Saat ini tugas itu terkendala oleh adanya perubahan mekanisme bantuan pangan ke masyarakat yang semula dalam bentuk beras berubah menjadi dalam bentuk transfer langsung kepada keluarga penerima manfaat (KPM). Perubahan mekanisme penyaluran bantuan pangan tersebut sangat berpengaruh terhadap kinerja penyaluran beras pemerintah. Kanal penyaluran yang semakin sempit mengakibatkan stok beras pemerintah menumpuk di gudang-gudang Bulog.
Realisasi penyaluran beras untuk masyarakat prasejahtera tahun 2018 hanya mencapai 1,20 juta ton, jauh di bawah realisasi 2017 (2,54 juta ton), apalagi 2016 (2,78 juta ton). Januari-April 2019, Bulog hanya diberi tugas menyalurkan sekitar 213.000 ton (Kompas, 15/2).
Banyak kalangan telah memprediksi ini akan terjadi saat program Bantuan Pangan Nontunai (BPNT) mulai digulirkan pemerintah. Seperti kita ketahui pada awal 2017, pemerintah resmi meluncurkan program BPNT di 44 kota di seluruh Indonesia. Program itu transformasi dari program beras untuk warga miskin (raskin) atau program beras sejahtera (rastra). Tujuan program raskin/rastra dan BPNT sebenarnya sama: mengurangi beban pengeluaran kelompok sasaran lewat pemenuhan sebagian kebutuhan pangan.
Program raskin/rastra juga ditujukan meningkatkan akses masyarakat berpendapatan rendah dalam pemenuhan kebutuhan pangan pokok. Studi Benny Rachman dkk (2018), kontribusi beras BPNT terhadap kebutuhan beras KPM hanya 25-34 persen.
Meredam inflasi
Menyempitnya kanal penyaluran cadangan beras pemerintah tidak hanya berdampak terhadap menumpuknya stok beras di gudang Bulog, tetapi juga sangat berpengaruh terhadap kinerja Bulog dalam penyerapan gabah/beras petani. Sebelum program BPNT ini digulirkan, rata-rata prognosis pengadaan Bulog terhadap beras petani mencapai 2,8 juta ton per tahun.
Terlepas dari berbagai permasalahan yang ada, jujur kita mengakui bahwa program raskin/rastra yang telah berjalan lebih dari 18 tahun ini sangat bermanfaat dalam menjaga stabilitas harga beras. Program raskin/rastra terbukti sangat ampuh dalam meredam gejolak inflasi yang terjadi.
Beberapa tahun terakhir, inflasi di negeri ini lebih banyak dipicu fluktuasi harga kelompok pangan bergejolak (volatile foods) seperti beras. Untuk menjinakkan gejolak harga beras, penyaluran raskin/rastra lebih efektif dibandingkan dengan instrumen operasi pasar (OP). Hal itu disebabkan penyaluran raskin/rastra dapat menjangkau sasaran yang sangat luas, meliputi tidak kurang dari 15 juta rumah tangga sasaran (RTS). Volume raskin/rastra per tahun sekitar 2,7 ton. Ditambah dengan harga tebus yang terjangkau daya beli warga miskin membuat harga beras di pasaran stabil selama satu dasawarsa terakhir.
Manfaat lain dari program raskin/rastra yang tak kalah penting adalah sebagai kanal penyaluran cadangan beras pemerintah yang diperoleh dari hasil pengadaan gabah/beras petani. Inpres Nomor 5 Tahun 2015 telah memberikan jaminan kepada petani dalam menjual gabah/beras hasil panen mereka melalui mekanisme harga pembelian pemerintah (HPP). Melalui mekanisme inilah petani akan terlindungi dari kejatuhan harga, terutama saat panen raya. Nah, barangkali manfaat inilah yang luput dari pertimbangan para penentu kebijakan saat memutuskan program BPNT.
Kanal alternatif
Untuk mengatasi kebuntuan yang saat ini dihadapi pemerintah dalam penyaluran cadangan beras pemerintah, ada beberapa alternatif kanal penyaluran yang dapat ditempuh, antara lain melalui penyaluran golongan anggaran, yaitu dengan memberikan tunjangan beras bagi PNS/TNI/Polri yang selama ini disalurkan dalam bentuk uang sebagai komponen dari gaji bulanan.
Semua PNS/TNI/Polri beserta anak dan istrinya yang sudah bertugas sejak masa Orde Baru pasti pernah menerima jatah beras dari pemerintah setiap bulan. Dengan berbagai pertimbangan, kebijakan itu dihentikan dan tunjangan beras tersebut diberikan dalam bentuk uang (saat ini besarnya adalah Rp 72.420 per jiwa/bulan).
Jumlah total PNS di Indonesia 4,37 juta orang. Jika diasumsikan jumlah yang menjadi tanggungan negara dari setiap PNS hanya istri/suami (rata-rata dua orang, tanpa anak), jumlah beras yang bisa disalurkan melalui golongan anggaran ini tidak kurang dari 0,87 juta ton per bulan atau sekitar 10 juta ton per tahun. Nominal yang sangat cukup untuk menggairahkan kembali usaha tani padi dan usaha di bidang perberasan.
Upaya lain yang dapat ditempuh adalah dengan program yang lebih bernuansa pemberdayaan masyarakat. Salah satu alternatifnya, padat karya pangan (PKP). Para buruh tani, para penganggur, dan sejenisnya dapat bekerja memperbaiki sarana infrastruktur di perdesaan, seperti saluran irigasi, jalan usaha tani, jalan desa, dan sarana infrastruktur lain sejenis dengan upah beras. Kenyataan dalam praktik, meskipun harga tebus raskin Rp 1.600 per kilogram, banyak warga yang betul-betul miskin tidak mempunyai akses untuk membeli. Akhirnya beras itu pun jatuh ke tangan penduduk yang mampu menebus dengan uang kontan.
Dalam program padat karya pangan, penduduk miskin hanya bermodalkan tenaga untuk dapat upah beras. Melalui cara seperti ini kelompok sasaran akan lebih terseleksi dan tepat sasaran karena warga yang tergolong kaya tak akan menyerobot hak warga miskin. Lebih jauh lagi, nilai manfaat program ini akan sangat dirasakan semua warga masyarakat baik yang tergolong miskin maupun mampu. Apalagi jika beras itu pengadaannya dari beras petani setempat, bukan dari impor.
Para pakar sosial ekonomi memprediksi beras tetap akan menjadi sumber pangan pokok penduduk Indonesia sampai kapan pun. Pepatah China mengatakan, "Tanpa beras, ibu rumah tangga paling cerdas pun tidak bisa memasak". Oleh karena itu, pemerintah harus berupaya serius agar animo para petani untuk berusaha tani padi tetap tinggi untuk bisa memberi makan bangsa ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar