Perbedaan pandangan antara Dinna Wisnu (Kompas, 26/3/2019) dan Ida Humaidah (Kompas, 28/3/2019) mengenai apakah Indo-Pasifik merupakan suatu "bahaya" atau "peluang" menarik dicermati lebih lanjut.
Kedua pandangan itu menunjukkan bahwa makna Indo-Pasifik amat subyektif. Bagi beberapa kalangan, pemakaian istilah Indo-Pasifik dapat berarti penyatuan Samudra Pasifik dengan Samudra Hindia.
Menggunakan elemen "Indo" di dalam "Indo-Pasifik" juga dapat berarti memasukkan India ke dalam arsitektur yang sebelumnya sudah terbangun di kawasan Asia-Pasifik, yang kemudian berarti perluasan kawasan. Sementara makna Indo-Pasifik juga dapat terhubung dengan beberapa nilai, seperti kawasan yang di ujung-ujungnya terletak negara yang demokratis dan menghormati prinsip-prinsip keterbukaan.
Konsep geopolitik dan virtual
Pandangan akademik klasik mengartikan geopolitik sebagai suatu bentang geografi yang nyata sehingga realitas fisik membentuk kebijakan luar negeri. Namun, perdebatan antara Dinna dan Ida menunjukkan bahwa suatu rancangan geopolitik sering kali bersifat virtual, alih-alih aktual (Tuathail & Agnew, 1992). Pemaknaannya beragam di antara penggunaan formal-akademik, dunia praktis yang melibatkan praktisi dan pengambil kebijakan, narasi populer yang tecermin dari banyak cerita, karya seni, ataupun tulisan fiksi, serta narasi-narasi kontemporer yang terbentuk di antara sistem internasional, globalisasi, informasionalisasi negara-bangsa, serta persebaran teknologi.
Sebagai suatu narasi geopolitik, penggunaan terminologi "Indo-Pasifik" saat ini sangat berkenaan dengan pernyataan deklaratif menyangkut "bagaimana dunia saat ini" sekaligus arahan "apa yang harus kita lakukan" (Tuathail, 1999). Perhatikan, misalnya, argumen Dinna bahwa inisiatif Kemlu menyelenggarakan Dialog Tingkat Tinggi untuk Kerja Sama Indo-Pasifik dilandasi pandangan "naif". Sikap ini direspons Ida sebagai "mentalitas Perang Dingin." Menurut dia, kita "harus lebih percaya diri" menatap Indo-Pasifik.
Ketiadaan pemahaman intersubyektif mengenai hakikat Indo-Pasifik ini dapat dipengaruhi beberapa hal, termasuk perbedaan sudut pandang. Meski demikian, seyogianya perbedaan pandangan ini dianggap sebagai sesuatu yang baik karena setiap pandangan geopolitik sering berisiko menyederhanakan geografi ke dalam visi tunggal yang belum tentu jitu serta kurang menghargai variasi-variasi spasial dan temporal yang sesungguhnya penting.
Dalam suatu kebijakan luar negeri, sering kali dominansi pandangan geopolitik cenderung menyederhanakan permasalahan dan mengesampingkan kejelian untuk mengamati situasi strategis yang kompleks. Ambil contoh "Balkanisasi" problematika Bosnia dulu yang erat kaitannya dengan terabaikannya masalah genosida oleh komunitas internasional karena kawasan Balkan adalah kawasan bersifat pinggiran. Indo-Pasifik yang kita bayangkan nantinya mungkin kental dengan agenda maritim. Namun, kita tak bisa mengelak bahwa perluasan ranah geografis pada gilirannya akan membuat kita, misalnya, dihadapkan pada pilihan sulit terhadap India sebagai mitra strategis vis-À-vis permasalahan Kashmir yang sewaktu-waktu dapat memantik politik identitas secara transnasional.
Memahami geopolitik sebagai suatu diskursus memang tidak dapat memberikan basis obyektif bagi pembuatan kebijakan. Meski demikian, seiring perubahan sistemik sistem internasional, penting untuk memperhatikan kesenjangan yang tercipta antara realitas aktual dan virtual. Secara faktual, kita bisa mengecek kembali bagaimana sejarah menunjukkan pola hubungan Amerika Serikat (AS) dengan kawasan di sekitar Indonesia. Dinna beranggapan inkonsistensi gagasan demokrasi dalam kebijakan AS berisiko menjadikan Indonesia dan kawasan sekitar sebagai "sasaran empuk untuk mencari gara-gara".
Sepanjang sejarah, demokrasi tidak menjadi determinasi utama hubungan AS dengan negara-negara tetangga Indonesia. Sering kali AS lebih nyaman bermitra dengan negara-negara yang memiliki kualitas kelembagaan yang matang (Kuhonta 2004) sehingga memiliki kuasa untuk secara konsisten menerapkan putusan-putusan kebijakannya ke segenap ranah dan wilayah yang mereka atur. Ini menjelaskan, misalnya, meski Filipina yang relatif demokratis adalah sekutu formal AS, sering kali Singapura menjadi mitra yang lebih andal bagi AS karena alasan infrastruktural itu. Pola hubungan yang tercipta di kawasan selama ini sebetulnya dapat memberikan batasan tersendiri bagi justifikasi kebijakan AS di kawasan.
Namun, hal ini tak membuat Indonesia dan negara-negara ASEAN lantas dapat mengandalkan hal-hal seperti tata kelola sebagai basis optimisme untuk menangkal dampak dari persaingan strategis AS dan China. Inisiatif multilateral yang disetir oleh ASEAN selama ini sering kali berangkat dari pertimbangan perimbangan kekuatan yang matang (Emmers, 2001). Capaian di masa lalu cenderung membuat ASEAN terfiksasi oleh gagasan keamanan kooperatif, di mana negara-negara di kawasan memandang keamanan tidak dengan mengeksklusi satu pihak tertentu seraya menggabungkan dimensi lain, seperti ketahanan domestik, kelestarian lingkungan, dan ketangguhan menghadapi bencana sebagai masalah-masalah keamanan.
Permasalahan utama dari optimisme akan Indo-Pasifik terletak pada cenderung terbatasnya keandalan kerja sama ekonomi bagi tujuan-tujuan strategis. Mesti diingat, persaingan bisnis saat ini untuk urusan teknologi informasi membuat kerja sama tersandung. Kecurigaan perusahaan-perusahaan AS terhadap aktivitas intelijen bisnis dari China sekaligus perlombaan memimpin teknologi 5G dan kecerdasan buatan membuat sulitnya membayangkan bahwa kalangan bisnis di AS akan mencegah Washington untuk menerapkan restriksi dan retaliasi terhadap Beijing.
Dalam kondisi ini, istilah virtual menjadi penting. Prinsip-prinsip prakarsa Menlu untuk Indo-Pasifik sangat baik dikedepankan, tetapi pilihan nama menjadi bermasalah. Terminologi Indo-Pasifik memang tak muncul baru-baru ini. Istilah ini sudah mengembara dari ranah akademik sampai ranah kebijakan bertahun-tahun. Menlu Marty Natalegawa pernah menyinggung istilah ini jauh sebelum AS mengganti Komando Asia Pasifik menjadi Komando Indo-Pasifik. Rizal Sukma menggunakan istilah Pasindo untuk merujuk batasan kawasan yang mungkin saat ini disebut sebagai Indo-Pasifik. Bahkan, visi Poros Maritim Dunia Jokowi berangkat dari visi geopolitik penyatuan dua samudra tanpa menyebut kawasan ini Indo-Pasifik.
Tak hanya di dalam negeri, skeptisisme terhadap inisiatif Indonesia juga beredar di tulisan-tulisan jurnalistik dan diskusi-diskusi trek II. Beberapa kalangan yang pro menilai prinsip-prinsip aktual yang dicanangkan Indonesia sebetulnya tak membutuhkan Indonesia secara formal menggunakan istilah Indo-Pasifik. Beberapa akademisi dari China juga cenderung curiga istilah Indo- Pasifik berhubungan dengan politik pembendungan. Apalah arti sebuah nama? Apabila suatu nama berhubungan dengan banyak gagasan, penamaan virtual menjadi politis. Untuk itu, jika ingin tetap mengusung konsepsi Indo-Pasifik, (Kemlu) memiliki pekerjaan rumah yang amat besar.
Visi Indo-Pasifik Indonesia?
Pertama, dalam kancah pertarungan geopolitik secara virtual, Menlu perlu untuk menjadi bricoleur utama yang aktif berdialog di setiap front. Penerimaan gagasan akan sangat memerlukan pusaran terminologi yang menyebar tidak hanya di tataran praktis, tetapi juga di ruang-ruang akademik, populer, sekaligus kontemporer.
Kedua, untuk menghubungkan realitas obyektif dengan virtual, diperlukan strategi di tingkatan-tingkatan yang berbeda. Direktorat Asia Pasifik dan Afrika di Kemlu dapat berubah nama menjadi Direktorat Indo-Pasifik dan Afrika untuk mengawasi apakah agenda-agenda regional yang khas dapat memecah fokus Indonesia untuk kerja sama maritim, infrastruktur, serta pembangunan berkelanjutan.
Namun, yang lebih penting, Indonesia harus sadar bahwa diplomasi belum tentu berarti strategi. Prakarsa Indo-Pasifik yang berkembang saat ini adalah prakarsa diplomatik, di mana nilai dan agendanya sangat dipengaruhi oleh apa yang sudah ada sebelumnya. Indonesia sebetulnya lebih butuh strategi Indo-Pasifik. Suatu strategi yang baik tidak dibangun dari reapropriasi prosedur dan saluran diplomasi semata, tetapi dari pembangunan prioritas. Menjadikan Indo-Pasifik sebagai prioritas kebijakan semestinya berarti bahwa Indonesia memiliki strategi baru yang mau tidak mau menjelaskan posisi dan merinci kebijakan kita terhadap hal yang paling krusial dan semakin eksplisit: persaingan antara AS dan China.
Indonesia harus lebih jeli lagi untuk mendiskusikan lebih lanjut apakah gagasan keamanan kooperatif tetap jitu di tengah persaingan siber dan teknologi. Selain itu, jika mementingkan agenda maritim, sejauh ini ASEAN belum punya koherensi dalam membangun fokus maritimnya, apalagi jika agenda ini ditempatkan dalam linkage dengan agenda infrastruktur sehingga menghambat kesatuan ASEAN untuk isu-isu maritim di kawasan, seperti Laut China Selatan dan isu perikanan ilegal. Gagasan Indo-Pasifik Indonesia memang dapat memunculkan agenda-agenda yang tak sensitif yang mendorong kelanggengan habits kooperatif, tetapi belum tentu luaran yang dihasilkan memiliki dampak strategis besar bagi kebijakan luar negeri Indonesia. Dalam konteks ini, perdebatan yang diwakili Dinna dan Ida dapat membuka jalan setidaknya bagi konsensus strategis nasional sehingga perlu diangkat secara luas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar