Tuduhan itu tak sepenuhnya benar, buktinya indikator capaian pendidikan kita meningkat. Skor Indeks Sumber Daya Manusia 2018 untuk komponen kualitas dan kuantitas pendidikan meningkat. Indonesia unggul dari negara-negara Asia Timur, Asia Selatan, Timur Tengah, Amerika Latin, dan Afrika, tetapi masih di bawah negara Asia Pasifik, seperti Singapura, Malaysia, Thailand, Vietnam, dan Filipina. Walaupun demikian, hasil pendidikan kita secara umum masih saja dirasa tidak memuaskan. Mengapa?

Ada beda antara pendidikan (education) dan persekolahan (schooling). Untuk menjadi terdidik, orang tak selalu harus tersekolahkan. Diskusi tentang pendidikan biasanya berkisar pada hasil atau dampak pendidikan dan meminggirkan aspek proses. Kalaupun ada, fokusnya pada topik-topik seputar kurikulum, peran guru dan orangtua, partisipasi murid di kelas, atau hal-hal lain yang dirasa penting untuk meningkatkan prestasi secara langsung. Padahal, menelisik proses manajemen investasi pemerintah di bidang pendidikan itu penting. Apakah ini perkara kebijakan atau tata kelola?

Arah kebijakan pendidikan

Pendidikan adalah hak setiap warga negara. Negara bertanggung jawab menyelenggarakan pendidikan dan menentukan arah kebijakannya. Setelah amanat Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 agar 20 persen APBN dialokasikan untuk pendidikan, beberapa pekerjaan di "dapur" layanan pendidikan menunjukkan adanya perubahan penting meski tak banyak diketahui umum.

Misalnya, kebijakan untuk mendorong proses belajar mandiri semenjak dini. Ini hulu persoalan pendidikan yang dampaknya kita hadapi di hilir. Dua indikator yang sering dirujuk, Trends in International Mathematics and Science Study
(TIMSS) dan Programme for International Student Assessment (PISA), mencerminkan kemampuan belajar siswa. Keduanya memang menempatkan Indonesia pada posisi tak terlalu membanggakan, tapi bukan itu soalnya. Karena kedua indikator berorientasi pada hasil pendidikan, saya mencari indikator yang lebih mendasar, lebih universal, dan berorientasi pada proses, yakni rata-rata waktu membaca orang dewasa per minggu. Indikator ini penting mengingat bahwa ilmu yang didapatkan secara mandiri lazimnya dari membaca buku.

World Culture Score Index 2015 menunjukkan, di negara yang indeks SDM-nya di atas Indonesia, orang dewasa memiliki rata-rata waktu membaca per minggu lebih banyak. Membaca penting karena terkait logika dasar. Membaca amat ditentukan kebiasaan dan sejak kapan kebiasaan ditanamkan. Semakin dini dan sering, akan kian bagus. Di Indonesia, peran pemerintah untuk membiasakan membaca secara mandiri ternyata selama ini lemah.

Survei BPS menunjukkan, pada 2013 akses ke fasilitas pendidikan anak usia dini (PAUD) hanya 27 persen. Artinya, 27 dari 100 anak memang memiliki akses ke PAUD, tetapi tak selalu berarti mereka dididik di sana. Angka ini menunjukkan intervensi pemerintah saat itu pada akses membaca, kebiasaan membaca, dan substansi pendidikan, terbatas.

Survei Bank Dunia 2018 menunjukkan akses PAUD mencapai 73 persen. Kenaikan signifikan selama lima tahun ini disebabkan investasi pemerintah yang sejak 2015 gencar membangun infrastruktur PAUD. Hingga saat ini sudah terbangun lebih dari 20.000 unit. Artinya, ada perbaikan akses ke fasilitas PAUD meski belum berarti kurikulum dan pengajar sudah memiliki kompetensi sebagaimana seharusnya.

Arah kebijakan pembangunan pendidikan lewat PAUD sudah berada di jalan yang benar. Pendidikan usia dini di masa pertumbuhan (usia emas 0-5 tahun) sangat penting dalam menunjang pembentukan mental, karakter, dan daya pikir anak, termasuk kebiasaan membaca. Tingginya rata-rata waktu membaca mencerminkan inisiatif mandiri individu menambah ilmu, merangsang kematangan, dan kritis berpikir. Ini dapat terwujud jika kebiasaan membaca dimulai sejak dini dan akses pada fasilitas untuk membaca diwujudkan. Lewat PAUD, negara hadir memenuhi hak warga negara untuk pendidikan dan membangun masa depan bangsa.

Tata kelola guru

Aspek kedua, tata kelola. Apa yang berantakan dan terbaca di ruang publik sering kali bukanlah karena arah kebijakan, melainkan semrawutnya tata kelola. Bahkan, arena tata kelola itu lantas jadi amat rentan dipolitisasi. Misalnya, guru.

Kualitas guru amat memengaruhi kualitas siswa dan hasil pendidikan. Peran guru, kata Ki Hadjar Dewantara, adalah Ing ngarsa, sung tuladha; ing madya, mangun karsa; tut wuri, handayani. Guru seharusnya bisa digugu dan ditiru. Sayangnya, tata kelolanya cenderung diabaikan. Yang sering diperdebatkan adalah soal pendidikan, penguatan profesi, kompetensi, dan sertifikasi. Padahal, satu hal terpenting yang harus dikaji adalah perekrutan.

Data menunjukkan, perekrutan guru meningkat drastis di daerah seputar pilkada pada 2005-2013 (Bank Dunia, 2014). Data ini mengukuhkan dugaan politisasi perekrutan guru selama ini. Mengapa profesi guru rentan jadi arena pemenuhan imbal jasa politik, khususnya di daerah? Dugaan cukup kuat tetapi masuk akal karena sejak adanya tunjangan profesi guru, rata-rata pendapatan guru lebih tinggi dari sektor lain. Selain itu, janji politik pengangkatan para guru yang sebagian besar, atau malah semuanya honorer ini, menjadi PNS. Padahal, itu di luar kewenangan daerah.

Seandainya lonjakan perekrutan guru dibarengi kualifikasi yang layak, sebenarnya tak jadi soal. Faktanya tak demikian. Berbagai kasus menguatkan dugaan bahwa perekrutan tak dilakukan berdasarkan kompetensi, tetapi politis. Permasalahan kian terlihat ketika yang direkrut justru tak ditempatkan di sekolah sebagai pengajar. Atau direkrut jadi guru, tetapi tak punya kompetensi dasar sebagai guru. Padahal, UU No 14/2005 tentang Guru dan Dosen mengamanatkan guru setidaknya berpendidikan D4 dan memegang sertifikat dari Pendidikan Profesi Guru (PPG).

Ini berarti terjadi inefisiensi belanja negara: pengeluaran untuk SDM pendidikan membengkak, tetapi tak disertai meningkatnya kualitas layanan pendidikan. Akibatnya, sekolah dipaksa merekrut guru honorer untuk mengajar dengan pendanaan sendiri dari bantuan operasional sekolah (BOS), yang memang diniatkan untuk bantu inovasi dan memberikan layanan pendidikan di sekolah.

Empat tahun terakhir, pemerintah mencoba berbenah. Pertama, pembenahan data pendidikan pada dan lintas kementerian/lembaga. Terungkap fakta jumlah guru sebenarnya lebih dari cukup. Dalam kurun waktu 2012-2017 guru yang dihasilkan lembaga pendidikan tenaga kependidikan (LPTK) 1,94 juta. Saat ini kita memproduksi lebih dari 240.000 guru per tahun, padahal kebutuhannya sekitar 40.000. Mereka juga tak terdistribusi merata dan bersertifikat. Situasi ini cermin mismanajemen tata kelola guru. Pendidikan tinggi keguruan seharusnya berinovasi agar sarjananya juga bisa jadi guru; sedangkan PPG harus ditingkatkan kapasitas dan kualitasnya.

Kedua, pembenahan tata kelola anggaran pendidikan. Lebih dari 63 persen anggaran pendidikan yang 20 persen APBN merupakan transfer daerah yang tak selalu bisa dimonitor penggunaannya. Padahal, pemda punya tanggung jawab menjalankan fungsi pendidikan. Neraca pendidikan daerah (NPD) salah satu cara mengejar tanggung jawab ini. Jadi, bagaimana menangani dan mengawasi tata kelola guru ini?

Saat ini sudah ada pengawas sekolah serta lembaga penjamin mutu pendidikan (LPMP) yang mengawasi guru dan sekolah. Namun, belum optimal karena keterbatasan kapasitas. Ada setidaknya empat kementerian terlibat: Dikbud, Kemenag, Ristek dan Dikti, serta PAN-RB. Banyaknya kementerian yang terlibat tak selalu menguntungkan, malah sering menyulitkan. Contohnya, untuk pelatihan guru, Kemdikbud serta Kemristek dan Dikti harus berbagi tugas dan ini sering mempersulit pelaksanaan serta pengawasan.

Apa artinya? Selama ini tidak ada mekanisme efektif untuk mengawasi investasi pemerintah terhadap guru, sekolah, dan layanan pendidikan. Dan, jelaslah ini bukan perkara arah kebijakan, melainkan tata kelola.

Pembenahan oleh pemerintah mesti menyasar proses bisnis tata kelola guru dan tenaga kependidikan. Misalnya, moratorium pengangkatan guru PNS, larangan perekrutan guru honorer menjelang dan sesudah pilkada dengan janji di-PNS- kan, hingga pembenahan data guru dalam formulasi transfer dana alokasi umum.

Perlu dipahami upaya menilik arah kebijakan dan membenahi tata kelola sektor pendidikan ini suatu proses yang hasilnya tak segera tampak. Pembenahan baru terjadi empat tahun terakhir ini. Jika konsisten diteruskan, hasil signifikan mungkin baru terasa setelah lima tahun, sedangkan dampaknya mungkin setelah 10 tahun atau malah lebih.

Penyelenggaraan sistem pendidikan memang tanggung jawab pemerintah. Namun, keberhasilannya tanggung jawab bersama. Masa depan dunia terletak di tangan mereka yang terdidik baik. Lewat pendidikan, manusia membentuk arah sejarah. Keyakinan ini harus terus kita rawat. Pendidikan harus dikawal kebijakan dan tata kelolanya karena ia menentukan kualitas keadaban publik (public civility). Hanya melalui pendidikan, anak-anak kita, atau anak-anak mereka, akan membentuk arah sejarah dan masa depan bangsa besar ini.