Itulah yang dialami pada banyak sekolah yang menjadi korban serbuan hoaks. Hoaks kita maknai sebagai berita bohong yang sengaja disebarkan dengan niat jahat. Jadi, bukan hanya berbohong. Hoaks adalah kebohongan yang berintensi jahat. Motivasinya menghancurkan orang atau pihak lain.
Banyak sekolah akhirnya mati suri setelah dihujani hoaks. Beberapa bahkan mati. Tema hoaks yang dilontarkan pada sejumlah sekolah itu adalah tentang isu biaya yang mahal, perilaku kekerasan, dan perlakuan diskriminatif primordial. Hoaks dengan isu agama adalah yang paling efektif menghancurkan sebuah sekolah.
Sekolah adalah lembaga pendidikan. Ketika sekolah hancur, atau bahkan mati, maka hancur dan matilah pendidikan. Masygulnya, acap kali kita tak peduli dengan kehancuran atau kematian pendidikan akibat hoaks. Lebih mengerikan, para penabur hoaks pada lembaga pendidikan justru merasa mendapatkan "kemenangan" setelah aksinya sukses menghancurkan suatu lembaga pendidikan. Benarkah mereka dapat kemenangan? Ataukah mereka sedang menggelar ladang kematian?
Telah bertahun-tahun sejumlah orang sengaja menaburi masyarakat dengan hoaks bertema agama. Beberapa kelompok tak hanya menaburi hoaks dengan isu agama, tetapi juga muslihat agamis, bahkan intimidasi lewat beragam aktivitas religius.
Aksi semacam itu kini telah menuai hasilnya. Sejumlah sekolah swasta yang dikelola kelompok agama tertentu telah lumpuh. Beberapa bahkan punah meski sesungguhnya di sekolah swasta itu tak menjadikan pendidikan agama dan kegiatan keagamaan sebagai dinamika pembelajarannya. Tidakkah mencemaskan ketika hari ini seorang siswa TK dan SD sebelum menerima uluran jabat tangan bertanya dulu, "Apa agamamu?"
Saat ini pada banyak sekolah lebih terasa isu agamisnya ketimbang nasionalisnya. Para guru dan peserta didik telah terperangkap oleh mobilisasi isu-isu agama. Dinamika pembelajaran berkabut, bahkan bersekat primordial. Sekolah tak lagi menjadi rahim kehidupan yang melahirkan insan-insan berjiwa luhur laksana kertas putih bersih.
Pendidikan yang semestinya menjadi kesempatan emas membentuk diri menjadi manusia yang sesungguhnya dan sebenarnya kini telah berganti. Hari-hari ini pendidikan acap kali dijadikan upaya mencetak manusia parsial berdasarkan kepentingan primordial. Dan, yang namanya kepentingan itu sesungguhnya adalah sebuah kerapuhan hidup yang dijangkiti virus curiga, ketakutan narsistik tak beralasan, serta kebodohan.
Kalau akhir-akhir ini kita saksikan betapa bergeloranya bangsa ini, khususnya kaum muda, dimobilisasi para gladiator politis dalam gerakan kampanye hitam tak beradab dan tak bermartabat mengusung isu primordial–khususnya agama; bukankah ini juga keberhasilan dari menaburi kehidupan dengan hoaks primordial?
Menghancurkan kehidupan
Apakah ini sebuah kesuksesan besar dalam mengalahkan kelompok lain dengan taburan hoaks primordial? Jelas bukan. Tidakkah hoaks itu berjiwa jahat. Tidakkah hoaks itu yang kini disebarkan lewat alat berkecerdasan buatan telah serupa organisme berjiwa jahat, yaitu kebencian, ketakutan yang narsistik, dan hasrat menghancurkan yang lain? Ingat, jiwa itu cenderung abadi.
Mengapa kita tak belajar pada film-film yang berkisah tentang eksplorasi kecerdasan buatan? Ingatlah ketika mesin cerdas itu mencipta organisme berjiwa jahat dan memiliki kecerdasan buatan itu tak lagi mampu dikendalikan. Mereka menghancurkan kehidupan dengan sempurna. Bahkan, menghancurkan penciptanya sendiri karena ia tak lagi mampu mengendalikan karya ciptanya yang berjiwa jahat itu.
Yang sedang kita santap sehari-hari saat ini adalah kebohongan yang telah menggurita. Ia telah jadi kanker kehidupan. Kehidupan pun terasa kian menggelisahkan, bahkan mencekam. Setiap kita telah terinjeksi virus saling curiga dan tak percaya. Inilah virus paling ampuh untuk menghancurkan dan membubarkan Nusantara ini yang tertakdir hidup dalam keberagaman.
Hoaks telah terbukti melumpuhkan pendidikan. Hoaks telah menggagalkan visi dan misi pendidikan di bumi Nusantara. Karena hoaks dalam pendidikan, sekolah dan universitas telah banyak melahirkan generasi anti-keberagaman, gampang curiga, dan mudah diajak melakukan aktivitas menghancurkan. Masihkah kita lanjutkan perilaku bodoh ini dalam hidup berbangsa dan bernegara? Bagai keledai dungu, tak jerakah kita dengan kutuk divide et impera?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar