Di permukaan tampak hanya seperti perang siber di mana tokoh politik dan netizen pendukung calon presiden kedua kubu saling menyerang satu sama lain. Berbagai opini dan fakta penunjang ditampilkan melalui media sosial para penggunanya. Namun, sungguhkah yang dihadapi saat ini hanya perang opini? Mungkinkah ada kekuatan luar yang turut bermain dalam politik dalam negeri Indonesia saat ini?

Sejak 2016, ketika masih menjabat sebagai Panglima TNI, Gatot Nurmantyo berulang kali menyebutkan potensi adanya proxy war di Indonesia (Kompas, 19/5/2016). Meskipun istilah ini banyak dipakai pada masa Perang Dingin, Mumford (2013) juga mengamini penggunaan cara yang sama dalam konflik saat ini dan akan datang.

"Proxy war"

Proxy war terjadi akibat adanya intervensi pihak ketiga yang bertujuan untuk memengaruhi kebijakan strategis yang dibuat oleh suatu negara agar pemenangnya mendukung kepentingan pihak ketiga tersebut (Mumford, 2013). Proxy war memanfaatkan konflik yang sedang atau berpotensi untuk terjadi sehingga aktor luar, negara ataupun nonnegara, meraih tujuannya tanpa harus melalui perang berbiaya besar.

Di era Perang Dingin, Amerika Serikat (AS), Uni Soviet, dan China kerap melakukan intervensi kepada negara-negara dunia ketiga dan menjadikan wilayah Asia-Afrika sebagai arena kontestasi di antara mereka. Indonesia pada 1965 sempat menjadi arena pertarungan kekuatan-kekuatan besar yang ada, antara Blok Barat dan Blok Timur.

Kedekatan Indonesia dengan Soviet dan China pada masa itu membuat AS gerah sehingga AS menyusup dan menyusun strategi sedemikian rupa ke dalam politik Indonesia untuk menggusur pengaruh Soviet dan China serta agar pemenangnya menjadi mitra setia AS. Pergantian rezim saat itu pada akhirnya membukakan pintu masuk bagi Blok Barat. AS memiliki akses dan konsesi pertambangan sangat luas di Indonesia.

Berakhirnya Perang Dingin yang memberi sinyal kemenangan bagi kelompok negara Barat (Fukuyama, 1989) tidak serta-merta membuat perebutan pengaruh di antara negara-negara besar tersebut berhenti. Wilayah Asia, Afrika, dan Timur Tengah tetap menjadi arena pertempuran yang strategis bagi negara-negara besar di dunia.

Konflik seperti yang terjadi di Irak, Suriah, Yaman, dan Venezuela diawali dengan keributan politik internal, telah membuka pintu bagi masuknya kekuatan asing yang  berujung pada krisis kemanusiaan. Fakta ini menunjukkan bahwa kontestasi politik internasional di antara negara-negara besar pada akhirnya selalu menyengsarakan masyarakat sipil di negara dunia ketiga.

Dukungan AS terhadap salah satu pihak dan Rusia di pihak lain tidak membuat konflik internal berakhir. Sebaliknya, konflik makin membesar dan tragedi kemanusiaan mewarnai kondisi terkini. Sementara kekuatan-kekuatan luar berlomba mendapatkan keuntungan dari kondisi kritis pemerintah negara yang semakin lemah.

China-AS dalam Pilpres 2019

Sejarah menunjukkan sejak dulu Indonesia selalu menjadi wilayah yang diperebutkan oleh kekuatan luar karena kekayaan alamnya yang melimpah dan lokasinya yang strategis. Dengan demikian, bukan tak mungkin jika kekuatan luar akan selalu ada dan saling bersaing mendapatkan keuntungan dari situasi politik yang terjadi di dalam negeri saat ini.

Dalam satu dekade terakhir ini, AS melihat China semakin menjadi ancaman. Dari sisi ekonomi, dengan kebijakan Inisiatif Sabuk dan Jalan (Belt and Road Initiative/BRI) atau yang sebelumnya dikenal dengan Satu Sabuk Satu Jalan (One Belt One Road/OBOR), China lebih diterima oleh negara-negara di kawasan Asia, Afrika, dan Timur Tengah karena memberikan investasi serta pinjaman tanpa aturan rumit dan berlebih, seperti isu HAM atau lingkungan yang sering kali dijadikan prasyarat oleh AS dan negara-negara Uni Eropa.

Belum lagi perang dagang yang terjadi antara AS dan China belakangan ini akibat barang-barang buatan China yang dijual di pasar internasional dengan harga murah sehingga memberikan surplus perdagangan bagi China dan memukul perekonomian AS.

Dari sisi militer, anggaran belanja pertahanan China terus meningkat sejak akhir 1990, terutama untuk kekuatan lautnya. Pemerintah China menggunakan justifikasi modernisasi persenjataan dan menjaga keamanan wilayahnya, terutama laut, untuk mengembangkan kekuatan militernya. Bagi beberapa negara, terutama  AS dan sekutunya, kebijakan militer China ini menjadi ancaman.

Itu sebabnya, ketika China mengklaim sebagian besar wilayah Laut China Selatan dan diiringi peningkatan kekuatan militer, AS meresponsnya dengan kebijakan US Pivot in Asia Pacific untuk menunjukkan kehadirannya di kawasan Asia Pasifik sekaligus mengimbangi kekuatan China yang dianggap terlalu mendominasi (US Department of Defense, 2012),

Menolak adu domba

Belakangan, dengan menguatnya minat sejumlah negara untuk memperkuat kerja sama dan konektivitas di kawasan Indo-Pasifik, Indonesia menjadi semakin strategis karena berada di pusat dan jalur perlintasan utama yang menghubungkan perekonomian negara-negara di wilayah Samudra Hindia dan Samudra Pasifik.

Bisa dipahami jika AS sangat  berkepentingan memainkan peran politik di dalam negeri Indonesia, sebagaimana dia mainkan di Timur Tengah, untuk mengamankan kepentingannya ketika berhadapan dengan China sekaligus mendapatkan keuntungan dari posisi strategis Indonesia. Begitu pun China dengan kekuatan modal dan tenaga kerjanya yang masuk ke kawasan Asia-Afrika, bahkan Amerika Latin.

Di Indonesia, isu bahaya laten komunis, "pekerja China", dan "antek asing" sangat mungkin menjadi bagian dari hoaks dan taktik proxy war yang terus ditiupkan untuk menjatuhkan pemerintahan yang sepertinya sengaja diframing bahwa pemerintahan saat ini pro-kebijakan BRI China. Menjadi menarik ketika hal-hal ini dikaitkan dengan sejarah mengenai keterlibatan AS dalam upaya menjatuhkan pemerintahan Soekarno pada 1965. Meski begitu, kita juga harus kritis terhadap pengaruh China yang makin intensif dan ekstensif.

Rakyat Indonesia saat ini semestinya sudah lebih cerdas dan harus menolak untuk diadu domba kekuatan asing yang ingin menguasai dan mengeruk keuntungan di Indonesia. Sudah lebih dari cukup kita belajar dari krisis kemanusiaan yang terjadi di Irak, Libya, Suriah, Yaman, dan Venezuela. Jangan sampai tragedi itu menjalar ke Indonesia.

Meminjam slogan Xi Jinping, Asia for Asian People (Jinping, 2014), Indonesia pun seharusnya menjadi milik rakyat dan bangsa Indonesia. Pilpres yang akan datang haruslah memberikan kemenangan dan mendatangkan keuntungan bagi rakyat Indonesia. Jangan biarkan kekuatan asing menggunakan kekacauan politik sebagai kendaraan untuk kekuasaan dan keuntungan mereka. Satu catatan penting yang perlu diingat, isu dan sentimen keagamaan di Indonesia mudah sekali dimanfaatkan pihak ketiga untuk memecah belah kesatuan dan kerukunan bangsa ini.