Pada 29 April 2019 tersebar berita bahwa Presiden Joko Widodo telah memutuskan ibu kota negara akan dipindahkan dari Jakarta ke luar Jawa. Selain untuk mengurangi tekanan urbanisasi terhadap Jakarta dan mengurangi konsentrasi pembangunan di Pulau Jawa, keputusan ini kabarnya juga dimaksudkan untuk lebih menggairahkan pembangunan di luar Pulau Jawa.

Gagasan untuk memindahkan ibu kota negara sudah muncul sejak era Presiden Soekarno yang pernah menyebutkan niatnya agar ibu kota negara dipindahkan ke Palangkaraya yang dianggap sebagai "titik tengah" Nusantara. Kemudian di era Presiden Soeharto, gagasan ini muncul kembali dengan adanya usulan agar Jonggol menjadi pusat pemerintahan dengan Jakarta tetap secara simbolik merupakan ibu kota negara. Selalu muncul pendapat pro dan kontra di setiap wacana.

Pada masa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pun pernah ada upaya untuk menampung berbagai masukan dan usulan tentang pemindahan ibu kota. Waktu itu, tahun 2010, penulis kebetulan diundang untuk berbicara di berbagai forum diskusi atau perdebatan terkait usulan tersebut dan menyuarakan aspirasi minoritas yang kurang setuju dengan pemindahan ibu kota. Bukan tidak setuju 100 persen karena sebagai orang yang pernah terlibat dalam perencanaan pembangunan kota-kota baru, penulis tentu sangat "excited" dengan gagasan ini. Namun, setidaknya ada tiga hal yang waktu itu penulis ajukan untuk menjadi pertimbangan sebelum keputusan final diambil.

Pertama, pembangunan ibu kota baru yang tentu tidak akan murah dapat menimbulkan "moral hazard" karena kemudian akan ditiru oleh semua atau setidaknya sebagian besar provinsi dan kabupaten, yang jumlahnya ratusan.

Jika hal itu terjadi, anggaran pemerintah akan lebih banyak dialokasikan untuk membangun kantor dan fasilitasnya sendiri daripada untuk sarana-prasarana yang langsung dibutuhkan oleh masyarakat, seperti sekolah, rumah sakit, gelanggang remaja/olahraga, jembatan, dan pelabuhan. Ketika masih banyak bangunan sekolah yang bocor, rumah sakit yang ala kadarnya, gelanggang olahraga yang non-eksisten, jembatan penyeberangan sungai yang ambrol sehingga anak-anak pergi ke sekolah harus bergelantungan pada tali jembatan yang tersisa atau berjalan memutar, membangun pusat pemerintahan megah yang notabene adalah "fasilitasnya sendiri" terasa sangat tidak bijak.

Kedua, membangun kota baru dari nol—apalagi sebuah ibu kota negara yang tidak bisa asal-asalan—membutuhkan waktu puluhan tahun sehingga harus dipastikan kontinuitas dukungannya. Kota baru Bumi Serpong Damai saja, misalnya, membutuhkan lebih dari 30 tahun untuk menjadi kota yang "matang" dan hidup seperti sekarang. Pembangunan kota baru—apalagi sebuah ibu kota negara—bukan hanya memerlukan kepastian dukungan finansial yang terus-menerus, melainkan juga dukungan politis yang berkelanjutan walaupun presiden dan pemerintahan harus berganti karena batasan masa jabatan.

Ketiga, jika tujuannya adalah menyebarkan pembangunan ke luar Jakarta, dalam perdebatan-perdebatan waktu itu penulis berpendapat bahwa menyebarkan kantor-kantor pusat BUMN maupun fasilitasnya serta memberi insentif kepada korporasi swasta untuk memusatkan kegiatan mereka di luar Jawa akan jauh memberi dampak persebaran pembangunan wilayah daripada hanya memindahkan satu ibu kota ke luar Jakarta.

Sekarang lebih tepat waktu

Wacana pemindahan ibu kota negara waktu itu kemudian tenggelam entah bagaimana kabarnya hingga pergantian presiden pada tahun 2014. Setelah berjalan beberapa saat, gagasan pemindahan ibu kota ini muncul kembali, umumnya ketika Jakarta sedang menghadapi masalah sangat berat, seperti banjir dan kemacetan yang luar biasa.

Bappenas pun ternyata terus melakukan kajian plus minus pemindahan ibu kota negara serta usulan alternatifnya: (i) tetap di Jakarta, (ii) pusat pemerintahan digeser ke pinggiran Jabodetabek, (iii) ibu kota pindah ke luar Jawa. Hasilnya kemudian disampaikan kepada Presiden Jokowi baru-baru ini. Dan, seperti biasa, Presiden Jokowi pun sangat "decisive" dengan memutuskan pemindahan ibu kota negara ke luar Jawa sebagaimana yang banyak diberitakan media massa sejak 29 April lalu.

Mendengar dan membaca berita ini, kemudian merefleksikan dengan apa yang pernah penulis sampaikan ke publik hampir sepuluh tahun lalu, penulis merasa saat ini bisa jadi merupakan waktu yang tepat, atau setidaknya lebih tepat daripada pada tahun 2010 atau bahkan 2014, untuk mengambil keputusan politis tersebut. Mengapa? Karena pemerintah telah semakin kuat menunjukkan komitmennya dalam pembangunan berbagai sarana-prasarana yang dirasakan secara langsung oleh masyarakat luas.

Maka, mengalokasikan dana yang cukup besar untuk "fasilitasnya sendiri" tidak lagi mudah dijadikan "sasaran tembak politis" sebagai keputusan yang tidak bijak dan tidak adil. Lagi pula, banyak provinsi dan kabupaten—terutama hasil pemekaran seperti Gorontalo, Kepulauan Riau, Maluku Utara, dan Kalimantan Utara—yang telanjur membangun pusat pemerintahan masing-masing, meski menurut pandangan penulis banyak yang utilisasi publiknya sangat rendah karena rancangannya lebih mementingkan kesan megah sebagai penguasa daerah daripada kesan kota kompak untuk pelayanan masyarakat yang efisien dan akrab.

Walau keputusan pemindahan ibu kota di mana saja selalu merupakan keputusan politis, pertimbangan-pertimbangan teknokratis tetap tidak bisa diabaikan. Jangan sampai "moral hazard" di mana pemerintah lebih mementingkan fasilitas-fasilitasnya sendiri menjadi menguat kembali pada masa depan. Dukungan politis—dan finansial—yang terus-menerus juga perlu mendapat perhatian khusus karena diperkirakan pembangunan ibu kota negara ini akan melewati beberapa masa jabatan seorang presiden. Jangan sampai proyek ini mangkrak terbengkalai karena secara politis dan anggaran tidak didukung oleh pimpinan negeri berikutnya.

Lebih jauh lagi, persebaran pembangunan wilayah tak bisa mengandalkan hanya dengan pemindahan ibu kota negara. Pelajaran dapat diambil dari berbagai kasus pemindahan ibu kota dengan tujuan pemerataan wilayah. Brasilia, ibu kota negara Brasil, yang dibangun di tengah Amazonia tidak berhasil mendongkrak pemerataan pembangunan di luar kawasan Pantai Timur Brasil mengajarkan bahwa pemindahan ibu kota negara saja tidak cukup. Beberapa ibu kota negara yang dibangun sama sekali baru seperti Canberra di Australia dan Naypyidaw di Myanmar juga masih sepi setelah puluhan tahun.

Penyebaran pusat-pusat kegiatan komersial—baik berupa insentif agar BUMN ataupun korporasi swasta menyebar ke kota-kota besar lain di Indonesia, khususnya di luar Jawa, maupun dorongan lainnya—akan lebih efektif jika tujuan utamanya adalah pemerataan pembangunan wilayah. Semoga hal-hal tersebut sudah atau akan dipertimbangkan dalam keputusan politis pemindahan ibu kota negara kali ini.