Kedua hakim konstitusi yang habis masa jabatannya pada 21 Maret 2019 itu akan terus menjabat untuk empat tahun ke depan. Pilihan aman dengan pertimbangan pragmatis guna menangani sengketa Pemilu 2019 tecermin dari pernyataan Ketua Komisi III DPR Kahar Muzakir, "Daripada memilih coba-coba dengan tantangan pemilu, kami pilih yang sudah berpengalaman saja." Hal senada disampaikan Wakil Ketua Komisi III DPR Trimedya Panjaitan.

KOMPAS/RADITYA HELABUMI

Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pengucapan putusan empat perkara pengujian undang-undang di Mahkamah Konstitusi yang dipimpin Ketua MK Anwar Usman di Gedung MK, Jakarta, Kamis (14/2/2019). Mahkamah Konstitusi dalam putusannya menolak seluruh gugatan permohonan pengujian undang-undang tentang Aparatur Sipil Negara, Sistem Pendidikan Nasional , Pendidikan Profesi, Gelar Profesi dan Asosiasi serta Perseroan Terbatas.

Pilihan DPR haruslah dihormati. Kritik publik bahwa DPR hanya mau main aman juga harus diterima. Hakim konstitusi pilihan DPR dinilai kurang berpihak pada perlindungan hak asasi manusia, kebebasan berekspresi, dan perlindungan kelompok minoritas serta kurang responsif dalam menghadapi dinamika sosial kemasyarakatan. Dengan dipilihnya kembali dua hakim konstitusi oleh DPR, kita berharap Mahkamah Konstitusi segera bersiap menghadapi berbagai sengketa pemilu.

MK seharusnya bisa lebih responsif dalam menyelesaikan sengketa konstitusional. Sebagai penjaga konstitusi dan penjaga ideologi (the guardian of ideology), MK harus bisa lebih responsif dalam menyelesaikan masalah yang menyangkut kebebasan dasar manusia, misalnya soal hak untuk memilih. MK harus berani tampil ke depan—melalui putusannya—untuk membela hak dasar warga negara berupa kebebasan berekspresi, berserikat, dan beribadah.

Sembilan hakim MK harus kembali menumbuhkan otoritas dan kewibawaan MK. Putusan MK yang bersifat final dan mengikat harus dibangun dengan dasar argumentasi hukum konstitusional serta semangat kebatinan berbangsa yang mendalam dan ditulis sendiri oleh para hakim konstitusi. Belakangan, kita mendapati ada putusan MK yang masih bisa dipertentangkan dengan putusan peradilan lain, misalnya dalam kasus persyaratan menjadi caleg untuk DPD dari partai politik. Situasi ini menambah karut-marutnya sistem ketatanegaraan kita.

KOMPAS/RADITYA HELABUMI

Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pengucapan putusan empat perkara pengujian undang-undang di Mahkamah Konstitusi yang dipimpin Ketua MK Anwar Usman di Gedung MK, Jakarta, Kamis (14/2/2019). Mahkamah Konstitusi dalam putusannya menolak seluruh gugatan permohonan pengujian undang-undang tentang Aparatur Sipil Negara, Sistem Pendidikan Nasional, Pendidikan Profesi, Gelar Profesi dan Asosiasi serta Perseroan Terbatas.

Dalam posisi ketatanegaraan yang tinggi, sebagai negarawan yang menguasai konstitusi, hakim MK seharusnya bukanlah orang biasa, tetapi orang yang sudah selesai dengan dirinya. Hakim MK haruslah orang tanpa cela dan berpegang teguh pada Sapta Karsa Hutama (kode etik hakim konstitusi).