Pada awal 2019 ini masyarakat konsumen industri penerbangan dikagetkan dengan kenaikan harga tiket pesawat terbang yang sangat tinggi secara bersamaan di hampir semua maskapai.

Tidak tanggung-tanggung, kenaikan harga tiket pesawat tersebut sampai menyentuh angka 70 persen. Oleh karena itu, sangat wajar jika kenaikan harga ini menjadi bola panas dalam ranah diskusi publik.

Sampai saat ini perdebatan mengenai kenaikan tarif tersebut belum sepenuhnya selesai meski pemerintah bersama beberapa maskapai telah memberikan respons terkait kenaikan tarif ini. Kenaikan avtur sempat disinyalir menjadi penyebab utama dari kenaikan harga tiket pesawat yang sangat tinggi ini, mengingat komponen harga avtur bisa mencapai 40 persen dari total biaya. Namun, tingginya harga avtur ini tidak bisa menjawab alasan di balik dinamika kenaikan harga tiket karena kenaikan harga tiket pesawat terjadi ketika harga avtur sedang mengalami penurunan.

Pada akhirnya beberapa maskapai mencoba meredam gelombang protes ini dengan menurunkan tarif 20 persen dari kenaikan awal yang mencapai 70 persen sehingga kenaikan tarif efektif tiket pesawat menjadi sekitar 50 persen. Meski demikian, fenomena kenaikan tarif pesawat terbang ini masih menyisakan beberapa pertanyaan mendasar yang belum sepenuhnya terjawab sampai saat ini. Apa yang sesungguhnya terjadi dalam industri penerbangan nasional?

Babak baru

Sejatinya pasca-keputusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) tahun 2000-an silam terkait penghapusan batas atas dan batas bawah tarif pesawat terbang, industri penerbangan nasional telah memasuki babak baru. Industri penerbangan nasional telah diarahkan untuk bersaing secara kompetitif sehingga tercipta kinerja yang efisien dari tiap-tiap maskapai. Langkah ini dinilai sangat efektif karena pasca-keputusan tersebut muncul maskapai-maskapai yang menawarkan penerbangan jenis low cost carrier (LCC) dengan harga tiket pesawat yang jauh lebih murah.

Pasca-keputusan KPPU dan munculnya berbagai jenis penerbangan LCC, industri penerbangan tumbuh sangat pesat. Hal ini terlihat dari bertambahnya lalu lintas perjalanan udara yang sangat cepat. Pada tahun 2003, lalu lintas perjalanan udara masih berada di bawah 400.000, tetapi pada akhir 2017 lalu lintas perjalanan udara sudah hampir menembus angka satu juta perjalanan. Dengan kata lain, lalu lintas perjalanan udara bertambah sekitar 40.000 setiap tahun.

Terkonsentrasi

Namun, seiring dengan perkembangan industri penerbangan nasional, pelaku industri penerbangan saat ini mulai terkonsentrasi pada beberapa maskapai saja. Pada 2005, penguasaan pasar industri penerbangan nasional masih relatif tersebar walaupun beberapa maskapai besar memiliki penguasaan pasar yang lebih besar.

Menurut catatan CAPA-Centre for Aviation & Indonesia DGAC, pada tahun 2005 pangsa pasar industri penerbangan nasional dikuasai oleh Garuda Group (24 persen), Lion Group (25 persen), Sriwijaya Group (8 persen), Air Asia (2 persen), dan lainnya (41 persen). Pada akhir 2017, penguasaan pasar ini hampir berubah total menjadi Lion Group (50 persen), Garuda Group (33 persen), Sriwijaya Group (13 persen), Air Asia (2 persen), dan lainnya (2 persen).

Bahkan, pada akhir 2018 pangsa pasar industri penerbangan Indonesia praktis hanya dikuasai oleh dua kelompok setelah Garuda Group mengambil alih pengelolaan operasional Sriwijaya Group.

Tingkat konsentrasi pasar industri penerbangan yang hanya mengerucut pada dua kelompok maskapai menjadi indikasi kuat adanya perubahan struktur pasar dari yang awalnya oligopoli menjadi duopoli. Penguasaan pasar yang menyisakan 2 persen bagi Air Asia dan 2 persen bagi maskapai lain menjadikan Air Asia dan maskapai-maskapai lain tidak memiliki kekuatan dalam memengaruhi harga di pasar industri penerbangan. Mereka hanya akan menjadi follower di tengah hegemoni kedua penguasa pasar tersebut.

Jika meminjam analisis dari teori Industrial Organization (IO), perubahan struktur pasar dalam industri penerbangan ini akan berdampak pada perilaku persaingan, termasuk penentuan harga dari setiap maskapai.

Duopoli dan perilaku persaingan

Struktur pasar duopoli menyediakan dua alternatif perilaku persaingan bagi para pelakunya, yaitu berkompetisi dan berkoalisi. Bagi pelaku industri, perilaku berkoalisi biasanya menawarkan tingkat keuntungan lebih besar dibandingkan dengan perilaku berkompetisi. Namun, di beberapa negara, termasuk di Indonesia, perilaku berkoalisi ini dilarang karena bertentangan dengan prinsip persaingan usaha yang sehat. Bahkan, Indonesia sudah memiliki UU antimonopoli sekaligus lembaga pengawasnya (KPPU).

Oleh karena itu, walaupun struktur pasar dalam suatu industri mengarah ke oligopoli dan duopoli, perilaku perusahaan diharapkan dapat tetap saling berkompetisi sehingga tercipta harga yang paling efisien dan meningkatkan daya saing industri secara keseluruhan. Dalam perilaku yang saling berkompetisi, struktur pasar duopoli akan menciptakan dua pelaku utama, yaitu pelaku yang berperan sebagai penentu (leader) dan pelaku yang berperan sebagai pengikut (follower).

Perusahaan penentu biasanya adalah penguasa pasar yang menentukan kebijakan harga terlebih dahulu. Sedangkan perusahaan pengikut adalah perusahaan yang menentukan harga setelah perusahaan penentu menentukan kebijakan harga. Jika mengacu pada konsep ini, dalam pasar duopoli tidak akan tercipta keserasian/homogenitas harga dalam waktu bersamaan.

Menariknya, dalam industri penerbangan Indonesia di pangsa pasar penerbangan LCC, Lion Air yang memiliki kekuatan untuk menentukan harga terlebih dulu tidak menjadi penentu, justru Citilink yang menaikkan harga terlebih dahulu. Hal yang sama terjadi di full service carrier (FSC). Batik Air yang seharusnya menjadi maskapai follower malah menjadi maskapai pertama yang menaikkan harga. Hal ini tentunya menimbulkan pertanyaan besar bagi konsumen industri penerbangan, benarkah ada indikasi kartel dalam industri penerbangan Indonesia?

Fenomena kenaikan harga tiket kesawat ini seharusnya bisa menjadi pintu masuk bagi KPPU untuk melakukan investigasi lebih lanjut apakah memang terdapat oligopoli kolusif (collusive oligopoly) dalam industri penerbangan di Tanah Air. Sampai saat ini belum ada kesimpulan yang kuat apakah terjadi oligopoli kolusif dalam industri penerbangan kita. Padahal, keseragaman harga dan pola perilaku pengambilan keputusan menjadi indikasi awal dari absennya persaingan. Keseragaman harga dapat menimbulkan keuntungan (return) abnormal yang bisa dinikmati oleh semua maskapai jika semua maskapai melakukan kesepakatan harga.

Fenomena oligopoli kolusif tak boleh terjadi di seluruh sektor perekonomian, termasuk di industri penerbangan. Fenomena oligopoli kolusif akan merugikan konsumen dan tentunya akan mendorong adanya inefisiensi yang sangat besar dalam industri penerbangan. Inefisiensi ini pada akhirnya akan berakibat pada ekonomi biaya tinggi yang berujung pada penurunan daya saing produk-produk industri.

Untuk menghilangkan oligopoli kolusif, pemerintah tak bisa menyerahkannya kepada mekanisme pasar. Pasar tidak bisa memperbaiki fenomena oligopoli kolusif dalam waktu singkat. Oleh karena itu, diperlukan kebijakan afirmatif dari pemerintah untuk mendorong persaingan sehat di seluruh sektor ekonomi, termasuk di sektor-sektor yang dikuasai perusahaan-perusahaan pelat merah milik pemerintah. Pemerintah wajib menciptakan persaingan sehat untuk menciptakan efisiensi ekonomi sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan.