Seusai debat capres tersebut, serangkaian "kabel" (laporan rahasia) akan dilayangkan oleh para duta besar tersebut ke ibu kota mereka masing-masing, yang berisikan pengamatan dan analisis tentang kemungkinan postur dan arah politik luar negeri pemerintah baru Indonesia lima tahun ke depan (2019-2024) jika salah satu capres—entah itu petahana Joko Widodo ataupun Prabowo Subianto—memenangi pemilu presiden pada 17 April 2019 yang akan datang.

Adalah suatu keharusan bagi negara-negara sahabat, terutama yang keamanannya berkelindan dengan Indonesia, untuk mengetahui bagaimana pemerintah pasca-Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) 2019 akan memproyeksikan kekuatannya untuk mencapai tujuan nasional Indonesia sebagaimana termaktub pada Pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.

Tujuan nasional Indonesia tersebut yaitu "melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia; memajukan kesejahteraan umum; mencerdaskan kehidupan bangsa; dan, ikut melaksanakan dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial".

Pemerintah pasca-Pilpres 2019 memang dibayang-bayangi oleh dinamika global dan regional yang jauh berbeda dengan yang dihadapi ketika Pilpres 2014 diselenggarakan. Dinamika pada tataran global akhir-akhir ini memang cukup mengkhawatirkan, ditandai oleh kembalinya perang dingin dan perebutan wilayah pengaruh, antara Amerika Serikat dan Rusia.

Presiden Amerika Serikat Donald Trump secara sepihak juga telah menarik diri dari perjanjian Intermediate Nuclear Forces Treaty (2019) setelah didahului keputusan Presiden George W Bush untuk membatalkan Anti-Ballistic Missile Treaty(2002).  Tidak pelak lagi, pembatalan dua perjanjian kunci tersebut kembali mendorong munculnya pacuan senjata nuklir di antara kedua negara adidaya tersebut.

Situasi global dan kawasan

Situasi dunia semakin mengkhawatirkan dengan berlangsungnya perang dagang antara Amerika Serikat dan China—dua ekonomi terbesar dunia—yang dampaknya dirasakan oleh seluruh negara di dunia, termasuk Indonesia. Patut disyukuri bahwa program pembangunan infrastruktur yang dilancarkan oleh pemerintah petahana cukup berhasil memitigasi dampak negatif perang dagang tersebut sehingga pertumbuhan ekonomi Indonesia mampu bertahan pada kisaran 5 persen per tahun.

Sementara pada tingkat regional, yang merupakan lingkungan strategis Indonesia, terbuka peluang pecahnya konflik di Laut China Selatan, yang melibatkan China, Filipina, Brunei Darussalam, Malaysia, Vietnam, dan Taiwan; di Laut China Timur, yang melibatkan  China, Jepang, dan Korea Selatan; dan di Semenanjung Korea, yang melibatkan Korea Selatan, Amerika Serikat, dan Korea Utara.

Hampir seluruh pakar kawasan berpendapat bahwa munculnya Presiden China Xi Jinping sebagai pemimpin kuat (lingtao hexin) di China membuat negara tersebut lebih trengginas di kawasan-kawasan konflik tersebut.

Serangkaian ekspedisi militer yang dilancarkan China di Laut China Selatan dan Laut China Timur diimbuhi pula dengan pembangunan lapangan terbang di salah satu pulau yang juga didaku Filipina, selain menaikkan suhu politik di kawasan, juga mengindikasikan bahwa China tidak menutup opsi perang untuk menyelesaikan konflik-konflik di atas.

Kekhawatiran negara-negara di kawasan semakin meningkat mengingat di bawah kepemimpinan Presiden Donald Trump, kehadiran Amerika Serikat sebagai kekuatan penyeimbang tidak lagi dapat diandalkan, mengingat negara tersebut lebih mengonsentrasikan diri pada penyelesaian isu-isu domestik (America First).

Politik luar negeri Indonesia pasca-pilpres

Terkait dengan kembalinya perang dingin seperti digambarkan di atas, beberapa pertanyaan fundamental akan muncul di kalangan duta besar negara-negara sahabat tersebut, yaitu: apakah Indonesia akan tetap setia kepada prinsip politik luar negeri yang bebas dan aktif dan sebagai konsekuensinya mencoba merevitalisasi Gerakan Non-Blok yang saat ini sedang terlelap (moribund).

Dan, apakah pemerintah baru juga akan kembali menghidupkan proses konsultasi dengan para negara pemilik senjata nuklir—Amerika Serikat, China, Rusia, Perancis, dan Inggris—agar negara-negara tersebut segera mengakui keberadaan zona bebas senjata nuklir di Asia Tenggara, seperti yang dimandatkan oleh The Southeast Asian Nuclear Weapons Free Zone (SEANFZ, 1997), menyusul terbentuknya kawasan yang sama di Amerika Latin dan Karibia (Tlatelolco Treaty, 1968), dan di kawasan Pasifik Selatan (Rarotonga Treaty, 1986).

Sudah beberapa dekade ini negara-negara ASEAN gagal meyakinkan para negara senjata nuklir tersebut mengakui keberadaan SEANFZ.

Dapat pula diantisipasi bahwa melalui perdebatan tersebut, para duta besar negara sahabat ingin mengetahui posisi Indonesia, sebagai salah-satu pendukung rezim  perdagangan bebas, terhadap sikap AS, yang mengenakan tarif tinggi bagi produk-produk negara asing, termasuk produk-produk tekstil Indonesia, yang memasuki pasar Amerika Serikat.

Tidak kalah menariknya bagi para wakil negara sahabat tersebut adalah tindakan apa yang akan diambil oleh pemerintah baru Indonesia terhadap kelompok-kelompok pengusung ideologi khilafah, terutama jika dikaitkan dengan kembalinya para pejuang Negara Islam di Irak dan Suriah (returning fighters), yang telah dikalahkan di Suriah.

Para duta besar negara-negara sahabat tersebut tentu mengharapkan debat capres yang akan datang mampu memberikan jawaban-jawaban terhadap serangkaian pertanyaan fundamental di atas.