Kepolisian Negara Republik Indonesia menetapkan Ketua Umum PSSI Joko Driyono sebagai auktor intelektualis yang menyuruh tiga tersangka lain merusak barang bukti. Disita pula 75 dokumen terkait kasus pengaturan laga dan uang
Rp 160 juta di apartemen Joko, yang diduga terhubung kasus tersebut (Kompas, 19/2/2019).

KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO

Ketua Umum PSSI Joko Driyono tiba di Polda Metro Jaya untuk menjalani pemeriksaan sebagai tersangka, Senin (18/2/2019). Joko ditetapkan sebagai tersangka perusakan barang bukti kasus pengaturan skor oleh Satuan Tugas Antimafia Bola bentukan Polri.

Seiring berjalannya waktu, kasus demi kasus terus menjerat PSSI. Kasus-kasus itu, yang tak jauh-jauh dari urusan suap, pengaturan pertandingan, dan mafia sepak bola, seolah sudah berurat berakar di sepak bola kita.

Kali ini, kasus pengaturan skor diungkapkan whistle blower Bambang Suryo, mantan manajer klub Liga 3 Persekam Metro FC. Penuturan Bambang dan sejumlah bukti awal lain lantas ditindaklanjuti dengan pembentukan Tim 9 oleh Kementerian Pemuda dan Olahraga.

Dalam salah satu laporannya, Tim 9 menulis, sebagian agen, yakni mereka yang memasukkan pemain asing, juga terlibat dugaan pengaturan pertandingan. Dari informasi Bambang, ada beberapa bandar yang beroperasi di Indonesia. Ada yang asal China, Kamboja, Malaysia, Singapura, Thailand, India, dan Bosnia-Herzegovina. Yang datang ke Indonesia hanya kaki tangannya (Kompas, 14/1/2019).

KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO

Para petugas polisi anggota Satgas Antimafia Bola mengumpulkan sejumlah berkas-berkas saat penggeledahan di Kantor Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI) di Senayan, Jakarta, Rabu (30/1/2019). Satgas Antimafia Bola melacak melalui dokumen dan berkas untuk penyelidikan permasalahan mafia sepakbola di Indonesia.

Kepentingan bandar-bandar ini, masih seperti laporan Tim 9, adalah untuk perjudian daring yang skornya diatur sejak awal. Bukti-bukti awal inilah yang membawa polisi mengusut dugaan keterlibatan Joko Driyono.

Kasus suap, sesuai dengan rekaman pemberitaan Kompas, sudah berulang kali terjadi, mulai dari dasawarsa 1970-an, 1980-an, 1990-an, hingga setelah tahun 2000. Dalam berbagai pemberitaan era 1990-an, seiring mencuatnya banyak kasus suap di liga nasional, jumlah penonton merosot drastis. Saking hancurnya kepercayaan warga terhadap sportivitas sepak bola kita, sampai-sampai ada pertandingan yang hanya disaksikan sekitar 100 orang (Kompas, 20/6/1996).

Pertanyaan mendasarnya, kepada siapakah kita berharap bergulirnya kompetisi yang bersih dari pengaturan pertandingan, suap, dan praktik-praktik tak terpuji yang menodai sportivitas olahraga jika sejumlah pengurus PSSI berstatus tersangka? Termasuk ketua umumnya?

KOMPAS/ADRIAN FAJRIANSYAH

Koordinator Indonesia Football Community Emerson Yuntho (putih) dan anggotanya, Ignatius Indro (merah) seusai diterima perwakilan Satgas Antimafia Sepak Bola di Direktorat Kriminal Umum, Polda Metro Jaya, Jumat (28/12/2018). Dalam pertemuan itu, Indonesia Football Community mendukung upaya satgas memberantas mafia. Mereka siap membantu. Di sisi lain, mereka berharap satgas mengusut kasus itu hingga ke akar-akarnya. Sebab, empat orang yang sudah ditangkap itu dinilai hanya sebagai penggerak. Sedangkan di atasnya, ada aktor lebih besar yang mengendalikan, yakni bandar judinya.

PSSI sebagai federasi sepak bola Indonesia sepatutnya serius berbenah diri demi kualitas kompetisi berjenjang sejak usia muda, yang berujung pada pembentukan tim nasional yang tangguh. Kepentingan-kepentingan pribadi dan kelompok, yang selama ini banyak memengaruhi kiprah pengurus, harus ditinggalkan dan digantikan tekad serta semangat memperbaiki sepak bola nasional.