Entah kenapa, membaca kata "tubuh" dalam judul film buatan Garin Nugroho, sutradara terkemuka yang pernah menjadi salah satu kolumnis "Udar Rasa" ini, dan mendengar bahwa film itu menjadi kontroversi, sontak muncul pertanyaan yang bisa jadi rada bodoh pada benak sendiri: Apa gerangan terjadi pada "tubuh" negeri ini? Digerayangi penyakit apa hingga "otak"-nya pun mulai terjangkiti. Apakah penyakit ini akan tersembuhkan?
Bila saya menuduh diri bodoh, ialah karena saya memang merasa sama bodohnya seperti sebagian dari mereka yang menuntut agar film Kucumbu Tubuh Indahku yang konon kontroversial itu dilarang beredar. Saya pun belum menonton film bersangkutan ini.
Namun, kebodohan yang menghinggapi diri ini membawa keunggulan yang bisa jadi berfaedah: saya bisa 'ngoceh' seenaknya tentang masalah 'tubuh' dengan bebas, tanpa memedulikan apa dan siapa menjadi sasaran saya. Maklum orang bodoh. Lebih mudah dimaafkan, kan? Habis ngoceh, baru bisa 'rasional'.
Mumpung ngoceh, yang pertama dapat saya katakan ialah bahwa perpaduan kata "tubuh" dan kata "cumbu" tidak mendatangkan pada saya rasa mual sarat moralisme ataupun rasa syahwat tak terkontrol. Alasannya sederhana: saya mencoba bersikap bermoral, tetapi dengan kerangka yang jelas. Menurut saya, sikap "moralis yang kelewat" memperlihatkan gejala obsesional yang mengkhawatirkan bagi orang bersangkutan.
Adapun rasa bersyahwat, saya cukup lihai untuk menempatkannya. Ya, pada tempatnya. Bila melihat relief wanita di Candi Borobudur, atau bila melihat lekukan tubuh wanita di pantai atau di kolam renang, saya tahu bahwa itu memang bukan tempat syahwat.
Pada tahun 1980-an, saya teringat menyeberang sungai-sungai di mana wanita-wanita mandi, dan bukan hanya di Bali. Apakah mereka menggoda saya? Tidak. Mereka hanya melambaikan tangan dan mempersilakan saya lewat. Ya, pada waktu itu, tubuh belum menjadi wacana. Orang masih tahu, waktu itu, bahwa kemaksiatan tidak berada pada tubuh, tetapi pada perbuatannya.
Kini tiba saat menjadi serius. Masalah yang sebenarnya bersifat sosial: pembangunan dan masuknya media modern itulah yang mengubah kerangka kultural di atas. Usai tahun 1980-an, tubuh yang tadinya 'polos' itu menjadi ajang wacana: untuk kelompok tertentu, menjadi ajang wacana kesadaran dan pembebasan. Untuk kelompok yang lain, menjadi ajang wacana moralis normatif.
Kelompok pertama terdiri dari kaum wanita modern, yang merasa sudah saatnya 'tubuh'-nya menjadi miliknya. Bila 'diserahkan' pada pria bukan karena 'kewajiban', tetapi karena kehendaknya. Kelompok kedua terdiri dari kaum pria tradisional dan kaum patriaki terkait yang melihat kebebasan wanita bukan sebagai peluang pemekaran 'cinta', melainkan sebagai ancaman terhadap kuasa seksual dan sosialnya.
Tak ayal kedua kubu di atas bertarung. Sedemikian bertarung, hingga menarik perhatian pelaku seni Indonesia. Alhasil lahirlah ragam 'sastra' baru: sastra ciptaan penulis-penulis wanita yang mengeksplorasi tema 'tubuh bebas' sambil menguji resistansi sosial yang dihadapinya.
Indonesia tentu geger. Kini, kaum tradisional terpaksa menyadari bahwa kaum wanita memiliki tubuh yang betul-betul miliknya. Artinya masalah yang tadinya menggegerkan telah dilarutkan di dalam seni.
Memang salah satu fungsi seni ialah melarutkan masalah konkret manusia, memperlihatkan bahwa kompleksitas psikologis melampaui kaidah sosial dan moral yang berlaku umum.
Kita harus menyadari bahwa perbedaan pandangan di atas tidak akan menghilang begitu saja, karena merupakan hasil dari perubahan sosio-ekonomi jangka panjang.
Di ujung satunya terdapat orang yang kian terbawa di dalam proses ekonomi modern dan kian otonom perilakunya. Mereka mengadvokasi tanggung jawab individual di dalam segala hal, termasuk tubuh. Di ujung satunya terdapat orang yang bereaksi terhadap guncangan modernitas dengan kembali menganut tradisi yang kian diidealkan dan bahkan dimutlakkan. Mereka mengadvokasi penerapan nilai-nilai kolektif sebagai kunci segala masalah.
Apa pun halnya, kontradiksi di atas kini sudah hadir di antara kita dan akan hadir selama puluhan tahun ke depan. Maka tugas kaum intelektual dan pelaku seni adalah sederhana: berbuat sedemikian rupa agar kedua kecenderungan berkelindan satu sama lain dan larut di dalam persatuan, bukan gontok-gontokan dalam permusuhan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar