FOTO-FOTO: KOMPAS/HERU SRI KUMORO

Wakil Presiden Jusuf Kalla berjabat tangan dengan Menteri Perdagangan, Pariwisata, dan Investasi Australia Simon Birmingham seusai penandatanganan Perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif Indonesia-Australia, Senin (4/3/2019) di Jakarta.

Tantangan baru menanti Indonesia dalam memanfaatkan perjanjian perdagangan Indonesia dan Australia dengan potensi nilai miliaran dollar AS.

Perjanjian perdagangan Kesepakatan Kerja Sama Ekonomi Komprehensif Indonesia-Australia (IA-CEPA) ditandatangani Menteri Perdagangan Indonesia Enggartiasto Lukita dan Menteri Perdagangan Australia Simon Birmingham di Jakarta, Senin (4/3/2019).

Bagi Australia, perjanjian perdagangan ini membuka peluang sangat besar untuk pasar barang dan jasa. Jumlah penduduk Indonesia saat ini sudah mencapai 265 juta jiwa dengan pendapatan terus meningkat. Antara tahun 2017 dan 2018 nilai perdagangan barang dan jasa kedua negara bernilai 16,8 juta dollar AS. Menurut situs resmi IA-CEPA, Indonesia adalah mitra dagang terbesar ke-13 bagi Australia.

Cakupan IA-CEPA meliputi bidang perdagangan, jasa, e-dagang, investasi, kerja sama ekonomi, kompetisi, dan kontrak hukum. Dengan perjanjian ini, 94 persen tarif barang dari Australia akan dihapus bertahap, sedangkan produk dari Indonesia akan 100 persen bebas bea masuk.

Perjanjian ini membuka peluang mendapatkan manfaat dari meningkatnya arus barang dan jasa di kedua negara. Kita berharap perjanjian ini dapat segera diratifikasi oleh setiap negara siapa pun yang akan memegang kendali pemerintahan.

Kita perlu melihat sisi positif dari perjanjian perdagangan kedua negara. Alih-alih mengkhawatirkan Indonesia hanya menjadi pasar produk Australia dan menghabiskan energi untuk memenangi persaingan, kita dapat menjadikan perjanjian ini jembatan membangun industri manufaktur dan jasa bekerja sama dengan Australia.

Indonesia dan Australia dapat saling melengkapi dalam banyak hal karena setiap negara memiliki keunggulan kompetitif dan komparatif. Perjanjian ini harus diarahkan untuk merebut pasar global yang lebih besar.

Keunggulan Indonesia memproduksi mi instan yang ekspornya sudah mendunia seharusnya mendapat bahan baku gandum murah dari Australia. Begitu juga industri makanan dan minuman kita mendapat gula industri dengan harga bersaing dari Australia dan gula petani kita tetap dapat mengisi pasar domestik tanpa khawatir disaingi gula impor. Produk turunan rempah-rempah kita, berupa minyak asiri bernilai tinggi dapat berkembang dengan bantuan teknologi Australia. Kita juga dapat memanfaatkan teknologi negara tetangga kita itu untuk membangun jaringan logistik. Begitu juga dalam bidang-bidang lain, seperti pendidikan dan pariwisata.

Yang kita inginkan, peran pemerintah agar UMKM, petani, dan nelayan yang terimbas perjanjian ini mendapat pendampingan agar menghasilkan produk yang dapat diperdagangkan dengan Australia.