Negara di Eropa dihadapkan pada dilema untuk menerima atau tidak warganya yang menjadi anggota Negara Islam di Irak dan Suriah, dan terlibat dalam perang di sana.

Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS) terus bertahan di kantong terakhir mereka di Baghouz, Provinsi Deir el-Zour, kota perbatasan antara Irak dan Suriah. NIIS kehilangan banyak anggota dan menderita kerugian besar di Irak dan Suriah, tetapi Perserikatan Bangsa-Bangsa menyebut mereka masih mengendalikan 14.000-18.000 anggota militan.

Dengan bantuan Amerika Serikat (AS), Pasukan Demokratik Suriah (SDF) yang memerangi NIIS di Irak dan Suriah menyatakan, NIIS memblokir jalan di seluruh kota Baghouz untuk mencegah warga sipil melarikan diri. Anggota NIIS bersembunyi di antara warga sipil atau di terowongan dan goa yang mereka buat. Menurut SDF, sebagian besar anggota NIIS yang bertahan di Baghouz adalah kombatan asing dan menangkap beberapa anggota yang berupaya melarikan diri.

Sejak deklarasi pada tahun 2014, NIIS bisa merebut sekitar 40 persen wilayah di Suriah dan Irak. Sejak Rusia, Turki, dan Iran melakukan serangan besar-besaran, NIIS mengalami sejumlah kekalahan, terutama setelah kehilangan kekuasaan atas kota terbesar kedua di Irak, Mosul, dan Raqqa di Suriah.

Kekalahan NIIS meningkatkan kekhawatiran akan anggotanya yang berasal dari negara lain melarikan diri dan melakukan serangan di luar negeri. Itulah yang menjadi debat antara Presiden AS Donald Trump dan pemimpin negara di Eropa.

Laporan ICSR dari London menyebutkan, 5.904 warga negara dari negara di Eropa Barat, seperti Perancis, Jerman, dan Inggris, melakukan perjalanan ke Irak dan Suriah untuk bergabung dengan NIIS. Ada 1.765 anggota militan diperkirakan kembali ke negara asalnya. Negara di Eropa Barat mengadopsi berbagai pendekatan untuk menangani mereka yang baru pulang dari Suriah, seperti melakukan investigasi kriminal, melihat risiko, rehabilitasi, atau reintegrasi.

Trump ingin negara di Eropa menerima pejuang NIIS yang berasal dari negaranya. Akan tetapi, sebagian pemimpin Eropa ingin pejuang NIIS yang ditahan di Irak dan Suriah diadili di sana. Meskipun demikian, penyiksaan terhadap tahanan di Irak dan Suriah biasa terjadi, bahkan pengadilan di sana dapat menjatuhkan hukuman mati, sesuatu yang sangat ditentang oleh negara di Eropa.

"Ini memang sulit, dan kami tidak bisa semudah seperti orang Amerika berpikir. Warga Jerman harus kembali, tetapi kami ingin cek berapa yang terlibat," kata Menteri Luar Negeri Jerman Heiko Maas sebelum mengikuti pertemuan Menteri Luar Negeri Uni Eropa di Brussel, Senin (18/2/2019).