Di tengah kesibukan pemerintah dan masyarakat untuk menjadikan Indonesia sebagai negara maju dalam 15 tahun ke depan, ada satu aspek penting yang tak boleh kita lupakan, yaitu meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia.
Aspek ini penting karena keberhasilan pembangunan Indonesia di masa depan akan sangat ditentukan tingkat kualitas dan produktivitas masyarakat Indonesia.

Satu hal penting yang sering terlupakan adalah layanan dasar untuk urusan "belakang", yaitu layanan sanitasi pengelolaan air limbah domestik atau air tinja manusia. Meskipun ini urusan "belakang", urusan ini merupakan urusan terdepan karena sangat terkait dengan kualitas hidup masyarakat, yang pada akhirnya akan memberikan kontribusi pada peningkatan produktivitas manusia Indonesia dan menentukan keberhasilan pembangunan di masa depan.

Sanitasi buruk,negara merugi
Pengelolaan urusan "belakang" yang buruk telah terbukti menyebabkan kerugian ekonomi di sejumlah negara. Wilayah Asia Pasifik menderita kerugian ekonomi terparah akibat sanitasi buruk, yaitu sebesar 77 persen dari total kerugian global.

Hampir setengah dari kerugian itu ditanggung oleh India, dengan jumlah produk domestik bruto (PDB) yang hilang sebesar 106,7 miliar dollar AS atau sekitar Rp 1.589 triliun di tahun 2015 (WaterAid, 2016).

Di Indonesia, kerugian ekonomi akibat sanitasi buruk mencapai Rp 56 triliun atau sekitar 2,3 persen dari PDB Indonesia tahun 2006 (Bank Dunia, 2008). Dari kerugian tersebut, sebesar 53 persen dialami pada bidang kesehatan dan produktivitas, 24 persen di bidang sumber daya air, termasuk peningkatan biaya untuk pengolahan air dan pengurangan potensi produksi perikanan, dan 19 persen kerugian karena kehilangan waktu produktif dalam mengakses fasilitas sanitasi bersama atau ke tempat buang air besar sembarangan yang berlokasi di luar rumah.

Sanitasi buruk juga berdampak pada bidang pariwisata yang sangat berpotensi menghambat Indonesia dalam upaya untuk mendongkrak pariwisata sebagai sektor unggulannya.

Upaya yang lebih cepat
Kondisi sanitasi limbah domestik di Indonesia saat ini sudah mengalami perbaikan yang signifikan. Selama satu dekade, tingkat buang air besar sembarangan (BABS) secara nasional dapat diturunkan dari 24,8 persen pada 2007 menjadi 10,41 persen pada 2017. Dalam waktu yang sama pula, akses sanitasi total kita meningkat rata-rata 1,7 persen per tahun, atau menjadi 76,91 persen pada 2017 (BPS, 2017).

Pemerintah pun telah menjalankan program percepatan peningkatan akses terhadap sanitasi layak sejak 2010. Pemerintah pusat memfasilitasi pemerintah kabupaten/kota untuk menyusun rencana strategis sanitasi sesuai dengan kondisi masing-masing, dengan tetap mengacu pada kebijakan dan target pembangunan nasional di bidang sanitasi.

Dengan adanya rencana strategis ini diharapkan komitmen pemerintah daerah meningkat dalam pembangunan sanitasi. Hal ini tecermin dengan lahirnya dokumen Strategi Sanitasi Kabupaten/Kota (SSK) di hampir semua pemerintah daerah, yaitu 485 dari total 512 kabupaten/kota.

Selain itu, pemerintah pusat juga memberikan dukungan pendanaan melalui belanja kementerian/lembaga (K/L) ataupun dana alokasi khusus (DAK) yang semakin meningkat setiap tahunnya. Dalam kurun 2015-2018, total alokasi untuk kegiatan pengelolaan air limbah domestik dalam DAK bidang sanitasi Rp 5,4 triliun dengan pertumbuhan rata-rata per tahun sekitar 10 persen.

Urusan kita bersama
Terlalu dini bagi kita jika berpuas diri dengan pencapaian Indonesia dalam memperbaiki sanitasi tersebut. India, misalnya, dalam waktu 10 tahun telah berhasil menurunkan tingkat BABS dari 60 persen menjadi saat ini yang hanya 7 persen.

India melakukan berbagai intervensi yang terkoordinasi lewat kepemimpinan kuat di bawah gerakan Swachh Bharat Mission (Misi Bersih India). Tahun depan, India menargetkan deklarasi bebas BABS secara nasional.

Untuk mengatasi ketertinggalan ini, Pemerintah Indonesia telah memasang target yang cukup tinggi dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019, yaitu akses universal sanitasi dan tingkat BABS sebesar nol persen pada 2019.

Selanjutnya, pemerintah telah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2018 tentang Standar Pelayanan Minimal yang salah satunya tuntutan untuk memastikan setiap warga negara mempunyai akses kepada pengelolaan air limbah domestik.

Pembangunan bidang sanitasi yang sesuai dengan target RPJMN 2015-2019 membutuhkan biaya Rp 273,7 triliun selama lima tahun. Kebutuhan anggaran tersebut tentunya tak dapat ditanggung seluruhnya oleh anggaran pemerintah pusat saja.

Berbagai sumber pendanaan, seperti anggaran pemerintah daerah dan dana masyarakat, perlu dikelola dan diintegrasikan agar pembangunan sanitasi ini dapat lebih cepat, sesuai dengan target kinerja yang ditetapkan.

Pihak swasta juga diharapkan dapat berperan lebih banyak dalam proyek besar dengan skema pendanaan kerja sama pemerintah dan badan usaha (KPBU) atau melalui pendanaan tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social responsibility/CSR). Selain itu, sumber dana masyarakat yang juga dapat dimanfaatkan untuk mempercepat pembangunan sanitasi di Indonesia adalah dana swadaya masyarakat ataupun Ziswaf (zakat, infak, sedekah, dan wakaf).

Pada 10 Januari 2017, Kementerian PPN/Bappenas dengan Majelis Ulama Indonesia (MUI), Baznas, dan Badan Wakaf Indonesia (BWI) menandatangani nota kesepahaman tentang Sinergi Pendayagunaan Harta Wakaf, Zakat, Infak, Sedekah, dan Dana Sosial Keagamaan Lainnya dengan Program Pemerintah dalam Penyediaan Layanan Air Minum dan Sanitasi untuk Masyarakat.

Komitmen bersama ini merupakan bukti nyata keterlibatan masyarakat dalam pembangunan sanitasi. Beberapa daerah sudah menerapkan skema ini, seperti NTB, Banten, Jawa Tengah, dan Sumatera Selatan, dengan total penggunaan dana lebih dari Rp 1,237 triliun. Adapun total potensi zakat di Indonesia adalah Rp 217 triliun.

Meskipun berbagai alternatif sumber pendanaan sudah tersedia untuk pengembangan sanitasi, perlu diperhatikan bahwa sanitasi tidaklah sekadar penyediaan sarana prasarana pengolahan air limbah saja. Pembangunan sanitasi harus diiringi dengan perubahan perilaku dan pola pikir masyarakat secara luas sehingga akan menumbuhkan keinginan dan kebutuhan untuk layanan sanitasi yang baik.

Timbulnya kebutuhan akan sanitasi yang baik akan mendorong masyarakat untuk ikut berperan dalam membangun sanitasi, seperti membangun jamban sehat dan tangki septik terstandar, berpartisipasi dan membayar iuran untuk pelayanan sedot tinja, atau menyambungkan pipa pembuangan jamban dengan sistem pengolahan air limbah perpipaan bilamana tersedia di lingkungan sekitar rumah.

Perubahan pola pikir dan perilaku perlu dilakukan juga oleh aparat pemerintah, pimpinan daerah, sektor swasta dan kelompok masyarakat lainnya secara lebih luas. Kesadaran akan pentingnya sanitasi untuk kualitas hidup masyarakat yang lebih baik perlu tecermin pada perubahan pola pikir pimpinan dan aparat pemerintah, terutama di daerah.

Dengan demikian, pimpinan dan aparat daerah dapat memberikan alokasi anggaran yang memadai dengan proses penyusunan program sanitasi yang lebih baik. Perubahan pola pandang dan perilaku pihak swasta dan kelompok masyarakat lainnya juga diperluka, agar dapat memberikan kontribusi yang lebih positif dan kolaboratif terhadap peningkatan sanitasi di daerah.

Walaupun sanitasi adalah urusan "belakang", pembangunan sanitasi ini akan berdampak pada pembangunan kualitas manusia Indonesia di jangka menengah-panjang. Keuntungan dari investasi pembangunan sanitasi layak akan dirasakan dalam waktu sepuluh sampai dua puluh tahun ke depan, ketika generasi bayi dan balita saat ini sudah tumbuh menjadi manusia dewasa berusia produktif.

Sanitasi yang buruk saat usia bayi dan balita akan mengancam generasi muda menderita stunting atau "gagal tumbuh", yang mengakibatkan pertumbuhan fisik dan otak yang tidak sempurna. Saat ini, sekitar satu dari tiga anak di Indonesia menderita gagal tumbuh. Dan, hasil penelitian menunjukkan bahwa dengan sanitasi layak, risiko terjadinya stunting dapat diturunkan hingga 70 persen.

Mengingat urgensi dan dampak jangka panjang dari perbaikan urusan "belakang" ini, semua pihak tanpa terkecuali harus segera memperhatikan dan membangun layanan sanitasi yang layak di lingkungan sekitar kita dan di seluruh wilayah Nusantara sehingga kualitas hidup masyarakat kita menjadi lebih baik. Marilah kita kelola urusan "belakang" dengan lebih serius, untuk menata masa depan bangsa yang lebih gemilang.

Bambang Brodjonegoro Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas


Kompas, 25 Februari 2019