KOMPAS/PRIYOMBODO

Pekerja mengangkat beras di toko beras di kawasan Kebayoran, Jakarta Selatan, Senin (14/1/2019). Pemerintah berupaya agar harga bahan pangan, khususnya beras di pasaran tetap stabil dengan menggelar operasi pasar. Data Perum Bulog stok beras cadangan pemerintah (CBP) pada akhir tahun 2018 mencapai 2,1 juta ton setara beras.

Awal Maret 2019, Badan Pusat Statistik (BPS) merilis perkembangan harga selama Februari 2019, tercatat deflasi 0,08 persen (mtm). Kelompok bahan makanan mengalami penurunan harga yang signifikan, yakni 1,11 persen (mtm). Bahkan, bahan makanan satu-satunya kelompok pengeluaran yang memberi andil deflasi 0,24 persen. Sementara kelompok pengeluaran lain masih inflasi, yakni makanan jadi (0,31 persen), perumahan (0,25 persen), sandang (0,27 persen), kesehatan (0,36 persen), pendidikan (0,11 persen), dan transportasi (0,05 persen).

Kelompok makanan jadi dan perumahan masing-masing memiliki andil inflasi 0,06 persen. Sementara sandang, kesehatan, pendidikan, dan transportasi memiliki andil masing-masing 0,01 persen.

Kelompok bahan makanan yang mengalami deflasi terbesar adalah kelompok bumbu-bumbuan, yakni 5,50 persen. Sementara deflasi daging ayam ras dan cabai merah 0,06 persen, telur ayam ras 0,05 persen, bawang merah 0,04 persen, cabai rawit 0,02 persen, serta ikan segar, wortel, dan jeruk masing-masing 0,01 persen.

Secara umum deflasi bahan makanan pada Februari 2019 merupakan imbas dari anjloknya harga di tingkat petani. Harga gabah kering panen (GKP) petani menjadi Rp 5.114 per kilogram (kg), turun 4,46 persen (mtm) atau 1,79 persen (yoy). Di penggilingan, gabah kering giling (GKG) turun 2,23 persen (yoy) dan GKP turun 1,56 persen (yoy). Akibatnya, harga beras medium di penggilingan Rp 9.800 per kg, turun 1,04 persen (mtm) atau 4,06 persen (yoy).

KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO (TOK)

Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Enny Sri Hartati

Turunnya GKG maupun GKP tentu berdampak langsung pada harga yang diterima petani. Nilai tukar petani (NTP) pada Februari 2019 turun 0,37 persen dibandingkan NTP Januari 2019. NTP tanaman pangan hanya 106,72 atau turun 0,80 persen. Bahkan, NTP hortikultura hanya 99,51 atau turun 1,47 persen. Padahal, idealnya NTP minimal mencapai 125.

Pada Februari 2019, secara rata-rata indeks yang dibayar petani juga turun. Namun, turunnya NTP (minus 0,53 persen) menunjukkan bahwa penurunan harga yang diterima petani lebih besar daripada biaya yang dikeluarkan.

Ironisnya, sekalipun harga GKP dan GKG di petani turun cukup besar, kelompok padi-padian masih inflasi 0,40 persen dan beras inflasi 0,01 persen. Tingginya harga beras menyedot porsi pengeluaran masyarakat miskin untuk beras, yakni 19,54 persen di perkotaan dan 25,51 persen di perdesaan.

Besarnya penurunan harga yang diterima petani mengkonfirmasi bahwa kontributor utama deflasi pangan adalah anjloknya harga di tingkat petani. Bukan karena peningkatan produktivitas pangan atau perbaikan pola distribusi yang makin efisien.

Survei BPS terkait pola distribusi perdagangan komoditas strategis (Poldis) 2018 menunjukkan distribusi belum efisien. Margin Perdagangan dan Pengangkutan (MPP) komoditas cabai merah mencapai 47,10 persen. Sementara MPP beras 25,35 persen, bawang merah 49,06 persen, daging sapi 34,11 persen, daging ayam ras 24,68 persen, telur ayam ras 26,80 persen, gula pasir 32,67 persen, dan minyak goreng 18,70 persen.

Secara historis, harga pangan memang penentu utama stabilitas harga (inflasi). Namun, tidak adil mengendalikan harga pangan dengan mengorbankan nasib petani. Ketiadaan insentif ekonomi bagi petani justru menyebabkan semakin turunnya produktivitas pangan. Keterbatasan pasokan pangan justru menyebabkan lingkaran setan tingginya harga pangan.

Padahal, stabilitasi harga pangan semestinya tidak berbenturan dengan nasib petani. Hukum dasar stabilitas harga adalah interaksi antara permintaan dan pasokan. Sayangnya, hubungan ini sering diplesetkan seperti ayam dan telur. Jika ingin harga pangan stabil, seolah harga pangan harus murah dan harus mampu menekan harga petani. Dengan penduduk lebih dari 260 juta jiwa, kebutuhan pangan Indonesia tentu sangat besar. Artinya, stabilitas harga pangan tidak mungkin tercapai tanpa peningkatan produktivitas.

Dengan demikian jadi jelas dan sederhana bahwa fokus kebijakan pangan adalah segala upaya meningkatkan pasokan pangan. Petani harus jadi subyek dan ujung tombak utama. Petani harus mendapatkan insentif yang memadai agar tidak meninggalkan sektor pertanian. Karenanya, pengendalian harga pangan mestinya lebih ditujukan untuk menjaga daya beli masyarakat berpenghasilan rendah. Pemerintah hanya perlu menetapkan dan mengendalikan harga eceran tertinggi beras jenis medium tanpa harus mengatur terlalu rigid melalui Satgas Pangan.

Selanjutnya, arah kebijakan pangan fokus untuk memfasilitasi dan memberikan insentif memacu produktifitas pangan. Upaya serius guna perbaikan kelembagaan petani dan meningkatkan adopsi teknologi tepat guna. Semua program harus dengan target yang jelas dan terukur, seperti target produktivitas lahan padi minimal 10 ton per hektar, rendemen gabah jadi beras naik dari saat ini sekitar, serta perbaikan rantai pasok dan tata niaga sehingga distribusi lebih efisien.