Rubrik Sosok di Kompas (10/4/2019) berjudul "Farida Alawi, Grameen Bank dari Banten", mengisahkan kiprah Farida yang berhasil mengembangkan koperasi.
Ketika mengusulkan pembentukan lembaga keuangan mikro (LKM) di desa-desa, dia ditertawakan dan dikomentari: "KUD saja gulung tikar…." Bahkan, camat berani potong kuping kalau berhasil.
Namun, berkat kegigihannya, Farida berhasil mengembangkan dua model LKM: Lembaga Perkreditan Kecamatan (LPK) dan Lembaga Pembiayaan Pengembangan (LPP) UMKM di 17 kecamatan dengan dana awal Rp 250 juta. Dari kedua model LKM itu dibentuklah Koperasi Benteng Mikro Indonesia (BMI) pada 2013, yang berkembang dengan jumlah simpanan Rp 12 miliar dan aset Rp 300 miliar, di samping Koperasi Abdi Kerta Raharja (AKR) dengan 36.350 anggota dengan aset Rp 82 miliar.
Orang skeptis akibat kegagalan KUD, padahal itu karena gagasan KUD datang dari atas (pemerintah) bukan tumbuh dari prakarsa masyarakat. KUD yang dimanjakan dengan segala macam bantuan malah tidak mandiri.
Kiprah Farida terinspirasi dari Grameen Bank. Menurut saya, ada perbedaan antara koperasi dan Grameen Bank: anggota Grameen Bank orang miskin, ikatan sosial erat, homogen (usia/jender/pendidikan), menabung dulu pinjam belakangan, kelompok kecil dengan anggota masing-masing 5 orang, dan disiplin pertemuan mingguan.
Prinsip itu diterapkan dengan konsekuensi seleksi nasabah berdasarkan indikator kemiskinan, diikuti pertemuan mingguan untuk menyeleksi lagi calon anggota dan membina ikatan pemersatu. Pada koperasi prinsip ikatan sosial tidak ditegakkan, UU Koperasi menyebutkan, dasar keanggotaan adalah kesamaan kepentingan ekonomi, tetapi siapa saja bisa menjadi anggota.
Karena itu, satu hal yang krusial bagi Koperasi AKR adalah pengawasan eksternal yang kuat mengingat jumlah anggotanya lebih dari 36.000, sedangkan pengawasan oleh otoritas koperasi di mana pun di dunia lemah.
Seandainya ada yang mau belajar sedikit mengenai keuangan mikro, saya juga mengirim buku saya, Keuangan Mikro di Indonesia, ke Litbang Kompas.
SUMANTORO MARTOWIJOYO
Pemerhati Keuangan Mikro,
Jl Daksa I, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan
Penumpang di Stasiun
Mengamati sedikitnya jumlah penumpang kereta api khusus jurusan Bandara Soekarno-Hatta dari Stasiun Bekasi, saya menyayangkan adanya diskriminasi bagi para calon penumpang.
Para calon penumpang kereta khusus bandara mendapat keistimewaan fasilitas ruang tunggu. Tempatnya di dalam gedung stasiun dan berpenyejuk udara. Jumlah kursinya pun lebih dari cukup karena jumlah calon penumpang tidak banyak.
Sebaliknya, para penumpang KRL komuter ataupun kereta api ekonomi dan eksekutif antarkota selalu berjubel setiap hari. Namun, ruang tunggu para calon penumpang kereta api ada di tempat terbuka, walau tetap dilindungi atap.
Lokasinya pun kurang nyaman sebab posisinya di antara dua rel yang aktif dilintasi kereta api. Para calon penumpang harus menutup telinga setiap ada rangkaian kereta yang melintas.
Sebagai calon penumpang yang sering menggunakan ruang tunggu tersebut, saya merasa ada perbedaan perlakuan dan pelayanan yang kurang adil dibandingkan dengan calon penumpang KA bandara.
Karena itu, untuk menambah sedikit kenyamanan penumpang non-bandara, saya mohon kepada PT KAI agar bisa lebih merapikan lantai ruang tunggu, selalu menjaga kebersihan, serta melapisi jok kursi dan tangan kursi dengan busa. Sebab, duduk lama di atas kursi berbahan logam (besi) sungguh tidak nyaman.
A RISTANTO
Jatimakmur, Pondokgede,
Kota Bekasi, Jawa Barat
Kompas, 2 Mei 2019
Tidak ada komentar:
Posting Komentar