Kebiadaban dan kebengisan pemuda ini dikaitkan dengan kerentanan sektor pendidikan dalam menghadapi ancaman serius radikalisme di Indonesia. Jelas, sektor pendidikan sering dianggap sebagai lokus penularan berbagai penyakit masyarakat sekaligus juga diharapkan menjadi penangkalnya.

Pembangunan manusia Pancasila adalah fungsi dari pembangunan mental-spiritual-kultural melalui sektor pendidikan yang beriringan dengan fungsi institusional-politikal dan fungsi material-teknologikal (Yudi Latif, Aliansi Kebangsaan, 2019).

Pendidikan di Indonesia seyogianya menyiapkan peserta didik menjadi manusia Pancasila: mengarahkan anak menjadi makhluk ber- Tuhan dengan nilai-nilai kebajikan dan perdamaian terhadap sesama, kesadaran terhadap ikatan kebangsaan, dan komitmen untuk merawat Tanah Air Indonesia sebagai rumah bersama.

Melalui pendidikan, peserta didik belajar bahwa terlepas dari warna kulit, bentuk mata, tekstur rambut, asal daerah dan domisili, iman dan keyakinan, atau bentuk pakaian yang berbeda, warga negara mempunyai hak asasi manusia, hak-hak sipil, dan kewajiban yang sama. Sektor pendidikan bisa menjalankan peran strategis ini dengan internalisasi nilai-nilai Pancasila melalui pembenahan kurikulum.

Internalisasi Pancasila
Membangun manusia Pancasila bukan urusan satu mata pelajaran atau tugas seorang guru Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PKn).  Mata pelajaran ini memang sangat penting karena memuat berbagai pengetahuan tentang Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, kehidupan berbangsa dan bernegara, termasuk lembaga-lembaga negara dan sistem pemerintahan, politik dan demokrasi, hak dan kewajiban warga negara, serta perlindungan dan penegakan hukum.

Selain PKn, semua mata pelajaran lain bisa menjadi materi dan proses internalisasi nilai-nilai Pancasila.  Bahkan, Pancasila semestinya menjadi paradigma dasar penyusunan, pengelolaan, dan penyampaian kurikulum. Kesadaran hidup bersama dengan warga masyarakat lain yang berbeda, kepedulian merawat rumah bersama, serta daya kreatif untuk mencari solusi terbaik bagi permasalahan masyarakat.

Pendidikan formal seharusnya bisa mengajak peserta didik dari masyarakat Indonesia yang dikenal sangat agamis untuk menyelam lebih dalam dan mendaki lebih tinggi dari sekadar menghafalkan dan memahami doktrin, simbol, serta ritual keagamaan.

Manusia Indonesia yang berketuhanan melaksanakan kewajiban-kewajibannya sesuai dengan ajaran agamanya, tetapi juga mengembangkan rasa hormat dan penghargaan terhadap warga bangsa yang berbeda iman dan mendukung sesama yang berbeda untuk bisa menjadi penganut agamanya dengan lebih baik.

Konsep tentang misi atau dakwah sudah semestinya ditelaah dengan lebih mendalam dan tidak tersandera pada penambahan statistik jumlah pemeluk, melainkan pada spiritualitas para pencari kebenaran serta kontribusi terhadap solusi permasalahan masyarakat.

Proses menjadi manusia yang adil dan beradab juga terjadi dalam lokus pendidikan. Kurikulum yang berlandaskan Pancasila mesti bebas dari bias yang mengagungkan satu kelompok masyarakat dan mengerdilkan kelompok lain.  Wawasan Nusantara siswa Indonesia masih perlu ditingkatkan lagi melalui banyak materi tentang suku-suku, adat istiadat, tradisi, kearifan lokal, laut, dan pulau-pulau terdepan-terluar.

Pemahaman tentang keberagaman dan kekayaan budaya Nusantara diharapkan bisa mencerahkan anak-anak Indonesia dan mengikis tendensi entosentrime (merasa kelompoknya paling unggul) sehingga manusia Indonesia bisa bersikap dan berperilaku adil dan beradab serta menghargai sesama.

Sekolah merupakan wahana belajar memaknai dan menghidupi nilai Persatuan Indonesia. Kurikulum pendidikan formal, terutama pada jenjang pendidikan anak usia dini, dasar, dan menengah, seyogianya mengajak peserta didik untuk mengolah diri, berinteraksi dengan sesama warga bangsa, dan menumbuhkan nilai-nilai kebangsaan.

Sila ketiga Pancasila tidak berarti perbedaan individu/kelompok mesti dilebur demi persatuan seperti masa Orde Baru. Namun, sebaliknya tidak menjadi ekstrem seperti politik identitas belakangan ini yang berakibat pada keterbelahan masyarakat melalui eksploitasi kelompok berdasarkan mazhab agama, etnisitas, suku, dan kelas sampai pada taraf yang mengancam kesatuan dan persatuan bangsa.

Menghargai perbedaan dalam kerangka Persatuan Indonesia berarti menerima keunikan setiap kelompok dan merawat ruang hidup bersama. Pemenuhan hak-hak asasi dan sipil setiap warga negara dibatasi oleh kewajibannya untuk memastikan hak-hak warga negara lain tidak dilanggar.

Terlepas dari berbagai perbedaan persepsi, bangsa Indonesia sudah memilih peta jalan demokrasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Hikmat kebijaksanaan seharusnya merupakan landasan capaian pembelajaran yang mengarahkan proses kurikulum. Kehidupan berorganisasi siswa, interaksi siswa-guru, dan antarsiswa merupakan aplikasi serta ujian dalam Pendidikan Pancasila serta Kewarganegaraan.

Akhirnya, untuk mewujudkan Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia, peserta didik perlu menguasai ilmu-ilmu duniawi. Pengajaran ilmu-ilmu matematika, pengetahuan alam dan sosial, serta penguasaan bahasa (daerah, Indonesia, dan asing) bisa membekali anak dengan kecerdasan dan keterampilan menghadapi berbagai ketidakadilan dan permasalahan kehidupan. Pengajaran ilmu-ilmu duniawi ini menjadi bekal peserta didik sekaligus mampu menggunakannya bagi kemaslahatan masyarakat luas.

Tentunya, menjadi manusia Pancasila membutuhkan proses pendidikan yang lebih dari transmisi informasi dan pengetahuan pada tataran kognisi. Untuk melengkapi proses kognisi, pendidikan seni bisa menjadi saluran pengembangan empati dan relasi yang sehat antarmanusia (Sukarlan, Kompas, 23/5/2019).

Manusia pembelajar
Dalam suatu rezim pendidikan, kurikulum adalah perangkat yang dihidupi oleh dua aktor penting: guru dan peserta didik. Kurikulum formal adalah kurikulum inti, resmi dan tertulis yang ditetapkan oleh pembuat kebijakan. Bentuknya panduan, silabus beserta segala perangkatnya, termasuk rencana pelaksanaan pembelajaran, materi pembelajaran, media dan alat peraga, serta penilaian belajar.

Dalam konteks Indonesia, materi utama pembelajaran dalam kurikulum formal biasanya berupa buku ajar. Namun, guru yang mumpuni seharusnya tidak bergantung pada buku ajar. Materi tambahan dari media massa, media daring, rekaman peristiwa publik, buku referensi, dongeng, cerita rakyat, dan tradisi lisan bisa melengkapi. Tantangannya adalah kompetensi dan karakter guru.

Kebencian terhadap Presiden Jokowi dan kekerasan verbal yang dipamerkan di Facebook oleh Putra Kurniawan (nama samaran seorang guru SMA negeri di Pamekasan) menunjukkan titik nadir dalam profesi guru yang mengempaskan asa terhadap rezim pendidikan. Jika gurunya saja seperti itu, bagaimana pula peserta didiknya? Guru dengan karakter merusak seperti itu tidak seharusnya berada dalam misi pendidikan. Telah terjadi kelalaian serius dalam sistem pendidikan calon guru, perekrutan, induksi, dan pengembangan guru.

Jelas pembangunan karakter dan pengembangan kompetensi guru merupakan pekerjaan besar yang mesti dilakukan secara sistematis dan berkelanjutan. Yang masih memberikan harapan adalah masih cukup banyak guru berdedikasi di antara 4 juta guru di seluruh Indonesia. Kita masih bisa dan perlu terus berharap para guru, terutama guru muda, bisa memperoleh kesempatan terus meningkatkan mutu secara institusional dan mandiri.

Oleh karena itu, kebijakan dan strategi makro peningkatan mutu pendidikan di Indonesia perlu terus dikawal untuk menyukseskan rencana pembangunan manusia lima tahun mendatang. Dalam hal ini, guru punya peran strategis mencetak manusia-manusia Pancasila.