Sambil mengisi perut, kami bercakap-cakap dengan berbagai macam topik, termasuk soal pernikahan yang gagal.

Bukan "kepo"

Saya berteman dengan anggota dari grup pertemanan yang anggotanya terdiri dari tujuh orang itu, tetapi saya tak pernah tahu kalau satu dari kami pernah menikah dan bercerai karena kasus KDRT. Sudah lama saya tak mendengar cerita yang membuat hati teriris seperti itu sehingga setelah perut kenyang, cerita semacam itu membuat hati saya ngilu kembali.

Sejujurnya saya malu, kalau saya ini berteman, tapi tak pernah mengenal dengan benar teman-teman saya. Saya tak tahu kalau mereka berjuang dengan problem yang tak pernah saya bayangkan. Selama ini semua terlihat baik-baik saja dan sehat-sehat saja.

Saya jadi teringat seorang teman wanita mengatakan pada saya kalau mengunggah foto di media sosial itu sebaiknya yang senang-senang saja. Kesedihan itu disimpan di rumah saja dan bukan untuk dipertontonkan. Mungkin itu yang menyebabkan saya terkecoh karena menyimpulkan sebuah keadaan hanya dari apa yang dilihat mata saja.

Maka, malam itu saya mulai memutuskan untuk berteman dengan mengenal mereka dan bukan sekadar kumpul-kumpul. Bukan sekadar tertawa sejenak, berfoto-foto, kemudian diunggah di media sosial dengan tulisan BFF alias best
friend forever
 yang sama sekali tak bermakna karena ironisnya sebagai seorang teman baik, saya tak mengetahui kesusahan teman sendiri.

Saya bukan kepo tentang masalah orang. Saya sangat mengerti tak semua orang akan mau bercerita soal pergumulan hidupnya, apalagi kalau nyerempet hal-hal yang akan mempermalukan mereka dan seluruh keluarga.

Tetapi, malam itu saya merasa diingatkan bahwa sejatinya saya harus tahu kalau teman saya lagi kesusahan untuk dapat menolong mereka semampu saya. Bukankah itu mengapa kita sebagai makhluk hidup dijuluki makhluk sosial? Makhluk yang berjiwa sosial, yang tidak hanya memikirkan dirinya sendiri.

Predikat itu bukan untuk diartikan berjiwa kepo akan masalah orang kemudian diceritakan bak pembawa berita yang mewartakan sebuah kejadian ke seluruh antero jagat. Malam itu setelah perut kenyang, saya menyimak cerita teman saya yang tak saya "kenal" itu.

Samsak

"Aku sih enggak dipukul sampai biru-biru, cuma dicekik." Kata teman saya menjelaskan. Saya yang mendengar cerita itu langsung meninggikan suara. "Cumaaa?" Kemudian ia melanjutkan cerita soal anaknya yang waktu itu masih berusia tiga tahun, juga tak lepas dari sasaran bogem mentah bapaknya.

Saya bertanya kepada teman saya itu, apakah ia tidak mengajak suaminya untuk mendapat pertolongan dari seorang ahli untuk membenahi perilakunya itu. "Doi enggak mau." Waktu jawaban itu masuk ke gendang telinga, saya langsung berpikir. Mungkin yang namanya pengecut itu adalah orang yang seperti ini.

Ia seorang pengecut untuk disembuhkan karena mungkin dengan demikian kepuasan untuk menyakiti orang tak lagi bisa dilakukan. Ia seorang pengecut untuk menjadi seorang laki-laki yang baik, pengecut untuk menjadi seorang bapak yang melindungi keluarga.

Ia seorang pengecut karena hanya berujar kata maaf setelah melakukan kekerasan, kemudian mengulangi perbuatannya lagi, lagi, dan lagi, dan tak mau memperbaiki diri. Pengecut itu bukan tak berani melawan orang lain, tetapi justru seseorang yang tak berani melawan dirinya sendiri untuk menjadi lebih baik.

Pengecut itu senangnya menyimpan bara kepahitan dan luka batin dan tak berani untuk memadamkannya karena mungkin ia menikmati perbuatannya itu. Pengecut itu orang yang sakit, tetapi selalu berkata, saya sehat. Pengecut itu tak berani mengakui kalau mereka membutuhkan pertolongan.

Pengecut itu menikahi seseorang dan memiliki anak, kemudian menjadikan mereka sebagai samsak tinju, karena ia tak berani menjadikan dirinya sendiri sebagai samsak, karena seorang pengecut tak akan mengakui kekurangannya itu sebelum pernikahan terjadi.

Malam itu saya berpikir, apakah ada orang yang begitu pengecutnya untuk menjadi orang baik dan berbudi luhur. Apakah untuk beberapa orang, melakukan aktivitas mencekik yang punya kemungkinan besar akan memakan korban, lebih membuat mereka merasa tenteram ketimbang melihat orang yang dikasihinya selamat?

Mungkin, malam itu adalah malam buka bersama yang benar-benar menyesakkan dada. Perut kenyang pun malah membuat saya merasa bersalah. Meski sekarang teman saya sudah berbahagia dengan pernikahan keduanya, tetapi malam itu saya yang giliran tak berbahagia mendengar ceritanya itu.

Malam itu, ada berjuta-juta pertanyaan yang menyelinap di kepala. Apakah sejatinya berbuat baik dan benar itu tidak berat dilakukan, tetapi beberapa orang telah memutuskan untuk memilih menjadi tidak baik dan tidak benar.

Perbuatan baik yang saya pikir begitu mulianya untuk dilakukan, ternyata untuk beberapa orang adalah sebuah pilihan yang jauh dari menarik. Sungguh malam itu perasaan saya seperti baru dijadikan samsak tinju.


Kompas, 26 Mei 2019