Cari Blog Ini

Bidvertiser

Rabu, 13 Maret 2019

Debat Cawapres//Berbasis Data (Surat Pembaca Kompas)


Debat Cawapres

Debat Pilpres 2019 telah melewati dua putaran. Debat ketiga, Minggu, 17 Maret 2019, hanya akan diikuti cawapres, tanpa capres. Temanya pendidikan, kesehatan, ketenagakerjaan, sosial, dan budaya. Tema-tema yang sangat strategis sebagai upaya menyiapkan sumber daya manusia Indonesia yang sehat, cerdas, dan kuat menghadapi tantangan.

Melalui debat ketiga, diharapkan muncul gagasan, terobosan dan solusi kreatif, yang lahir dari pemikiran-pemikiran orisinal kedua cawapres. Kebetulan sama-sama wajah baru dalam kancah kontestasi politik nasional. Tema yang diangkat sangat menarik, aktual, dan signifikan bagi penyiapan masa depan bangsa ini.

Kualitas, kapabilitas, dan kompetensi dua cawapres bakal diuji dalam menyikapi berbagai isu terutama soal pendidikan dan ketenagakerjaan, ibarat dua sisi sekeping mata uang, saling terkait dan saling memengaruhi.

Ketatnya persaingan tenaga kerja tingkat lokal maupun global berdampak pada kesiapan SDM Indonesia untuk benar-benar terampil, profesional, dan mumpuni. Semua itu mustahil didapat tanpa melalui pendidikan yang baik dan berkualitas. Pendidikan vokasi sebagai contohnya.

Tema pendidikan dan ketenagakerjaan bisa dieksploitasi dalam debat. Gagasan segar diharapkan muncul ketika mereka beradu pendapat soal kesiapan memasuki era disrupsi Revolusi Industri 4.0. Pengangguran bakal menjadi isu serius ketika industri konvensional harus beralih ke industri digital, apalagi jika dikaitkan dengan era bonus demografi 2020-2030.

Masyarakat berharap debat ketiga bukan sekadar debat lapis kedua, baik kualitas ataupun substansi. Jangan sampai menjadi debat pelengkap atau debat penggembira dalam kontestasi pilpres 2019. Semoga.

Budi Sartono
Graha Bukit Raya, Cilame, Bandung Barat


Berbasis Data

Ignatius Haryanto di akhir tulisannya di Kompas (21/2/2019) mengingatkan, memeriksa fakta adalah salah satu elemen dasar dari kemampuan melek media agar kita lebih bisa memilah informasi, terutama dalam masa kampanye pemilu saat ini yang penuh dengan informasi tidak bertanggung jawab.

Saya jadi teringat masa Agustus 1962, saat Indonesia baru memiliki sebuah stasiun televisi, TVRI. Ada juga RRI yang berperan menyiarkan peristiwa bersejarah: proklamasi kemerdekaan RI.

Tentu pada masa itu sudah ada media cetak seperti Indonesia RayaPedomanDuta Masyarakat Harian RakyatSuluh MarhaenBerita Yudha, Angkatan Bersenjata, juga ada kantor berita Antara, KNI, dan lain lain, sementara Harian Kompas baru terbit 1965.

Kini tidak terhitung jumlah media cetak, televisi, radio, dan media sosial, seperti Facebook, Twitter, yang menjadi "sumber berita" berjuta orang.

Oleh karena itu, seharusnya para paslon presiden juga hati-hati kalau melontarkan data karena sumbernya tersedia. Sebagai warga biasa saya sedih, ketika ada tudingan bahwa utang pemerintah saat ini berada dalam stadium gawat.

Ketika BJ Habibie dilantik menjadi Presiden Mei 1998, ia menerima warisan utang dari pemerintahan Soeharto Rp 551,4 triliun. Ketika Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dilantik menjadi presiden Oktober 2004, ia menerima warisan utang dari pemerintahan Megawati Rp 1.298 triliun. Sementara ketika Joko Widodo dilantik menjadi Presiden Oktober 2014, ia menerima warisan utang Rp 2.898,2 triliun dari pemerintahan SBY.

Pernyataan yang tidak berbasis data tentunya sangat disayangkan. Kita pasti tidak ingin negara kepulauan terbesar di dunia ini mengalami nasib tragis seperti Yugoslavia pada masa Presiden Josef Broz Tito. Negara kuat, kokoh, namun 20 tahun lalu pecah, cerai-berai dan berakhir menjadi beberapa negara, seperti Serbia, Kroasia, dan Kosovo.

Arifin Pasaribu
Kompleks PTHII
Kelapa Gading Timur

Jakarta Utara 14240

Kompas, 13 Maret 2019

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger