Cari Blog Ini

Bidvertiser

Jumat, 03 Mei 2019

ARTIKEL OPINI: Kembali ke Literasi (SAID AQIL SIROJ)


Kembali ke literasi, rasanya kata-kata yang  perlu digaungkan seusai gempita pesta demokrasi yang barusan dihelat negeri kita.

Begitu banyak pikiran, tenaga, air mata, bahkan ada darah tercecer. Luapan sukacita para pendukung atau kandidat yang lolos berimpitan dengan tragedi caleg gagal yang berakhir bunuh diri dan sejumlah petugas KPPS yang meninggal saat bekerja. Potret luapan euforia bersahutan dengan munculnya kegetiran dan fobia, buah dari masih ingarnya kegundahan, kekalutan, dan ketidakpercayaan.

Hari-hari ini selayak "hari cinta kasih" (yaumul marhamah) setelah sekian waktu berpeluh- peluh dalam perjuangan (yaumul malhamah). Gerbang memasuki  "hari kemenangan" (yaumul fath) bagi negeri kita untuk kian mengukuhkan kedamaian, persaudaraan, dan persatuan sesungguhnya momen yang harus segera dideklarasikan.  Kini saatnya pulang dan kembali pada salah satu "pilar" dalam kemajuan berbangsa, yaitu penguatan literasi.

KOMPAS/ MELATI MEWANGI
Acara Festival Literasi 2019 bertajuk 'Habis Gelap Terbitlah Terang' di Halaman Gedung Sate, Bandung, Jawa Barat, Sabtu (20/4/2019). Dalam acara ini juga dilakukan penandatanganan deklarasi literasi antara Gubernur Jawa Barat, Kepala Perpusnas RI, Kepala Kantor Bank Indonesia Provinsi Jawa Barat, dan Direktur Bank BJB.

Tantangan kian menguatnya "militansi kalap" serta meluapnya fenomena "kematian kepakaran" justru semakin membuktikan bahwa gerakan literasi yang kafahharus terus ditumbuhkan dengan penuh militan.

Paradoks milenium

Kita tak bisa menampik kalau saat ini negeri kita boleh dikata "panen" orang-orang berpendidikan dengan berbagai levelnya. Banyak di antaranya lulusan universitas bergengsi, baik dalam maupun luar negeri dengan titel mentereng dan keahlian yang tak bisa diremehkan. Bangsa kita banyak melahirkan kaum terpelajar berseiring dengan kian membaiknya kesejahteraan.

Baca Juga : Gerakan Literasi Terhambat Bahan Bacaan

Fakta ini membanggakan. Kemajuan suatu bangsa memang tak bisa dilepaskan dari kesadaran rakyatnya untuk menuntut ilmu.

Fakta lain juga menunjukkan betapa kesadaran beragama menunjukkan lonjakan masif. Rumah ibadah senantiasa penuh. Banyak yang berlomba mendirikan, misalnya, masjid dengan segala kemegahannya.

KOMPAS/ISMAIL ZAKARIA
Ratusan dai dan ulama serta warga mengikuti acara pembukaan Multaqo (Konferensi) Internasional Dai dan Ulama se-Asia Tenggara di Masjid Raya Sumatera Barat, Senin (17/7). Konferensi yang akan berlangsung di Kota Padang hingga 20 Juli mendatang itu, akan membahas berbagai topik tentang umat Islam termasuk antisipasi terhadap Radikalisme dan Terorisme.

Kesadaran beragama kemudian kerap kali dilahiriahkan dengan "identitas" berpakaian dan bertata tutur. Ini bisa kita tatapi di "dunia nyata" yang langsung bertatap muka dengan kita.  Begitu pun kalau kita lihat di "dunia maya" seperti media sosial yang riuh komentar netizen yang "agamis".

Dalil-dalil keagamaan berhamburan demi menyikapi isu yang muncul. Bahkan, celotehan dan juga makian tak jarang melampirkan ayat-ayat suci.

Sebanding dengan peningkatan pendidikan dan keberagamaan,  marak pula hoaks dan ujaran kebencian (hate speech) terlebih untuk urusan yang bersinggungan dengan politik, seperti saat Pilpres 2019. Satu penelitian menunjukkan justru di kalangan terdidik dan beragama inilah yang mudah termakan hoaks dan terbanyak melontarkan ujaran-ujaran kebencian.

Inilah "paradoks" pada era milenial yang tengah mewarnai kehidupan bermasyarakat dan berbangsa di negeri kita. Kita tentu heran mengapa ini menggelayuti kalangan yang sebenarnya diharapkan punya ketahanan (resilience) dari dentuman informasi yang saling silang.

KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO
Umat lintas agama berbincang di patung Garuda Pancasila di Gereja Katedral, Jakarta, saat kumpul menjelang buka bersama lintas agama dengan tema Menguatkan Toleransi, Persaudaraan, dan Solidaritas Kemanusiaan, Jumat (1/6/2018).

Dalam konteks beragama, lagi-lagi terlihat agama hanya diletakkan sebagai "energi" yang tidak lagi berjiwa rasional. Alih-alih mencerahkan, justru mengentalkan kekerasan dan kegaduhan. Kalau saya meminjam istilah Erich Fromm, perilaku keagamaan telah berubah otoriter dan lepas dari fungsi humanis.

Keberagamaan seperti ini mengungkapkan pula bahwa para elite agama dan kaum terpelajar belum mampu menjadi penopang bagi hidupnya demokrasi yang sehat di Indonesia. Mereka juga belum mampu menjadi penggerak literasi pada kaumnya supaya mampu "saring dan sharing" informasi bermutu dan mencerahkan.

Mereka malah mengeksploitasi "akal budi" dan keberagamaan untuk melahirkan militansi yang membuta.

Terapi literasi

Menarik cerita seorang pegiat literasi yang menghimpun para eks narapidana terorisme (napiter) lewat komunitas Rumah Daulat Buku (Rudalku) di Jakarta. Ceritanya, pada Pemilu 2019, para eks napiter begitu bergairah ikut memilih. Sebelum-sebelumnya mereka memilih golput karena masih merupakan wilayah demokrasi yang dipandang sebagai thoghut. Kali ini mereka terpanggil "memilih pemimpin" (nashbul imamah) yang dalam pandangan mereka sesuai syariat.

DOKUMENTASI MAMAN IMANULHAQ
Direktur Relawan Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi Amin, Maman Imanulhaq saat jadi pembicara dalam Dialog Lintas Agama Sasana Harjuno, Gombong Kebumen, Jawa Tengah, Sabtu (24/11/2018). Dalam kesempatan ini, dia mengajak tokoh lintas agama untuk mengampanyaken pemilu damai kepada umat masing-masing.

Mereka ikut aktif dalam kampanye, baik melalui kampanye turun di jalan maupun lewat medsos. Di medsos mereka menghamburkan segala komentar dan kiriman status (posting) untuk meyakinkan bahwa pilihannya benar-benar ideal.

Sering sekali semburan komentar dan kiriman itu bertujuan memojokkan pihak lawan dengan tuduhan-tuduhan  "bengis"  berbalut keagamaan. Dalam istilah mereka, tahdzir atau memvonis pihak lawan dengan cara keras.

Dalam kegiatan rutin yang diadakan Rudalku, mereka diajak diskusi dengan merujuk pada kitab-kitab klasik. Diskusi ini murni ilmiah tanpa ada kecenderungan partisan dari pengelola. Tema pemilu diangkat sebagai contoh untuk dikaji.

Tujuan dari kegiatan ini memang semata peningkatan literasi bagi eks napiter. Mereka diajak bertukar pikiran semisal tentang hoaks yang bermunculan dalam suasana ketegangan politik. Juga tentang cara-cara yang tidak terpuji untuk menjatuhkan lawan terlebih menggunakan ayat-ayat.

KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO
Pedagang bersama warga mengikuti acara pembagian makanan jenang sungsum di Pasar Gede, Solo, Jawa Tengah, Kamis (18/4/2019). Pembagian jenang sungsum merupakan tradisi yang biasa dilakukan untuk mengurangi rasa lelah bagi warga yang baru saja menggelar hajatan. Kegiatan itu dilaksanakan sebagai wujud syukur atas penyelenggaraan Pemilu yang lancar, aman, dan damai.

Mereka diajak untuk kembali berpikir rasional serta menyadari pentingnya akhlak dengan mencontohkan teladan yang ditunjukkan para ulama salaf (salafussholih) yang bagi mereka selalu menjadi "titik pijak" dalam pergerakan.

Setelah beberapa kali kegiatan itu, umbaran kegalakan para eks napiter ini menjadi surut. Ini terbukti dengan berkurangnya komentar dan kiriman status keras yang biasa dikirim ke medsos dan WAG.

Umbaran kegalakan para eks napiter ini menjadi surut.

Bagi pengelola, ini membuktikan bahwa gerakan literasi yang murni ilmiah mampu menurunkan tensi ekstremisme di kalangan militan dan kombatan. Sebab, mereka diajarkan bahwa untuk menerima dan menyikapi sebuah peristiwa tidak boleh secara instan, tetapi harus dilalui dengan menelaah bacaan secara utuh. Dengan begitu, akan lahir sikap yang rasional dan bijak tanpa mengumbar kebencian.

KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO
Sejumlah poster mural berisi ajakan menyukseskan Pemilu 2019 dipajang di salah satu sisi trotoar Jalan Ir H Djuanda, Bandung, Jawa Barat, Minggu (24/3/2019). Pesan dengan gambar mural yang menarik diharapkan menjadi media sosialisasi yang mencakup luas antar golongan di tengah kemajemukan masyarakat dan menjadi pesan kedamaian demi kepentingan persatuan bangsa.

Walhasil, mereka yang tercerahkan adalah mereka yang gigih kembali ke literasi. Literasi mampu membuka "saraf" ekstrem untuk dicairkan dan diluruskan kembali agar tidak mengalami penyumbatan pembuluh kesadaran kritisnya.

Inilah insan-insan berkualitas organik yang akan menabur kearifan dan kedamaian. Mereka ini pula yang akan mampu mengabdi pada kebajikan berbasis keilmuan. Dari sinilah lanskap-lanskap dan wajah masa depan Indonesia ditentukan.

Said Aqil Siroj Ketua Umum PBNU

Kompas, 3 Mei 2019

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger