Untuk mengimbangi dominasi investor asing, pemerintah telah mengumumkan jadwal penerbitan SBN ritel selama tahun ini. Hingga akhir Januari 2019, posisi kepemilikan investor asing atas SBN mencapai Rp 910 triliun. Angka ini tertinggi sepanjang sejarah dan jauh melebihi kepemilikan perseorangan baik melalui reksa dana (Rp 120 triliun) maupun langsung (Rp 73 triliun). Jepang contoh di mana SBN paling banyak dimiliki investor domestik.

Inisiatif pemerintah ini semestinya disambut baik oleh publik domestik. Paling tidak ada dua alasan. Pertama, kenyataan demikian banyak masyarakat yang tergiur dan, lalu, terjebak dalam investasi bodong. Kedua, persepsi keliru terhadap utang negara sering kali merupakan ekspresi pengalaman traumatik berutang pada tataran pribadi yang diproyeksikan ke wilayah negara.

Ada dua aturan utama yang kerap dikutip dalam berinvestasi. Aturan pertama, jangan kehilangan uang (never lose money). Lalu aturan kedua, selalu ingat aturan pertama. Melalui dua aturan ini investor pada hakikatnya diingatkan untuk lebih mengutamakan risiko kembalinya pokok investasi (credit risk, return of capital), bukan tingkat keuntungan berinvestasi (return on capital).

Pola utama yang menimpa masyarakat yang terjebak investasi bodong adalah pancingan keuntungan investasi yang jauh lebih tinggi dari acuan normatif seperti inflasi dan deposito. Mereka umumnya lupa terhadap keamanan dan kemudahan pemulangan kembali pokok investasi menjadi uang kas (credit and liquidity risks).

Sementara, pengalaman traumatik berutang sering kali diteguhkan dengan dalil agama yang sesungguhnya kurang berimbang sebab lebih membidik pemberi utang. Memang banyak kasus berutang mengawali penindasan lewat praktik bunga berbunga, terutama jika utang yang tertunggak itu tidak produktif. Dalam agama Islam, Nabi Muhammad SAW mengingatkan untuk berhati-hati dalam berutang. Alasannya, utang menjadi sumber kesedihan di malam hari dan kehinaan di siang hari (HR Baihaqi). Namun, Nabi juga mengancam mereka yang berutang dengan niatan tak membayar utang kelak akan dinilai sebagai pencuri yang tak berhak masuk surga (HR Ibnu Majah).

Memproyeksikan trauma pribadi kepada tataran negara jelas keliru. Sebab, dengan peluang memobilisasi penerimaan pajak, negara jelas memiliki kapasitas yang sangat besar untuk membayar utang. Hal ini tecermin dari masuknya kembali Indonesia sebagai negara layak investasi (investment grade). Bagi investor, SBN jelas memberikan peluang investasi terbaik dengan risiko gagal bayar (credit risk) yang paling rendah, imbal hasil mengalahkan inflasi (inflation risk), dan semakin mudah diuangkan (liquidity risks). Pemerintah juga menawarkan versi syariah yang dikenal sebagai sukuk.

Selama 10 tahun terakhir, imbal hasil per tahun Asian Bond Fund index Indonesia—sebagai salah satu acuan aset SBN secara umum—mencapai 10,4 persen. Angka ini jauh melebih rata-rata inflasi 4,6 persen per tahun pada periode yang sama. Selama lima tahun terakhir, imbal hasil SBN ini mencapai 8,7 persen per tahun atau melebihi kinerja indeks saham syariah dan inflasi yang masing-masing sebesar 5,7 persen dan 4,1 persen. Kinerja ini menunjukkan SBN sebagai contoh investasi yang menguntungkan dan memiliki risiko rendah (high return and low risk)!

SBN juga diperlukan sebagai acuan penentuan harga (pricing) surat utang swasta. Hal ini dilakukan oleh banyak negara, seperti Singapura, kendati negara tersebut menikmati surplus neraca berjalan yang sangat besar (19 persen PDB).

Kondisi yang diperlukan

Laporan Bank Dunia untuk Indonesia tahun 2014 mengingatkan Indonesia berisiko gagal menjadi negara kaya pada tahun 2030 saat memasuki penuaan penduduk. Acuan Bank Dunia sebagai negara kaya adalah berpendapatan minimum 12.000 dollar AS/kapita/tahun. Dengan pendapatan/kapita saat ini sekitar 5.300 dollar AS, diperlukan pertumbuhan ekonomi 7,7 persen. Suatu angka yang terbilang sulit tanpa peningkatan pesat produktivitas SDM. Bayangkan, dengan pertumbuhan 5,2 persen saat ini saja sudah disertai defisit neraca berjalan terbilang besar.

Pertumbuhan ekonomi yang lebih gegas baru semacam kondisi perlu (necessary condition) untuk mencegah risiko "tuwir sebelum tajir". Kondisi yang paling menentukan (sufficient condition) membutuhkan peningkatan keahlian publik domestik untuk mengelola investasi dalam spektrum kelompok aset yang lebih luas, mulai dari saham, properti, SBN, hingga investasi langsung. Publik yang umumnya menghindari risiko (risk-averse) memerlukan SBN dalam proses transformasi menuju masyarakat berinvestasi.