeri dan mengembalikan aset-aset yang dibawa kabur ke luar negeri. Tim terpadu berhasil menangkap buron kasus korupsi, antara lain David Nusa Wijaya (korupsi BLBI), Samadikun Hartono (korupsi BLBI), dan Hartawan Aluwi (korupsi Bank Century) serta mengklaim berhasil mengembalikan uang hasil korupsi Rp 2,7 triliun ke kas negara.

Ketiga, penyusunan peta jalan pengejaran aset hasil kejahatan secara komprehensif, jelas, dan terukur. Keberadaan peta jalan ini penting agar kerja satuan tugas atau tim pemburu harta hasil kejahatan di luar negeri nantinya berjalan lebih efektif dan efisien.

Proses mengembalikan aset milik pelaku kejahatan atau koruptor dari luar negeri ke Tanah Air tentunya akan memakan waktu yang tidak singkat. Filipina dan Nigeria bahkan butuh waktu bertahun-tahun untuk mengajukan gugatan perdata dan meyakinkan pemerintah dan pihak bank di Swiss agar mau mengembalikan uang korupsi milik para mantan presiden kedua negara itu.