Tak bisa disangkal lagi, ini sebuah momentum yang tepat di tengah situasi nasional dan internasional yang memanas. Pemerintah, terutama melalui Kementerian Luar Negeri, ikut berupaya untuk menggalang dukungan yang bersifat diplomatik. Kita berharap besar bahwa upaya ke arah nominasi Nobel Perdamaian ini berjalan dengan mulus.

Di luar pengajuan hadiah prestisius ini, kita ingin supaya hadiah Nobel tak berhenti sebagai hadiah saja. Kita tahu, ada beberapa peraih Nobel yang dianggap sebagai potensi, yakni bisa mewujudkan perdamaian, seperti Presiden Barack H Obama. Meski Obama berhasil menggaet Nobel Perdamaian dengan alasan "upayanya yang luar biasa dalam memperkuat diplomasi internasional dan kerja sama di antara sesama manusia" pada dasarnya hal ini ialah self-fulfilling prophecy karena disematkan pada tahun pertama kala ia terpilih menjadi Presiden Amerika Serikat.

Tentu banyak peraih Nobel Perdamaian yang lain yang memang telah terbukti berkontribusi untuk perdamaian dunia melalui peran mereka di setiap konteksnya.

Di antara mereka, ada yang unik, misalnya peran Muhammad Yunus dan Grameen Bank di Bangladesh yang mengartikan perdamaian melalui upaya pembangunan sosial-ekonomi dari bawah. Di sinilah kita bisa mengira bahwa Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah bisa menyumbang nilai yang sangat berarti bagi sebuah perdamaian dunia.

Sintesis kreatif

Dari sudut pandang gerakan dan pemikiran Islam kontemporer, kedua organisasi besar ini sepadan dengan berbagai organisasi Muslim dunia lainnya yang lahir pada awal abad ke-20.

Meski keduanya lahir dari silsilah intelektual yang tak sama, para pendirinya datang dari seperguruan, baik di Jawa maupun di Mekkah. Ahmad Dahlan dan Hasyim Asy'ary ialah figur paripurna pada zamannya yang meneruskan jaringan republik pengetahuan Islam (Islamic republic of letters)yang lebih dulu berkembang terutama sejak akhir abad ke-16 dan ke-17 melalui konstelasi global, jauh sebelum pendidikan modern Hindia Belanda diperkenalkan pada akhir abad ke-19.

Jika tidak ada kolonialisme, menurut penghitungan cendekia, universitas di Nusantara tumbuh dan berkembang dari rahim pesantren tradisional, sebagaimana bisa disepadankan dengan tradisi wakaf dan pendidikan Kristen di Barat yang menjelma menjadi ragam universitas terbaik saat ini.

Perbedaan silsilah intelektual antara modernisme dan tradisionalisme Islam yang kemudian menggerakkan langkah kaki Ahmad Dahlan dan Hasyim Asy'ary secara berlainan. Yang satu mengadopsi metode Barat. Yang lainnya agak cukup lama menyesuaikan diri dengan Barat. Pada periode awal ini pula, kita ketahui bahwa Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah punya perseteruan yang cukup sengit dalam kehidupan sosial karena perbedaan sudut pandang teologi, hukum, dan politik kenegaraan.

Akan tetapi, seiring waktu, kedua organisasi ini telah merawat dan melahirkan sintesis kreatif. Tidak bisa lagi kemajuan dan kekolotan disematkan untuk masing-masing. Nalar modernisme hingga 1980-an pada umumnya masih mengaitkan Nahdlatul Ulama sebagai organisasi yang kolot. Di bawah kepemimpinan Abdurrahman Wahid, citra tersebut terkikis. Lagi pula, kader muda di dalam kedua organisasi itu kerap kali tak semuanya mewakili gambaran masa lalu.

Selalu ada minoritas kreatif yang memimpin tubuh besar kedua komunitas untuk menjawab tantangan zaman.

Lagi pula, di luar kepemimpinan struktural kedua lembaga, masing- masing memiliki jagat kebudayaan yang otonom yang sering tak membutuhkan bahkan berlawanan dengan pengurus besar di kedua lembaga itu.

Membangun sinergi

Keunggulan Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah ialah daya sintasnya yang bisa bertahan hingga satu abad ini. Muhammadiyah sudah melewatinya dan Nahdlatul Ulama sedikit lagi akan menyusul. Dalam perhelatan akbar kedua organisasi, Muhammadiyah mengusung tema "berkemajuan" sementara Nahdlatul Ulama mengajukan "Islam Nusantara"—tema yang lebih kontroversial karena kesalahpahaman yang sengaja disebarkan oleh pihak yang tidak menyukai pemikiran dan kiprah Nahdlatul Ulama. Banyak yang berharap, keduanya digabung menjadi Islam Nusantara-Berkemajuan sebagai sebuah perpaduan untuk menghidupkan sinergi yang bermanfaat bagi kehidupan sosial dan ekonomi kita.

Sinergi inilah yang memang harus terus diaktifkan. Dalam ruang keindonesiaan kita yang majemuk, yang menjadi pekerjaan besar ialah bagaimana sirkulasi keadilan sosial dan ekonomi kita diwujudkan bersama-sama. Ini persoalan yang sangat nyata, terutama di dalam kalangan nahdiyin yang di antaranya masih banyak petani, buruh, dan pedagang kecil.

Menjadikan mereka sebagai pekerja yang modern membutuhkan waktu yang cukup lama, sedangkan di sisi lain mereka tak memiliki lahan produksi yang mandiri. Jika premisnya ialah seperti teladan Muhammad Yunus, perdamaian sejati bisa dibangun dengan upaya mewujudkan keadilan melalui pembangunan sosial-ekonomi dari bawah.

Gerak langkah ekonomi ini mesti diarahkan untuk membendung atau bahkan meminimalkan nalar dan gerak kapitalisme Salafi-Wahabi yang mengawinkan antara kesalehan beragama dan gaya hidup kelas menengah kota yang ikut menjelma dalam late capitalism. Di antaranya yaitu melalui fenomena "hijrah" yang belakangan ini kebanyakan seolah-olah ingin membentuk dominasi wacana baru berislam di kalangan artis dengan artikulasi kesalehan yang mencolok dan fragmentatif.

Jika sejak pertengahan 2000-an silam kita diingatkan akan dua bahaya fundamentalisme (agama dan ekonomi), bisa jadi keduanya bersekutu dalam rupa yang belakangan ini sudah mulai tampak dan menginfiltrasi melalui ruang-ruang digital di media sosial. Dengan demikian, orang awam yang belum tahu akan mudah terpesona dan tergerakkan.

Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah berkewajiban secara bersama-sama untuk membangun mode keberagamaan yang khas, tidak tercerabut dari akar kebudayaan dan kemasyarakatan kita, tetapi juga terus-menerus mampu menciptakan formulasi baru. Jika keutamaan yang sudah menjadi darah daging kedua organisasi ialah komitmen besar pada kebangsaan, demokrasi, dan nilai-nilai madani yang lama berkembang dan membentuk karakter nasional sebagai bangsa yang moderat dan demokratis, maka tantangan selanjutnya ialah dua hal.

Pertama, dalam hal perangkat lunak, budaya Islam Nusantara-Berkemajuan perlu terus diperluas melalui bahasa yang mudah dijangkau semua kalangan sehingga menjadi kepemilikan bersama meskipun virtual sifatnya, bukan saja di Jawa melainkan di pulau lainnya. Adanya perkembangan Salafi di Pegunungan Dieng, yang telah diteliti di sebuah perguruan tinggi ternama di Yogyakarta, menjadi bukti bahwa bahkan di area abangan, justru pengaruh Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah nyaris tak terdengar.

Tidak selalu tujuannya ialah agar semua orang memiliki kartu anggota kedua organisasi, tetapi bagaimana supaya nilai-nilai yang diusung bersama bisa bersemayam secara diam- diam di dalam lubuk hati kebanyakan umat Islam.

Dimensi masa depan

Kedua, yang lebih kentara berupa perangkat keras, yakni membangun kerja sama kelembagaan dalam hal pendidikan, kesehatan, dan perekonomian (serta ekologi dan jender), demi kemandirian bangsa maritim. Muhammadiyah hampir sempurna dalam sebagian bidang ini, tetapi Nahdlatul Ulama masih membutuhkan waktu lagi terutama dalam ketiga hal pertama, meskipun pada awal pendiriannya ia juga sama-sama aktif dalam ketiga bidang utama itu yang dibuktikan melalui arsip yang membuka mata kita.

Jika kedua hal di atas sama-sama dikembangkan, bukan mustahil ada atau tidak adanya sematan Nobel Perdamaian tahun ini pun tak hanya bersifat retrospektif, tetapi juga berdimensi masa depan demi persemaian baru Indonesia yang terus menjadi "zamrud khatulistiwa". Maka, Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah yang belakangan memiliki misi menyebarkan Islam rahmatan lil-`alamin (berkah untuk seluruh manusia) hingga berkembang di langit peradaban (di luar Indonesia), terus berakar kuat menghunjam tanah Bumi Pertiwi sebagaimana pesan Quranik Surat Ibrahim: 24.