Pertumbuhan Penduduk
Pertambahan jumlah penduduk perlu ditangani serius karena menghabiskan pelbagai sumber daya. Mulai dari ibu hamil perlu pemeliharaan kesehatan; pertumbuhan anak perlu fasilitas pendidikan; dewasa perlu pekerjaan, berumah tangga, rumah, dan lahan.
Siklus ini terus berputar dan berlanjut tanpa henti. Jadi, bagaimana menguranginya? Bukankah daya dukung lingkungan, energi, dan sumber daya sangat terbatas?
Salah satu caranya adalah keluarga berencana. Perlu program ketat dan bersungguh-sungguh. Mungkin perlu insentif dan disinsentif. Anak satu, dapat beasiswa sekolah sampai selesai S-1. Jarak anak pertama ke anak kedua minimal 10 tahun. Anak kedua mendapat beasiswa sampai tingkat SMA, anak ketiga lahir, fasilitas gugur.
Di sisi lain, perlu pencatatan kependudukan yang baik, yang sangat dapat dibantu teknik informatika. Pemilu yang rumit dan melelahkan seperti saat ini pun dapat dipermudah dengan bantuan teknik informatika.
Jaringan ATM yang luas juga dipercayakan pada pakar teknik informatika dan Indonesia banyak ahlinya.
A Kadarmanto
Randusari, Makamhaji, Kartosuro, Jawa Tengah
Tetap Harian "Kompas"
Pengalaman saya berinteraksi dengan Kompas sama dengan Bapak A Kadarmanto (Kompas, 15/4/2019).
Saya membaca Kompas karena pertimbangan tersendiri, tetapi Kompas banyak mengecewakan karena banyak rubrik potensial dan khas Kompas hilang. Sebut saja Pustakaloka, Swara, Teroka, Jenaka, Kicau Keluarga, Lembar Anak, dan sebagainya.
Saya tidak percaya Kompas kesulitan biaya produksi karena Kompas bukan sekadar koran. Jadi, sebenarnya tidak ada alasan mengurangi halaman. Kompas jangan ikut- ikutan seperti media lain.
Saya tidak setuju usul Pak Kadarmanto untuk berubah jadi mingguan. Kompas sebaiknya tetap koran harian. Bisa dibayangkan berapa banyak informasi penting dan aktual menguap jika peristiwa harian diracik jadi mingguan. Lebih dari itu Kompas akan kehilangan ruh "Kompas"-nya.
Saya percaya curhat saya ini mewakili banyak pembaca Kompas lainnya.
YES SUGIMO
Jl Melati Raya,
Melatiwangi Cilengkrang,
Bandung 40616
Udoroso
"Ajining diri saka lathi."
Secara harfiah makna adagium di atas adalah harga diri seseorang tergantung dari lidah (ujaran, tutur kata).
Walaupun berasal dari budaya Jawa, menurut pendapat saya, sangat tepat makna dalam pergaulan antarmanusia yang beradab, bertata krama, dan santun. Saya yang sudah mengarungi hidup dan kehidupan selama tiga zaman, merasakan betapa indahnya ketika manusia berinteraksi dalam nuansa makna tersebut.
Yang sangat memprihatinkan, justru pada era reformasi banyak ujaran manusia yang jauh dari tata krama. Mulai dari mengolok-olok bentuk tubuh saingan politik dengan istilah kerempeng, sampai ke kata-kata kasar bahkan oleh seorang cendekiawan di televisi. Ia berucap, "Kalau KPU curang, kita lindas."
Secara harfiah frasa "lindas", menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, adalah menggilas, menindih, yang tidak sesuai dengan negara hukum kecuali negara preman.
FS Hartono
Purwosari, Sinduadi
Sleman
Bawa Tas Sendiri
Saat ini Revolusi Industri 4.0, banyak hal bernuansa modern yang membuat kita takjub. Namun, di antara kecanggihan itu, muncul kerinduan pada hal-hal kuno.
Di antaranya adalah ibu-ibu berbelanja membawa tas belanja dari rumah. Betapa indahnya melihat pemandangan itu: aktivitas biasa masa lampau yang kini jadi pemelajaran ramah lingkungan.
Membawa tas sendiri membantu pemerintah mengatasi masalah sampah, terutama sampah plastik. Karena itu, mari berbelanja dengan membawa tas dari rumah.
A ASTANTA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar