Keterjebakan pertama dalam melihat kasus terkait UU ITE saat ini adalah menghubungkan kasus UU ITE dengan penguatan polarisasi politik menjelang Pemilu 2019. Masyarakat cenderung melihat kasus Robet dalam cara pandang semacam ini sehingga suasana jadi keruh dan menghilangkan esensi masalah UU ITE. Kecenderungan bahwa UU ITE banyak dipakai rezim berkuasa untuk membungkam aspirasi rakyat dipakai sebagai argumen bahwa pemerintahan Jokowi adalah pihak yang mengadukan.

Faktanya tak sesederhana simplifikasi di atas. Pihak yang mengadukan Robet ternyata justru Letjen (Purn) Johanes Suryo Prabowo yang mendukung pasangan Prabowo-Sandi. Jika kita terseret dalam analisis berbasis polarisasi politik, kejernihan dalam melihat kasus kebebasan berekspresi tak akan ditemukan.

Masyarakat akan tergelincir pada analisis akrobatik dan spekulatif yang melihat adanya beragam skenario politik di balik kasus UU ITE. Ini sering kita jumpai dalam berbagai diskusi di medsos.

Masalah mendasar UU ITE terkait kebebasan berekspresi adalah dipakainya delik pidana dalam menilai pendapat warga negara (Pasal 27 Ayat 3). Aturan ini mencakup pencemaran nama baik (defamasi). Dalam hal ini, UU ITE mengacu pada aturan KUHP buatan Pemerintah Belanda. Konteks politik waktu itu adalah pengekangan aspirasi rakyat Hindia Belanda karena kekhawatiran kolonial atas gerakan kemerdekaan.

Meski Indonesia sudah merdeka dan UUD 1945 menjamin kebebasan berpendapat warga negara, UU ITE buatan pemerintahan pada era reformasi tak mengacu pada konstitusi, tetapi justru pada KUHP kolonial. Orang bisa dipenjara hanya karena menyampaikan opini yang dinilai mencemarkan nama baik.

Banyak kasus membuktikan, aduan kasus defamasi dominan dilakukan pemegang kekuasaan ekonomi dan politik, persis seperti pemerintah kolonial yang tak mau Indonesia merdeka.

Revisi UU ITE tahun 2016 juga tidak menghapus paradigma kriminalisasi ini, tetapi hanya mengurangi ancaman pidana menjadi empat tahun.

Keterjebakan kedua dalam melihat kasus UU ITE adalah mencampuradukkan perkara defamasi dengan ujaran kebencian (hate speech). Kasus defamasi terkait dengan kritik warga negara pada praktik penyelenggara pemerintahan. Pada era demokrasi adalah wajar mengkritik kinerja pemerintahan sebagai bagian dari fungsi partisipasi politik, kontrol, dan check and balance.

Namun, pemerintahan otoriter tak menyukai fungsi ini sehingga memproduksi aturan yang membatasi kebebasan sipil. Dalam konteks ini, pihak yang sering terkena masalah adalah wartawan dan pelaku medsos. Meski wartawan dilindungi oleh UU Pers No 40/1999, ketika masuk ke ranah media daring, UU ITE bisa mengaturnya. Di sini juga terlihat bagaimana berbagai aturan hukum komunikasi bisa  kontradiktif satu sama lain.

Perdata, bukan pidana
Berbeda dengan pencemaran nama baik, ujaran kebencian cenderung diatur dalam delik pidana. Ujaran kebencian adalah ekspresi serangan terhadap seseorang dengan berdasarkan pada atribut dan identitas individu seperti etnik, agama, orientasi seksual, asal daerah, dan hal-hal lain yang melekat secara alamiah pada individu. UU ITE mengatur ini di Pasal 28 dalam delik pidana.

Penyamarataan pencemaran nama baik dan ujaran kebencian dalam satu delik pidana inilah yang bikin runyam. Kita jadi sulit membedakan prinsip normatif kebebasan berpendapat dan di mana wilayah kebencian.

Keduanya dipukul rata sebagai kasus kriminal. Ditambah inkonsistensi aparat hukum dalam menilai kedua jenis kasus ini dan kelatahan pada klaim kriminalisasi, situasi menjadi bertambah keruh.

Jalan keluar hukum yang mendasar adalah meletakkan kasus pencemaran nama baik di ranah perdata, bukan pidana. Ini yang selalu disampaikan pengkritik UU ITE karena memang kecenderungan global mengarah ke sana.

Pemerintah Belanda yang dulu membuat KUHP sendiri sudah mengatur pencemaran nama baik di ranah perdata lewat hukuman denda. Di sini jelas beda orang yang menyatakan pendapat dengan koruptor, maling, atau pembenci manusia lain karena identitasnya.

Namun, upaya itu tak mudah karena perlu basis pemahaman tentang kebebasan yang kuat. Penelitian saya menunjukkan adanya penguatan imperatif negara dalam produksi legislasi di wilayah komunikasi sejak 2008.

Selain UU ITE, kita juga masih memiliki UU Perfilman No 33/2009 yang masih mengedepankan sensor dan bukan klasifikasi. Sistem penyiaran kita juga tidak sepenuhnya mendukung regulasi yang independen. Regulasi ideal di wilayah komunikasi adalah UU Pers No 40/1999 yang mengatur kebebasan dan etika secara seimbang.

Berbagai upaya hukum sudah dilakukan untuk merevisi kriminalisasi kebebasan berpendapat. Aktor utama yang ingin menegakkan kebebasan menyatakan pendapat sesuai konstitusi adalah masyarakat sipil dan akademisi. Aktor lain, pemerintah dan pebisnis cenderung kalkulatif bergantung kepentingan aktual.

Tantangan aktual dalam melihat kasus terkait UU ITE adalah bagaimana kita bisa kembali pada prinsip normatif tentang kebebasan berpendapat dan menjauhkan diri dari kacamata polarisasi politik.