REUTERS/ZOHRA BENSEMRA

Rakyat Aljazair melampiaskan kegembiraan di jalan-jalan setelah Presiden Abdelaziz Bouteflika mengumumkan bahwa dirinya tidak akan mencalonkan diri sebagai presiden untuk periode kelima kali di Algiers, Aljazair, Senin (11/3/2019).

Hadirnya nama Lakhdar Brahimi untuk menggantikan Presiden Abdelaziz Bouteflika belum dapat menyurutkan demonstran yang ingin perubahan cepat di Aljazair.

Kota Algiers, ibu kota Aljazair, Selasa (12/3/2019), relatif tenang setelah Abdelaziz Bouteflika (82) pada Senin malam menarik pencalonan dirinya sebagai presiden untuk periode kelima. Namun, ribuan orang dilaporkan tetap berunjuk rasa menuntut masa transisi dipercepat tidak melebihi tahun 2019 dan segera digelar pilpres. Mereka menolak keinginan Boutleflika yang akan menunda pilpres.

"Suara rakyat telah didengar. Para pemuda di jalanan telah bertindak dengan penuh tanggung jawab dan memberi citra yang baik kepada negara. Kami harus bergerak dari krisis ini ke arah konstruktif," ujar Brahimi (85) di televisi pemerintah seusai pengumuman mundurnya Bouteflika.

Setelah Minggu malam mendarat di Algiers, Senin malam Bouteflika mengumumkan pengunduran diri. Namun, dia menyatakan tetap duduk di kursi kepresidenan dan berniat menggelar konferensi nasional yang inklusif dan independen dengan tugas merancang konstitusi baru yang akan ditawarkan kepada rakyat melalui referendum.

Mantan Presiden Persatuan Mahasiswa Aljazair Malia Bouattia menulis, Bouteflika tetap berkuasa dan bergerak untuk menstabilkan situasi dalam upaya untuk menentukan apakah gerakan akan terhenti ataukah memulai tindakan represi. Ini akan menjadi pertanyaan pada minggu-minggu dan bulan-bulan mendatang.

Para demonstran menjawab, solusi yang ditawarkan Bouteflika hanyalah cara dia memperpanjang kekuasaan. Mereka menginginkan Bouteflika mundur pada 18 April 2019 tanpa harus menunggu hasil pemilu. Jika skenario itu berjalan, sesuai konstitusi, Senat akan mengambil alih dan pemilihan akan diadakan dalam waktu 90 hari.

Demonstrasi dan pemogokan massal dalam beberapa pekan di Aljazair seolah ingin menegaskan, untuk pertama kalinya rakyat Aljazair membawa masa depan kolektif mereka kembali ke tangan mereka sendiri. Militer, sebagai salah satu kekuatan politik utama di Aljazair, rupanya kurang cermat. Rakyat sudah siap berbeda pendapat untuk tidak menerima pemerintahan pilihan militer lagi.

Bouteflika seolah tak punya jalan alternatif dan mulai kehilangan dukungan penting dari tokoh "oposisi" dan Organisasi Nasional Mujahadeen, Badan Revolusi Veteran. Tokoh Front Pembebasan Nasional yang disingkirkan rezim, seperti Djamila Bouhired dan Zohra Drif, juga bergabung dengan gerakan. Saat ini tanggapan yang terlalu berat akan menandakan berakhirnya kendali militer atas negara.