Bahagia dulu

Kami melihat dua anak muda sedang asyik pacaran. Mereka duduk menghadap ke arah dalam kedai kopi. Jadi kami berhadap-hadapan. Namanya juga sedang pacaran, maka Anda bisa membayangkan apa saja yang mereka lakukan. Senyum-senyum berdua, pegang-pegangan tangan, menyender ke bahu pasangannya.

Semua adegan yang dilakukan dua sejoli itu dapat disaksikan oleh kami bertiga dan sebagian pengunjung di kedai kopi itu. Jadi, kami seperti sedang mengawasi mereka pacaran. Saya bahkan seperti merasa sedang duduk di dalam bioskop, menyaksikan film di layar lebar.

Untuk orang seusia saya dan dua teman saya, yang lahir dari generasi yang tak bisa seenaknya pacaran, kami berpikir, kok bisa mereka tidak merasa risi pacaran disaksikan banyak orang. Mereka tak merasa perlu malu menunjukkan kasih sayang melalui jendela kaca besar yang mengingatkan saya pada etalase toko itu.

Maka, percakapan di siang itu merembet kepada perubahan zaman. Percakapan itu mengingatkan saya kepada seorang anak laki-laki dari teman saya. Ia diterima bekerja di sebuah perusahaan besar dan super kondang. Ketika sedang menjalankan masa percobaan selama kurang dari satu bulan, ia memutuskan untuk mengundurkan diri.

Ibunya, yang kebetulan teman saya, langsung menjerit. Ibunya yang mewakili generasi zaman dulu, sama dengan saya, menyarankan untuk mencoba melanjutkan masa percobaan itu. Ibunya bercerita panjang lebar bahwa terlalu dini untuk memutuskan keluar.

Ibunya menyarankan dia untuk bertahan sampai tiga bulan, kalau memang sudah tak senang, ya keluar. Ibunya berpikir, siapa tahu setelah tiga bulan, anaknya akan menyadari, ternyata perusahaan ini oke-oke saja.

Anaknya sebagai generasi jamannow itu hanya menjawab penjelasan ibunya dengan satu kalimat. "Kalau saya enggak bahagia selama 3 minggu, mengapa mesti dipaksa sampai 3 bulan."

Kemudian ia melanjutkan. "Bu, orang itu kalau kerja nyari seneng. Bukan nyari lama." Setelah meninggalkan perusahaan raksasa itu, si anak saat ini sudah memiliki usaha bersama teman-temannya dengan rasa bahagia. Bukan bekerja di perusahaan besar dengan gaji besar yang malah membuat ia tak bahagia.

"For a better tomorrow"

Saya sendiri tak tahu perubahan ini bagaimana datangnya. Sebuah generasi yang berbeda dengan yang sudah-sudah. Kantor saya bahkan pernah mengeluarkan dana sekian juta rupiah agar saya menghadiri seminar dua hari soal bagaimana mengerti generasi milenial.

Dulu, di zaman saya, saya tak sampai perlu mengeluarkan dana sekian juta rupiah untuk mengenal generasi yang datang setelah saya atau sebelum saya. Tetapi, sejujurnya datangnya generasi baru ini telah membuka pikiran saya. Melihat bagaimana mereka menjalani kehidupan ini.

Mungkin kalau mau jujur, selama ini saya tak menjalani hidup untuk membuat saya bahagia. Sedari kecil saya dipaksa tidur siang. Mau melanjutkan studi, maka orangtua yang menyarankan sebaiknya ke sana dan bukan kemari. Prinsip orangtua punya jam terbang tinggi dan lebih pengalaman menjadi alasan saya jadi nurut saja.

Saya tak bekerja untuk bahagia. Saya bekerja untuk orangtua yang bahagia, meski saya sengsara. Saya bekerja untuk perusahaan saya agar mereka kaya dan bahagia, meski saya stres berat setiap hari menghadapi tanggung jawab.

Saya dicekoki harus kaya dan sukses. Nilai kaya dan sukses itu dalam bentuk size dan bukan dalam bentuk value. Kaya di zaman saya punya uang boanyak boanget. Saya melihat sekarang, meski mungkin tak semuanya begitu, kaya zaman sekarang itu punya kebahagiaan hati yang boanyak boanget. Mungkin karena itu, anak teman saya di atas langsung mengundurkan diri sebelum menyelesaikan masa percobaannya.

Buat saya dan buat ibunya, mengundurkan diri itu berarti menyerah. Belum apa-apa udah keok. Selamat ibunya tak berkomentar, "Dulu, ibu juga susah, tapi enggak nyerah." Anak zaman sekarang melihat pengunduran diri yang dini itu sebuah kemenangan melawan rasa tidak bahagia.

Selama ini saya bekerja untuk a better tomorrow. Begitu tomorrow datang, saya tetap bekerja supaya esok hari menjadi lebih baik. Demikian seterusnya, sehingga a better tomorrow itu tak pernah saya nikmati. Itu hanya slogan yang kelihatannya menyemangati, tetapi kenyataannya yang better itu hanya tomorrow-nya. Saya? Ya, tetap sengsara.

Mungkin anak zaman sekarang bekerja for a better tomorrow, di mana mereka dan tomorrow-nya sama-sama better. Sekarang saya jadi curiga, apakah ajaran yang saya dapati di zaman lama itu banyak kelirunya?