Rabu, 17 April 2019, memang hari menentukan bagi bangsa Indonesia. Pada saat itu, lebih dari 196 juta pemilih akan memilih presiden Indonesia untuk periode 2019-2024. Bukan hanya presiden, para pemilih juga akan memilih anggota DPR dan anggota Dewan Perwakilan Daerah.

KOMPAS/WAWAN H PRABOWO

Warga melintasi baliho dukungan dan ajakan menyukseskan Pemilu Presiden 2019 di Jalan Mampang Prapatan, Jakarta Selatan, Senin (4/3/2019). Komisi Pemilihan Umum (KPU) menargetkan tingkat partisipasi pemilih bisa mencapai 78 persen.

Begitu pentingnya kontestasi demokrasi bernama pemilu presiden sampai-sampai tim sukses menyebut pemilu dengan istilah perang total. Semua sumber daya digunakan untuk memenangi "peperangan" itu. Pemahaman bahwa pemilu bak "perang" itu rasanya tidaklah tepat. Pemilu adalah wujud kedaulatan rakyat untuk memilih pemimpinnya, sementara kandidat berkontestasi menawarkan gagasan dan ide.

Bahwa 17 April 2019 akan menentukan wajah Indonesia ke depan sangat jelas. Apakah arah pembangunan yang berjalan akan dikoreksi ke arah lain, ditentukan 17 April 2019. Apakah akan terjadi pemberian mandat kembali kepada Presiden Joko Widodo yang kali ini berpasangan dengan Ma'ruf Amin atau menyerahkan mandat kepada penantang, Prabowo Subianto- Sandiaga Uno, untuk Indonesia 2019-2024, bergantung kepada rakyat. Pemilu menghadapkan pada pilihan continue atau change.

Masih ada kehidupan setelah 17 April 2019. Tidak perlu habis-habisan dalam kontestasi sampai harus mengorbankan persaudaraan atau persahabatan. Masih ada pekerjaan rumah besar pasca-17 April 2019. Menarik retorika yang disampaikan Komandan Kogasma Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono, apakah Indonesia sudah siap mengadopsi sistem politik AS? Gagasan meninjau kembali sistem pemilu, melihat kembali sistem ketatanegaraan dan masalah lain yang begitu mendesak, haruslah dalam bayangan agenda pasca-17 April 2019 atau paling tidak pasca-20 Oktober 2019.

Seorang anggota tim kampanye mengatakan, pemilih militan (strong voters) di tiap-tiap calon sudah mencapai angka 90 persen. Pemilih militan sudah tak tergoyahkan lagi pilihan politiknya. Dalam dua blok pilihan politik itu seakan terbangun tembok pemisah.

KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO

Pencari rumput melintas di depan spanduk yang dipasang warga berisi ajakan menggelorakan semangat perdamaian menjelang Pemilu di Dusun Dadapan, Desa Ketep, Kecamatan Sawangan, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, Jumat (1/3/2019). Ajakan memelihara perdamaian terus digelorakan untuk mengurangi potensi perselisihan antarwarga akibat perbedaan pilihan pada Pemilu mendatang.

Dalam situasi politik seperti sekarang ini, saat publik terbelah, yang dibutuhkan adalah jembatan. Jembatan yang bisa menghubungkan dua blok yang terpisah, jembatan yang bisa menjadi saluran komunikasi di antara dua blok yang terbelah. Jembatan diperlukan agar terjadi tukar gagasan di antara dua kontestan. Jembatan komunikasi diperlukan agar kita tidak hanya hidup di kepompong komunikasi yang hanya akan mempertajam polarisasi.