Defisit ini telah ditambal dengan dana yang bersumber dari APBN setiap tahun. Masalah ini dapat teguran keras dari Presiden Joko Widodo yang tak menghendaki terulangnya defisit itu di masa mendatang. Menteri Keuangan baru-baru ini mengakui dalam waktu dekat akan diterbitkan aturan perbaikan, termasuk kenaikan iuran yang merupakan langkah lebih berkesinambungan (sustainable).
Dalam konteks perasuransian, kinerja keuangan BPJS berada di posisi tak sehat karena hasil underwriting selalu negatif alias defisit. Tambahan pendapatan untuk menambal defisit yang lazimnya berasal dari hasil investasi dapat dikatakan nihil.
Berdasarkan ketentuan perundangan, dana yang dikelola badan penyelenggara terdiri atas dua jenis: dana badan penyelenggara dan dana jaminan sosial. Sejak 2014 (awal pendirian) sampai 2017, dana jaminan sosial kesehatan mengalami insolvabilitas yang kian parah akibat hasil underwriting minus.
Hasil audit laporan keuangan menunjukkan rasio yang terus menurun dari 56,63 persen (2014) dan di 2017 turun drastis menjadi hanya 5 persen. Otoritas Jasa Keuangan sebagai regulator dan pengawas lembaga jasa keuangan, termasuk mengawasi kedua BPJS, telah menerbitkan Peraturan OJK No 71/2016.
Merujuk pada aturan ini, BPJS Kesehatan berada di posisi insolvent sehingga mutlak perlu upaya penyehatan. Pembiaran atas defisit mengakibatkan efek domino pada semua mitra penyelenggara (PPK), terutama rumah sakit dan perusahaan farmasi.
Bagi mereka yang terkena imbas terlambatnya pelunasan tagihan kepada BPJS, hal itu telah memengaruhi likuiditas dan mutu pelayanan yang pada gilirannya akan berdampak pada para peserta JKN.
Di sisi lain, Pasal 48 UU SJSN menyatakan bahwa "Pemerintah dapat melakukan tindakan-tindakan khusus guna menjamin terpeliharanya tingkat kesehatan keuangan badan penyelenggara."
Dalam praktik penyelenggaraan usaha perasuransian, solusi atas defisit dapat ditempuh beberapa langkah, antara lain: (1) menaikkan premi/iuran, termasuk mengupayakan pendapatan lain-lain yang anorganik, (2) menekan pengeluaran, baik pembayaran klaim maupun efisiensi menyeluruh, (3) memperbaiki berbagai mekanisme yang berada dalam kendali manajemen perusahaan, seperti agresivitas penagihan, mempersempit cakupan (coverage) risiko yang dijamin, melakukan factoring atas tagihan kepada pihak lain untuk memperbaiki kondisi likuiditas dan lain-lain, (4) kalau upaya di atas dalam waktu tertentu tak menghasilkan perbaikan atau masih tetap defisit, perlu suntikan dari pemegang saham perusahaan, baik dalam bentuk tambahan modal disetor maupun pinjaman subordinasi tanpa bunga ataupun talangan (bailout) pemerintah.
Selama ini tingkat kesehatan keuangan BPJS Kesehatan berada pada kondisi lampu merah. Pasal 38 Ayat 1 Peraturan Pemerintah No 87/2013 tentang Pengelolaan Aset Dana Jaminan Kesehatan menyatakan, "Dalam hal aset dana jaminan kesehatan bernilai negatif, pemerintah dapat melakukan tindakan khusus", sejalan Pasal 48 UU SJSN.
Ayat 2 juga menyatakan, "Tindakan khusus sebagaimana dimaksud pada Ayat 1 paling sedikit dilakukan melalui: (1) penyesuaian besaran iuran, (2) pemberian suntikan dana tambahan untuk kecukupan dana jaminan sosial kesehatan, (3) penyesuaian manfaat.
Efisiensi internal
Ketiga tindakan di atas harus sesuai ketentuan perundang- undangan berlaku. Dengan demikian, secara normatif, ketiga langkah itu sah untuk dilakukan. Perlu dicatat, penetapan besarnya iuran tak dilakukan oleh badan penyelenggara, tetapi ditetapkan oleh pemerintah melalui peraturan presiden, termasuk besarnya iuran bagi penerima bantuan iuran (PBI).
Merujuk pada common practices di atas dan PP No 87/2013, pilihan solusi terbaik yang dapat dilakukan BPJS Kesehatan adalah peningkatan efisiensi internal seoptimal mungkin.
Misalnya, efektivitas penagihan iuran, pengelolaan arus kas sedemikian rupa sehingga masih tersedia dana untuk diinvestasikan, mengupayakan pendapatan "nonorganik" seperti "menjual data" statistik penyakit, statistik penggunaan obat kepada pihak ketiga, dan lain-lain.
Setelah melakukan review menyeluruh bersama Dewan Pengawas plus Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN), manajemen BPJS secepatnya mengusulkan beberapa hal, semisal kenaikan iuran untuk peserta penerima upah dan menaikkan plafon upah yang saat ini besarnya Rp 8 juta per bulan sebagai dasar penetapan iuran bulanan.
Dalam jangka pendek, penulis tak menyarankan kenaikan iuran bagi bukan penerima upah ataupun bagi peserta yang bukan pekerja agar tak menambah beban mereka saat ini. Usulan besaran penerima bantuan iuran sebaiknya disampaikan kepada pemerintah dari Rp 23.000 per kepala per bulan minimal menjadi Rp 36.000 sesuai hasil perhitungan aktuaria DJSN.
Usulan ini cukup rasional setelah tiga tahun menggunakan ketentuan lama sejak 2016 dan dapat diberlakukan mulai awal 2019 dengan mengubah/amendemen isi Pasal 29 Perpres No 82/2018 tanggal 18 September 2018 tentang Jaminan Kesehatan.
Rekomendasi di atas tak perlu waktu terlalu lama untuk menyesuaikan besaran iuran PBI seperti dalam Pasal 29 perpres di atas. Pembenahan secara menyeluruh (holistic) sebagai solusi jangka panjang perlu dilakukan yang memerlukan waktu lebih lama di atas satu tahun agar penyelenggaraan JKN oleh BPJS Kesehatan lebih berkesinambungan.
Tindakan awal yang wajib dilakukan adalah melakukan audit manajemen oleh BPK. Semua usulan di atas harapannya akan membantu kondisi kesehatan keuangan BPJS Kesehatan sehingga benar-benar sehat dan menjaga going concern penyelenggara. Akhir kata, negara harus menjamin terciptanya kondisi "Rakyat Sehat Negara Kuat", paling lambat pada 2030.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar