Lebih dari peringatan hari raya Nyepi tahun lalu yang dibayangi pilkada serentak, penggantian tahun Saka 1940 ke Saka 1941 pada 7 Maret 2019 ini dibayangi dinamika pemilu legislatif dan pemilihan presiden dan wakil presiden, 17 April mendatang. Timbul kekhawatiran dinamika politik itu akan menjadi semakin panas sehingga mampu merusak persatuan dan kesatuan bangsa.

Sebagai peristiwa politik, pemilu legislatif dan pilpres memang merupakan usaha, seni, dan ilmu untuk meraih kekuasaan secara konstitusional. Warga berpartisipasi di dalamnya dengan niat untuk mewujudkan kebaikan bersama, seperti pernah dikemukakan Aristoteles. Akan tetapi, harus diingat pula bahwa dalam sejarahnya, kekuasaan itu juga bisa direbut secara nonkonstitusional.

Berbagai gejolak yang menyebabkan pilpres semakin panas telah berhasil kita lewati dengan segala dinamikanya. Diawali dengan munculnya tagar #2019GantiPresiden yang kemudian dipermasalahkan karena diikuti deklarasi di sejumlah wilayah. Menanggapi tagar tersebut, kemudian muncul tagar-tagar #Jokowi2Periode, dan tagar #TetapJokowi, diimbangi tagar #PrabowoPresiden.

Letupan "api kecil" sempat terjadi di Pekanbaru, Riau, ketika sekelompok orang menolak kedatangan Neno Warisman, anggota tim pemenangan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, ke daerah itu pada 25 Agustus 2018. Neno yang tertahan di bandara kemudian dijemput oleh kelompok orang lainnya sehingga terjadi bentrok antarkelompok sebelum polisi berhasil membubarkan mereka secara paksa.

Disusul hoaks anggota Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandiaga, Ratna Sarumpaet, yang mengaku dirinya dipukuli sejumlah orang tak dikenal, kemudian berkembang isu menyangkut ketaatan beragama dan kemampuan baca Al Quran kedua calon presiden: Joko Widodo dan Prabowo Subianto. Diramu pula dengan berita kehadiran Prabowo dalam perayaan Natal.

Menyangkut penegakan hukum, muncul wacana "kriminalisasi ulama" dan penerapan hukum yang dirasakan kurang adil. Diikuti kemudian dengan pernyataan heboh Jenderal Moeldoko, yang menyatakan kesiapan untuk melakukan "perang total".

Keheningan Nyepi
Kembali ke Nyepi, musisi Jepang kenamaan yang tinggal di Amerika Serikat, Kitaro, dalam wawancaranya dengan Desi Anwar menyebut "keheningan adalah sebuah musik". Bisakah keheningan alam Bali pada saat Nyepi kali ini menjadi "musik" untuk menggetarkan hati kita bersama agar tetap damai dalam persaingan? Terlepas dari kontroversi politik yang mengiringi, Neno Warisman telah memulai dengan puisi-doanya.

Peran umat Islam dalam dinamika persaingan politik mendekati pilpres 17 April mendatang memang sangat vital. Di samping jumlahnya yang besar, Islam juga memiliki visi besar sebagai agama rahmatan lil'alamin. Mengutip Sahal Mahfudz dalam Muktamar Sufi di Hotel Borobudur (15-17 Juli 2011), kata rahmat dalam bahasa Arab memiliki arti 'belas kasih atau welas asih'.

"Kasih sayang merupakan nilai-nilai dasar humanisme yang menjadi peranti penting untuk membangun peradaban manusia. Sebab, praktik agama Islam jika tidak didasari dengan nilai- nilai kasih sayang, dapat melahirkan sikap ekstremisme dan radikalisme yang menggunakan kekerasan.

Hal ini dapat mengotori wajah Islam yang cinta damai, berubah menjadi fitnatan lil'alamin. Kasih sayang sebagai religion values harus disebarkan sebagai nilai moral yang dapat membentuk sosok pribadi berakhlak karimah dan bermartabat yang mampu membangun peradaban dunia yang damai," ujarnya.

Kekhawatiran akan merebaknya kekerasan dalam pilpres nanti justru muncul karena peran mereka yang berubah menjadi fitnatan lil'alamin. Formalisme agama yang terkesan menegaskan perbedaan perlu dijawab dengan kebudayaan.

Mengacu Abd A'la dalam "Mufakat Budaya Indonesia", 8 Juni 2018, kebudayaan mampu menembus ruang perbedaan serta bisa menumbuhkan spiritualitas sebagai landasan substansial dalam beragama.

Karena apa pun agama dan kepercayaan seseorang, dia pasti menyembah Tuhan lewat kekhususan budayanya masing- masing. Bung Karno pernah menyatakan: "Bukan saja bangsa Indonesia ber-Tuhan, tetapi setiap orang Indonesia hendaknya ber-Tuhan. Tuhannya sendiri…. Hendaknya negara Indonesia ialah negara yang tiap-tiap orangnya dapat menyembah Tuhan-nya dengan cara yang leluasa. Segenap rakyat hendaknya ber-Tuhan secara berkebudayaan, yakni dengan tiada egoisme agama" (Asep Salahudin, Kompas, 3/9/2018).

Ada pendapat yang menyebut "Indonesia memiliki dua modal besar, yaitu agama-agama yang mengakui kebinekaan dan kemajemukan serta kesepakatan untuk hidup berdampingan bersama dengan damai".

Dua modal bangsa ini hendaklah terus dipertahankan dan dikembangkan, siapa pun yang akan melanjutkan jalannya pemerintahan setelah pilpres 17 April 2019. Mengakui kebinekaan dan kemajemukan berarti perlakuan yang sama dan adil bagi seluruh pemeluk agama. Dan, hidup berdampingan bersama dengan damai berarti saling menghormati sebagai saudara sebangsa dan setanah air.

Semoga bangsa ini selamat dan sukses melaksanakan pemilu legislatif dan Pilpres 2019 sehingga keutuhan bangsa tetap terjaga tanpa gejolak yang berarti.

Ida Rsi Waskita Sari Pendeta Hindu


Kompas, 6 Maret 2019